Mohon tunggu...
Yoanda Suastanti
Yoanda Suastanti Mohon Tunggu... Buruh - saya

selalu ada jalan untuk orang-orang yang masih menggenggam harapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ambivalensi Tokoh Indonesia dan Belanda dalam Novel Sang Raja Karya Iksaka Banu: Kajian Poskolonial

21 September 2024   00:24 Diperbarui: 21 September 2024   00:27 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Filipus mengalami ambivalensi saat berkomunikasi dengan Wirosoeseno. Sebagai seorang Belanda totok yang bangga akan identitas dan bahasanya, kefasihan Filipus dalam berbahasa Melayu merupakan sikap penjajah yang bias dalam merumuskan identitasnya. Hal ini diperkuat dengan kutipan lainnya :

"Pria Belanda bermata abu-abu itu memperjelas kalimatnya dengan kedua tangannya, seolah tak menyadari betapa fasihnya ia berbahasa Melayu." (Banu, 2017:125)

Kutipan di atas menengaskan bahwa Filipus sangat fasih berbahasa Melayu bahkan sama dengan kefasihan pribumi. Filipus merepresentasikan sebagai Belanda totok yang kebingungan dalam merumuskan identitasnya. Peniruan merupakan proses kultural yang memberi peluang berlangsungnya agensi dari subjek kolonial untuk memasuki kuasa superior sekaligus bermain-main di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas yang menyerupai terjajah tetapi tidak sepenuhnya sama.

Filipus melakukan mimikri yang disebabkan adanya hubungan yang ambivalen antara penjajah dan terjajah, Ia tidak menolak bergaul dengan peribumi bahkan seolah tidak berjarak dengan pribumi dan menyerupai pribumi, tetapi hal tersebut adalah bias. Filipus mengalami ambivalensi yaitu tetap beridentitas Belanda, yang bergaul dengan pribumi bahkan fasih berbahasa Melayu.

  • Ambivalensi Orang Tua Filipus : Humanis sekaligus Superior

Papanya merupakan seorang pensiunan pegawai bank Belanda di Batavia. Ia merupakan tokoh Belanda yang baik yang memperlakukan pekerja pribumi dengan baik dan menganggap pribumi manusia sama sepertinya. Orang tua Filipus memperbolehkan Filipus bermain bersama pribumi, hal yang tidak semua Belanda totok lakukan. Hal ini terdapat pada kutipan :

"Aku tidak melarangmu bergaul dekat dengan mereka, para bumiputera itu Filip. Tetapi engkau harus pandai menempatkan diri." (Banu, 2017:23)

Dari kutipan di atas, Orang tua Filipus mengalami ambivalensi: pada teks aku tidak melarangmu bergaul dengan mereka menjelaskan bahwa orang tua Filipus tidak seperti orang Belanda kebanyakan yang melarang anak-anaknya bergaul dengan pribumi yang menurut Belanda tidak beradab, bar-bar dan lain sebagainya. Namun orang tua Filipus pun menegaskan bahwa Filipus harus membatasi pergaulannya dengan Pribumi. Sikap orang tua Filipus ini merupakan sikap yang bias yaitu memperbolehkan tetapi jangan terlalu membaur. Selanjutnya Ambivalensi orang tua Filipus dapat dilihat dalam penggalan kalimat:

"Filip, papa tidak pandai menyusun kalimat. Tetapi intinya begini: aku suka melihatmu fasih mengenal dan mempelajari kehidupan masyarakat pribumi. Itu akan menjadi bekal berharga di masa depan. Membuatmu tak mudah ditipu. Membuatmu tahu persis bagaimana menggunakan bakat dan tenaga mereka untuk mendukung keperluan kita, maupun untuk kebaikan mereka sendiri. Engkau tentu tahu, suka atau tidak, alam telah memilih kita menjadi pemimpin orang-orang itu. Dan pemimpin yang baik adalah yang memahami kehidupan bawahanya. Tetapi tidak bercampur dengan mereka." (Banu, 2017:24)

Pada kutipan di atas, menjelaskan bahwa orangtua Filipus tidak melarang Filipus bergaul dengan pribumi karena menurut orang tua Filipus mengenal karakter pribumi merupakan sebuah modal untuk bertahan hidup. Pada teks bekal berharga di masa depan menegaskan bahwa mengetahui karekter pribumi adalah bekal agar tidak mudah ditipu, mampu memanfaatkan tenaga dan pikiran pribumi untuk kesejahteraan dan kepentingan Filipus serta keluarganya.

Orangtua Filipus masih berpandangan kolonial, pada teks Engkau tentu tahu, suka atau tidak, alam telah memilih kita menjadi pemimpin orang-orang itu menjelaskan bahwa Orang tua Filipus merasa bahwa menjadi Eropa adalah sebuah takdir menjadi pemimpin pribumi. Namun orangtua Filipus pun berpandangan bahwa pemimpin yang baik adalah yang tahu keadaan bawahannya, tidak dengan menyiksa secara fisik. Sikap orang tua filipus ini ambivalensi : ia orang Belanda totok yang memperbolehkan anaknya bergaul dengan pribumi tetapi tidak boleh sama seperti pribumi

  • Ambivalensi sebagai usaha kesetaraan pribumi terhadap Belanda

Sebagai seorang pribumi yang bekerja pada Belanda, tokoh Walini merupakan perempuan pribumi yang dengan setia mengabdi pada majikan Belanda nya dengan sepenuh hati dan bersedia dinikahi walaupun harus mengorbankan identitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun