"Setiap sore ibumu memberinya aneka pelajaran. Walini tidak pernah sekolah, tetapi kepandaiannya boleh diadu dengan anak setingkat ELS kelas 5 bahkan mungkin lebih. Perbendaharaan Bahasa Belandanya pun lumayan." (Banu, 2017:30)
Kutupan di atas menjelaskan bahwa Walini sebagai yang terjajah mendapat pengajaran dari ibu Filipus yang merupakan penjajah. Sehingga Walini menjadi pintar bahkan dapat disetarakan dengan siswa ELS. Walini pun belajar Bahasa Belanda . Upaya-upaya yang dilakukan Walini dengan mempelajari Bahasa Belanda dan mau belajar aneka pelajaran dari orang Belanda merupakan sebuah usaha untuk menjadi setara walaupun tidak benar-benar sama. Sikap Walini yang demikian merupakan sikap ambivalensi yaitu sikap meniru tetapi tidak benar-benar sama sehingga identitasnya sebagai pribumi menjadi bias karena penirua-peniruan tersebut. Selanjutnya, ambivalensi tokoh Walini dapat dilihat pada kutipan :
"Kusampaikan pada ibu Walini, bahwa aku bersumpah akan merawat Walini sebagai istri, bukan sekedar gundik. Ku berikan pula janjiku, bahwa aku tidak akan menikah lagi dengan orang Eropa, dan sampai kapanpun tak akan pernah mengusir Walini." (Banu, 2017:60)
Dari kutipan di atas menggambarkan pribumi yang menjadi istri seorang Belanda totok, tidak dijadikan gundik sebagaimana biasanya seorang Belanda mengambil perempuan pribumi sebagai gundik. Pada masa kolonial, para gundik tak hanya dijadikan simpanan. Mereka juga dijadikan pelayan bagi orang-orang Belanda zaman dulu. Arsip surat kabar De Waarheid edisi 30 Oktober 1986 menceritakan praktik gundik menjadi suatu budaya yang diwarisi sejak masa kekuasaan VOC dan berlanjut hingga masa Hindia-Belanda (Indonesia Investments, n.d.).
Dengan menjadi istri Belanda dan mengambil janji Filipus untuk tidak dijadikan Gundik, merupakan salah satu upaya Walini untuk dapat setara dengan Belanda. Walini bahkan menolak seorang pribumi yaitu tukang daging di pasar dengan istri tiga dan ingin Walini menjadi istri ke empatnya. Walini mengalami ambivalensi yaitu seorang wanita pribumi yang lebih memilih menikah dengan seorang Belanda totok daripada dengan seorang pribumi. Ambivalensi lainnya dapat dilihat dari upaya Walini sebagai berikut :
"Aku dan Walini masih harus pontang panting menghadap ke catatan kantor sipil, mengurus surat gelijkstelling, agar Walini mendapat persamaan hak dan perlakuan seperti orang Eropa..... Dengan segala hormat mohon jelaskan dan bikin terang di sini. Apakah tuan-tuan yang sedang duduk bersama saya di ruangan ini sedang berusaha membujuk saya mencari seorang gundik?" (Banu, 2017:60)
Kutipan di atas mempertegas upaya-upaya Walini untuk bisa setara dengan Belanda. Walini dan Filipus mengurus surat gelijkstelling, agar Walini mendapat persamaan hak dan perlakuan seperti orang Eropa. Dengan mendapat surat gelijkstelling Walini yang seorang pribumi secara hukum adalah orang Eropa yang harus mendapat perlakuan dan hak yang sama. Akan tetapi sebagai seorang yang dipersamakan hak nya seperti Belanda, tokoh Walini ini tidak benar-benar dapat menjadi seperti Belanda, hak-haknya tidak sama dengan orang Eropa, yang menjadikan Walini ambivalen, Walini beridentitas Belanda tetapi memiliki ciri khas fisik pribumi. Kutipan di bawah ini mempertegas upaya Walini lainnya :
"Setelah masalah surat rampung, berikutnya adalah urusan gereja. Walini harus dibaptis menjadi Kristen dan berganti nama menjadi Maria Gerarda Rechterhand, walau ia tetap ku perbolehkan beribadah seturut tatacara agama asalnya." (Banu, 2017:61)
Kutipan di atas menunjukan upaya Walini lainnya yaitu merubah identitas, agama dan nama nya menjadi agama yang banyak dianut oleh orang Belanda dan merubah namanya seperti orang Belanda yaitu Maria Gerarda Rechterhand. Walini mengalami ambivalensi, yaitu seorang pribumi yang berkulit coklat mengganti namanya dengan nama serupa Eropa, mengganti agamanya serupa Eropa, dan menikah dengan Belanda akan tetapi tidak benar-benar sama, ia masih memiliki ciri khas pribumi dan masih dianggap sebagai kaum kelas tiga.
Identitas telah membuat keberadaan seseorang menjadi terbelah, membayang-bayangi dirinya sebagai manusia terjajah yang merupakan refleksi dari kegelapannya. Karena itu, manusia terjajah memiliki hasrat untuk keluar, untuk melarikan diri dari kondisi tersebut, dan masuk ke dalam sang lain yang diidealkan. Untuk menjadi eksis, sang diri, harus masuk ke dalam ruang, tubuh, pikiran, dan pandangan sang lain. Hal ini berarti ada relasi antara hasrat sang diri dengan objek yang dihasratinya, yang merupakan basis identifikasi tersebut. (dalam Martayana) Hal ini tergambar dari upaya-upaya Walini untuk menjadi setara dengan Filipus Suaminya yang merupakan seorang Belanda totok.
Selanjutnya, ambivalensi terjadi pada tokoh pribumi lainnya yaitu Wirosoeseno. Merupakan seorang anak Mantri Ulu-ulu atau mantri pengairan, setingkat di bawah kepala desa. Wirosoeseno merupakan priyayi rendahan yang mengenyam Pendidikan Volkschool atau Sekolah Desa dan Tweede Klasse School atau Sekolah Angka Loro. Wirosoeseno merupakan anak yang cerdas. Ia dikenal terampil membuat aneka hasta karya. Pada tingkat sekolah lanjutan pun Wirosoeseno sudah mengalami ambivalensi, hal ini terdapat dalam kutipan :