Permasalahan selanjutnya adalah Sebagai orang Belanda totok, Filipus mengalami kebingungan dalam keputusannya menikahi seorang wanita pribumi. Filipus menikahi seorang pribumi namun mencintai seorang Eropa. Dengan menikahi seorang pribumi, ia sekaligus dapat mengamankan aset dan kedudukannya. Hal ini merupakan sebuah tindakan seorang penjajah yang dengan kebaikannya namun memiliki misi lain yang menguntungkan dirinya sehingga ia tetap menikahi Walini yang seorang pribumi. Kutipan dibawah menggambarkan ambivalensi yang terjadi kepada Filipus dan orang tuanya :
 "Walini dapat memperoleh suami yang lebih layak daripada seorang tukang daging berperut buncit dan berbau kambing itu. Ku katakana kepada ibunya bahwa Walini akan dipersunting anak tuan besar Belanda."(Banu, 2017:31)
Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa orang tua Filipus tidak rela jika Walini yang dinilainya cerdas dinikahkan dengan tukang daging sesama pribumi, orang tua Filipus berpendapat bahwa Walini layak mendapat suami orang Belanda. Hal ini berlainan dengan pernyataan orang tua Filipus tentang pribumi yang bar-bar dan tidak beradab dan sebagai Belanda harus pandai menjaga jarak. Orang tua Filipus jelas mengalami ambivalensi yaitu penjajah menginginkan agar terjajah sama sepertinya tetapi tidak boleh benar-benar sama.
Filipus pun merasa bingung dengan pernyataan kedua orang tuanya tentang Walini. Walaupun Filipus setuju bahwa Walini adalah wanita yang cerdas dan berhak mendapat suami yang lebih dari sekedar tukang daging, tetapi sikap ambivalen yang orangtua Filipus tunjukan tidak dapat dimengerti oleh Filipus. hal ini terdapat pada kutipan :
"Dipersunting anak Tuan Besar Belanda? Rasanya aku sepakat soal kepandaian Walini, tetapi terus terang aku agak bingung mendengar bagian akhir kalimat papa mengingat pembicaraan serius kami di Pantai Zandvoort sekian tahun lalu bahwa orang kulit putih hendaknya menjaga citra baik dengan tidak bercampur langsung dengan pribumi. Apakah papa lupa?" (Banu, 2017:31)
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Filipus mempertanyakan sikap ambivalen orangtuanya, yaitu menjaga citra Belanda sebagai yang superior dan tidak boleh bercampur dengan pribumi, Barat menganggap dirinya rasional dan berbudi luhur, "normal". Mereka adalah penalar yang cermat; semua pernyataannya mengenai fakta, bebas dari semua bentuk kekaburan.
Ia adalah logikawan alami sekalipun mungkin ia tidak mempelajari logika; ia memiliki pembawaan yang skeptis dan menuntut bukti sebelum menerima kebenaran dari sesuatu, intelegensinya yang terlatih bekerja laksana sebuah mesin (Said, 2016).
Namun, pernyataan bahwa orang tua Filipus menghendaki pribumi yang akan dinikahkan dengan Tuan Besar Belanda mendekonstruksi pemahaman yang dianggap benar oleh kebanyakan Belanda, bahwa Belanda tidak boleh bercampur apalagi menikah dengan pribumi. Hal ini mendeskripsikan sikap orang tua filipus yang mengalami ambivalensi yang tidak selalu terjadi pada kam terjajah, akan tetapi dapat terjadi pula pada kaum penjajah. Ambivalensi lainnya dapat dilihat pada kutipan :
"Kusampaikan pada ibu Walini, bahwa aku bersumpah akan merawat Walini sebagai istri, bukan sekedar gundik. Ku berikan pula janjiku, bahwa aku tidak akan menikah lagi dengan orang Eropa, dan sampai kapanpun tak akan pernah mengusir Walini." (Banu, 2017:60)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Filipus tidak berniat menjadikan Walini gundik dan meyakinkan ibu Walini dengan berjanji untuk tidak akan menikah dengan orang Eropa. Gundik pada masa penjajahan merupakan hal yang lumrah yang dilakukan oleh orang-orang eropa yang tinggal di Hindia Belanda. Istilah gundik digunakan untuk menggambarkan perempuan yang dikawini tanpa dinikahi, bisanya berkonotasi negatif yang berarti perempuan peliharaan.
Sebagai Belanda totok, tentu janji-janji Filipus ini tak biasa dilakukan oleh sebangsanya. Dengan identitasnya yang superior tersebut Filipus mengalami ambivalensi yang tidak menghendaki adanya pergundikan dalam pernikahannya dan tetap memilih menikahi pribumi daripada kaum sebangsanya. Hal ini diperkuat dengan kutipan :