Mohon tunggu...
Yoanda Suastanti
Yoanda Suastanti Mohon Tunggu... Buruh - saya

selalu ada jalan untuk orang-orang yang masih menggenggam harapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ambivalensi Tokoh Indonesia dan Belanda dalam Novel Sang Raja Karya Iksaka Banu: Kajian Poskolonial

21 September 2024   00:24 Diperbarui: 21 September 2024   00:27 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Aku dan Walini masih harus pontang panting menghadap ke catatan kantor sipil, mengurus surat gelijkstelling, agar Walini mendapat persamaan hak dan perlakuan seperti orang Eropa..... Dengan segala hormat mohon jelaskan dan bikin terang di sini. Apakah tuan-tuan yang sedang duduk bersama saya di ruangan ini sedang berusaha membujuk saya mencari seorang gundik?" (Banu, 2017:60)

Kutipan di atas menjelaskan situasi di mana Filipus mengupayakan segala cara untuk Walini agar hak dan perlakuannya dipersamakan dengan orang Eropa dengan mengajukan surat gelijkstelling yaitu persamaan hak yang ditetapkan dalam peraturan tertulis yang memiliki status yang sama dengan golongan Eropa harus mengajukan permohonan perubahan status ke pengadilan, nanti hakim yang akan memutuskan. Dasar pertimbangan hakim berdasarkan yurisprudensi: nama Eropa, pekerjaan, kedudukannya dalam masyarakat Eropa, roman mukanya, agama, cara hidup, pernikahan dengan orang Eropa.

Filipus mengalami ambivalensi yaitu sebagai Barat yang menginginkan seorang Timur dipersamakan hak dan perlakuannya. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Filipus untuk menikahi Walini merupakan upaya kedua belah pihak, penjajah yaitu Filipus dan si terjajah yaitu Walini, yang mengalami situasi membingungkan yaitu 'serupa tetapi tidak sama' karena penataan kolonial dilakukan tidak hanya secara khusus kepada si terjajah tetapi juga para penjajah agar dapat sesuai irama yang mengarah pada misi pengadaban kolonialisme. Ambivalensi lainnya dalam upaya-upaya Filipus dan Walini dapat dilihat dalam kutipan :

"Setelah masalah surat rampung, berikutnya adalah urusan gereja. Walini harus dibaptis menjadi Kristen dan berganti nama menjadi Maria Gerarda Rechterhand, walau ia tetap ku perbolehkan beribadah seturut tatacara agama asalnya." (Banu, 2017:61)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa bukan hanya persamaan hak dan perlakuan saja akan tetapi identitas dan agama Walini sebagai pribumi berganti menjadi Maria Gerarda Rechterhand dan dibaptis menjadi Kristen. Sejalan dengan wacana kolonial yang ingin negara jajahannya serupa tetapi jangan benar-benar sama. Hal ini diperkuat dengan kutipan berikut :

"Syukurlah surat persamaan hak sekaligus izin menikah bisa keluar, tepat saat aku berada diambang keputusasaan, dan mulai mempertimbangkan pilihan untuk hidup dalam pergundikan. Untunglah tak sempat kukatakan hal itu kepada Walini maupun ibunya. Sungguh tak terbayangkan betapa sedihnya mereka bila itu terjadi." (Banu, 2017:60)

Kutipan di atas menjelaskan meskipun segala upaya dan pengakuan Filipus terhadap Walini tidak melunturkan pikiran-pikiran kolonialnya. Walapun tidak secara jelas dilakukan oleh Filipus, akan tetapi dengan mempertimbangkan pilihan untuk hidup dalam pergundikan merupakan sikap yang bias. Filipus menjadi diri yang ingin terhadap Walini sekaligus tak ingin. kebingungan-kebingungan yang demikian merupakan sikap yang ambivalen. Hal ini juga diperkuat dengan kutipan lainnya :

"Annette adalah seorang kekasih. Sementara Walini adalah istriku. Ibu dari calon anakku." (Banu, 2017:98)

Kutipan di atas menggambarkan ketika Filipus berbincang dengan teman sekolahya yang tidak menyukai Walini sebagai pribumi yang dinikahi Filipus. Ia mempertanyakan keputusan Filipus dan meyakinkan Filipus bahwa pribumi hanya pantas dijadikan Gundik. Kemudian Filipus menjelaskan bahwa Annette yang merupakan mantan pacarnya saat sekolah di HBS sebagai kekasihnya dahulu dan Walini sebagai istrinya saat ini.

Sebagai seorang Belanda yang mencari nafkah di Hindia Belanda, perkataan Filipus itu tidak bermakna sesederhana itu. Annette yang merupakan seorang Belanda totok yang cantik dan cerdas merupakan cinta pertama Filipus, sedangkan Walini seorang gadis pribumi yang lugu merupakan sebuah alat untuk bertahan hidup di negeri yang menurut orang tua Filipus sebagai negeri yang tidak berperikemanusiaan ini.

Sebagai Barat, kebaikan Filipus ini memiliki misi-misi yang menguntungkan untuk dirinya. Filipus ini mengalami Ambivalensi di mana ia sebagai penjajah yang merasa lebih beradab dan berpendidikan ternyata masih membutuhkan peranan Walini untuk bertahan hidup. Diri yang ingin tetapi sebenarnya tak ingin. Filipus menginginkan Walini dengan maksud dan tujuan tetapi seolah tak ingin dengan masih memiliki selera perempuan Barat.

  • Ambivalensi Tokoh Belanda Melalui Bahasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun