Mohon tunggu...
Yoanda Suastanti
Yoanda Suastanti Mohon Tunggu... Buruh - saya

selalu ada jalan untuk orang-orang yang masih menggenggam harapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ambivalensi Tokoh Indonesia dan Belanda dalam Novel Sang Raja Karya Iksaka Banu: Kajian Poskolonial

21 September 2024   00:24 Diperbarui: 21 September 2024   00:27 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mimikri adalah sebuah peniruan untuk menyamakan dirinya dengan orang lain, dalam hal ini adalah kolonial. Akan tetapi hasilnya tidak akan serupa atau dapat dikatakan hampir sama. Mimikri juga merupakan bentuk kamuflase atau mengungkapkan sesuatu yang jauh berbeda dari diri mereka. oleh karena itu, tanda prioritas dan budaya menjadi problem sehingga nasionalisme tidak lagi alamiah.

Sejalan denga itu, novel Sang Raja ini menghadirkan tokoh-tokoh yang meniru satu sama lain. Mimikri terjadi bukan hanya pada kaum terjajah saja akan tetapi kaum penjajah pun mengalaminya, baik disadari ataupun tidak. Mimikri dilakukan oleh penjajah dan terjajah sebagai resistensi ataupun mockry, sehingga pada ke dua identitas penjajah dan terjajah menjadi ambigu.

Tema-tema poskolonial banyak diangkat oleh sastrawan yang mempersoalkan pengalaman pascakolonial dalam karya-karyanya dan sebagai upaya membongkar praktik-praktik kolonialisme yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam novel Sang Raja Karya Iksaka Banu, kedudukan Subaltern yaitu Indonesia yang menjadi inferior terhadap Belanda digambarkan dalam dialog-dialog pada novel Sang Raja dengan melihat kedudukan bumiputera sebagai kelas tiga.

Relasi antara Indonesia dan Belanda menimbulkan keretakan identitas pada tokoh-tokohnya karena kedekatan penjajah dan subjek jajahannya baik dalam kehidupan sehari-hari, dalam institusi pendidikan ataupun pekerjaan, tokoh-tokoh sentral dalam novel sang raja ini melakukan mimikri terhadap budaya yang dominan, baik sebagai bentuk perlawanan atau peniruan-peniruan yang tanpa disadari.

Poskolonial bukan hanya sebuah deskripsi keadaan, lebih dari itu merupakan sebuah bentuk perlawanan. Dengan menyorot dialog-dialog dan narasi dari novel Sang Raja Karya Iksaka Banu ini, realitas kehidupan dari prespektif penjajah (superior) ataupun terjajah (inferior), dapat dipahami sebagai sastra yang mencerminkan kesadaran pascakolonial dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan global.

  • PEMBAHASAN

Setelah menguraikan bentuk-bentuk inferior pribumi terhadap Belanda, lalu dilanjutkan dengan menguraikan bentuk-bentuk superior Belanda terhadap pribumi, hal ini untuk mempertegas bagaimana posisi penjajah dan terjajah. Pada dua posisi ini, baik penjajah ataupun terjajah melakukan mimikri sehingga menimbulkan ambivalensi baik disadari ataupun tidak disadari.

Dalam novel Sang Raja mengangkat beberapa tokoh yang menurut penulisnya menjadi tokoh sentral karena banyak mengalami peristiwa ambivalensi. Pada tokoh pribumi digambarkan oleh tokoh Goenawan Wirosoeseno, Walini, dan Bardiman Sapari. Sedangkan tokoh Belanda digambarkan oleh tokoh Filipus Rechternhand, orang tua Filipus, dan Tuan Pollman. Dalam pembahasan ini akan lebih dulu membahas tentang ambivalensi tokoh Belanda lalu kemudian dilanjutkan dengan ambivalensi pada tokoh Indonesia.

  • Dominasi Belanda Terhadap Indonesia

Tokoh Filipus Rechterhand dalam novel ini merupakan salah satu tokoh sentral karena sebagian besar diceritakan dari sudut pandang Filipus. Tokoh Filipus digambarkan sebagai pribadi yang menarik, ia merupakan anak seorang pemilik hotel di Batavia yang sebagian besar masa kecilnya ia habiskan bersama pribumi. Seperti terlihat pada kutipan berikut:

"Berlainan dengan kebanyakan teman sebaya masa kecilku padat terisi petualangan berandal bersama para pribumi yang bekerja sebagai jongos, babu........'' (Banu, 2017:23)

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa Sikap ambivalensi dipicu oleh adanya kecintaan terhadap sesuatu tapi juga membencinya. Filipus Rechterhand besar dengan banyak melakukan petualangan seperti pribumi. Sebagai Belanda totok, tentu saja apa yang dilakukan Filipus Rechterhand tidak biasa. Filipus Rechterhand merasa tidak ada jarak dengan pribumi dan senang melakukan hal-hal yang pribumi lakukan, namun begitu sikap Filipus ini masih mengandung bias-bias kekuasaan sebagaimana dengan identitasnya yang seorang Belanda tentu saja masih memiliki pemikiran kolonial yang memandang bahwa kebiasaan pribumi tidak beradab. Sikap yang dilakukan Filipus Rechterhand tersebut adalah salah satu bentuk dominasi Belanda terhadap Pribumi.

Filipus tidak mempunyai rencana untuk kembali ke Belanda karena sebagai Belanda totok, Filipus tidak pernah pergi ke Belanda, tidak mempunyai apapun di Belanda. Seluruh hidupnya dihabiskan di Hindia, dan mempunyai istri seorang pribumi. Filipus tidak mempunyai alasan untuk pergi ke Belanda. Dengan demikian, Filipus secara tidak Diri Yang Ingin Tetapi Tidak Ingin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun