Mohon tunggu...
Sahashika Sudantha
Sahashika Sudantha Mohon Tunggu... Freelancer - Telling stories until mine echo with meaning.

Holds a Bachelor’s degree in International Relations, with a focus on the issues of Palestine, Rohingya, and Indonesia. Currently writing on several platforms.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Palestina: Perspektif Nasionalisme Hamas vs "Palestina"

24 Februari 2024   21:52 Diperbarui: 24 Februari 2024   22:03 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.instagram.com/ceyzaamera?utm_source=ig_web_button_share_sheet&igsh=ZDNlZDc0MzIxNw==Input sumber gambar

Empat bulan berjalannya konflik, jumlah kematian dari kedua belah pihak menjadi tidak terbayangkan. Setidaknya 5% populasi Palestina telah meninggal, terluka, dan terpisah dari keluarga. 17,000 anak-anak menjadi yatim dalam sekejap. Kelaparan melanda. Krisis menjadi tidak terhindarkan. Gencatan senjata harus segera dilakukan.


Dalam wawancaranya konferensi persnya pada Minggu (19/02), yang dikutip melalui Al-Jazeera, Benjamin Netanyahu selaku Perdana Menteri Israel mengatakan:
Whoever is telling us not to operate in Rafah, is telling us to lose the war. I won't give it a hand. Our military pressure is working, (and) we are closing on (attacking) Hamas in the capital of terrorism Khan Younis. In the last few days, we have reached areas the enemy never imagined that we will reach. A deal (with the Palestinians otorities) will only be reached through direct negotiations between the sides, without preconditions. Israel under my leadership will continue strongly to oppose the unilateral recognition of Palestinian state.


Pernyataan ini ia sampaikan karena pada Senin (12/02) sebelumnya, militer Israel melancarkan operasi militer khusus di Rafah.
Operasi ini disinyalir dilakukan untuk membebaskan dua tawanan Israel di bawah penyanderaan Hamas yang diduga diculik dan disembunyikan di kota tersebut. Rafah sendiri merupakan salah satu kota paling padat penduduk di Gaza dengan 1,5 juta pengungsi yang berpindah ke dalam wilayah tersebut. Kota ini dihuni dengan begitu banyak pengungsi pasca arahan dari Israel sebelumnya untuk berpindah ke arah Selatan Gaza, yang mana kota tersebut menjadi perbatasan terakhir sebelum masuk ke Mesir.


Dengan luas wilayah hanya sebesar 151 km2, atau lebih kecil daripada luas kota Bandung (167,3 km2), tentu gempuran militer ke sana cukup menyudutkan kondisi Palestina. Beberapa sumber mengatakan kematian mencapai 37 jiwa, sumber lainnya mengatakan angka tersebut hingga 48 jiwa dan terus meningkat dengan kondisi korban terluka saat itu. Dengan jumlah kematian yang begitu besar, Netanyahu bersikukuh bahwa pihaknya telah memberikan "jalur aman" bagi warga sipil untuk meninggalkan wilayah tersebut. Tetapi seperti yang kita tau, tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi pengungsi di wilayah Gaza.


Lantas mengapa Israel begitu tega melaksanakan operasi di wilayah padat penduduk?
Jawabannya terletak pada pernyataan Netanyahu sebelumnya, yaitu Israel akan melakukan berbagai cara untuk menekan Hamas dan kesepakatan akan tercapai hanya bila Hamas memutuskan untuk berhenti membicarakan solusi Satu Negara. Solusi Satu Negara atau One-State Solution merupakan visi utopis yang ingin Hamas capai dalam berhadapan dengan Israel. Dengan melaksanakan solusi ini, berarti Hamas menginginkan untuk membentuk negara Palestina dengan utuh dan menghilangkan Israel dari peta dunia.


Lalu, siapa itu Hamas? dan mengapa solusi ini tidak mungkin untuk dilaksanakan?
Untuk menjawabnya, kita harus memahami Nasionalisme yang Hamas anut. Hamas merupakan entitas politik yang berhasil mendominasi kekuatan politik Palestina pasca kemenangan mereka pada Pemilu Legislatif di tahun 2006. Sebagai Pemilu terakhir yang pernah dijalankan oleh Palestina, sebelumnya terjadi pada tahun 1996 dan merupakan Pemilu pertama Palestina, kekuasaan Hamas menjadi semakin kuat dengan berbagai dinamika yang terjadi. Dengan menguasai legislatif, maka segala keputusan politik Palestina harus dilalui dan disepakati oleh Hamas. Hal ini diperburuk dengan badan eksekutif Palestina yang dikuasai oleh rival Hamas, yaitu Fatah dengan presiden mereka yaitu Mahmoud Abbas.

Memahami Konsep Nasionalisme
Memahami Nasionalisme menjadi penting untuk mengetahui emosi seperti apa yang mendasari sebuah perjuangan; nilai apa yang ingin diwujudkan. Dengan pandangan ini juga kita bisa mengetahui apa yang sebenarnya masyarakat Palestina inginkan. Bagaimana Nasionalisme menjadi penting dalam menyadari bahwa konsep benar dan salah hanyalah perihal sudut pandang yang berbeda saja.
Sepanjang sejarah, manusia selalu berusaha untuk memisahkan antara "kita" dan "kalian". Tak kurang dari jutaan manusia telah gugur dalam perang atas nama perjuangannya masing-masing. Jika pada awalnya kelompok manusia mengkriteriakan dirinya sebagai sebuah suku atau kerajaan, maka sekarang kelompok tersebut membutuhkan lebih dari sekedar pengakuan untuk mencirikan kelompoknya sendiri.


Inilah yang menjadi latar belakang perkembangan nasionalisme, yaitu kekhawatiran manusia untuk menegaskan dirinya dibandingkan kelompok lain.


Banyak yang masih keliru untuk membedakan antara nationalism (nasionalisme atau kebangsaan) dengan nation (bangsa) itu sendiri. Steven Grosby dalam bukunya mengatakan bahwa bangsa adalah komunitas teritorial berdasarkan kelahiran.


Namun kita harus pahami bahwa suatu bangsa lahir dari berbagai proses sejarah, dan pemahamannya akan masa lalu tergantung dari anggapan mereka tentang sejarah itu sendiri. Entah melalui cerita, mitos, atau sejarah yang nyata, memori ini berkontribusi penting dalam memahami perbedaan mereka dengan kelompok lain serta turut berkontribusi dalam pemberian identitas mereka.


Sebelum terbentuknya sebuah kelompok, maka kelompok ini harus berpartisipasi dalam tradisi yang sama, atau bisa juga disebut juga sebagai collective self-consciousness. Hadirnya kepercayaan yang berbeda, hubungan sosial yang unik, dan pertimbangan lainnya membentuk kesadaran diri mengenai identitas tersebut.


Sebuah bangsa tidak hanya lahir dari bagaimana sejarah "menghadirkan" mereka, tetapi juga bagaimana sejarah "membentuk" mereka.
Hal ini turut disampaikan juga oleh Eric Hobsbawm dalam bukunya yang mengatakan bahwa terdapat tiga kriteria dari sebuah bangsa: latar belakang dari negara atau sejarah, hadirnya struktur dan elemen seperti bahasa, serta yang terakhir adalah kesadaran bersama.


Inilah yang menjadi poin karakteristik dari nasionalisme, yaitu hadirnya in-group atau kelompok yang menjadi bagian dari suatu identitas, dan kelompok out-group atau kelompok di luar dari identitas tersebut. Keberadaan kedua kelompok ini bisa mempercepat hadirnya kompetisi atau rivalitas antara keduanya, sehingga bukan tidak mungkin konflik muncul untuk menantang identitas dan nilai yang diperjuangkan tersebut.


Nasionalisme juga diartikan sebagai ideologi yang membayangkan kelompok manusia atau komunitas dengan cara tertentu (nasionalistik), menegaskan identitasnya di atas yang lain, dan mencari kekuatan politik atas imajinasi tersebut.


Dari pemahaman ini semua maka dapat kita simpulkan Nasionalisme adalah produk dari berbagai orientasi yang terus berubah sesuai dengan perkembangan sejarah terkini. Apa yang dianggap penting dan benar untuk suatu bangsa. Dengan berbagai usaha yang dilakukan, Nasionalisme akan berusaha untuk mewujudkan imajinasi atas kekuatan politik untuk memperjuangan identitas tersebut. Identitas tadi merupakan suatu kebanggaan yang hadir atas proses sejarah yang berlangsung lama.


Lantas mengapa memahami ini menjadi penting dalam konflik Israel-Palestina?

Nasionalisme Hamas vs. "Palestina"
Di luar pertempuran politik yang terjadi di dalam partai politik dan ideologi Palestina, terlihat cukup jelas bahwa Palestina pasca 1948 berada dalam kondisi terkejut. Pasalnya dampak dari konflik ini adalah terusirnya 750,000 dari 900,000 populasi Palestina akibat teror dan rasa takut yang hadir pasca pendudukan Israel di sana. Banyak yang bermigrasi ke Lebanon, sebagian lainnya ke Yordania dan Suriah, serta yang berada di dalam Palestina menetap di Gaza (sebanyak 190,000 orang) dan Tepi Barat (300,000 jiwa).


Pada awalnya masyarakat Palestina banyak bergantung pada berbagai otoritas Arab, seperti dari Yordanian dan Mesir. Menurut H. Gerber harapan dalam Pan-Arabisme bergantung banyak pasca pembentukan Liga Arab pada 1945. Identitas Arab dengan berbagai latar belakang budaya dan sejarah yang sama dirasa mampu untuk membersamai berbagai permasalahan yang ada di Timur Tengah. Namun pada kenyataannya Liga Arab kesulitan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi.


Menyadari bahwa mereka tidak bisa bergantung kepada negara yang pragmatis dengan Israel, masyarakat Palestina pada akhirnya harus berjuang sendiri dengan membentuk PLO dan PNC sebagai otoritas pemerintahan mereka. Hadirlah Arafat sebagai sosok pemimpin kharismatik yang mereka butuhkan saat itu. Keberhasilan PLO pada 1960an disokong dengan kehadiran Fatah sebagai gerakan politis mendesak Israel.


Sebagai pemimpin dari Fatah dan juga Palestina, nilai-nilai nasionalis Palestina sangat bergantung dari bagaimana Arafat membawa arah gerak kedua hal tersebut. Dalam berpolitik, Fatah sendiri sangat membuka ruang komunikasi dengan Israel, dari sinilah muncul gagasan two-states solution atau pembagian wilayah kenegaraan menjadi dua: Israel dan Palestina.


Tidak ada yang dapat memanuver proses diplomasi Palestina selain dari terjadinya Intifada Pertama pada tahun 1987–1993. PLO dihadapkan dengan kejutan atas demonstrasi yang begitu besar di wilayah Timur-Tengah. Gejolak ini dinilai dapat terjadi karena Arafat dinilai tidak bisa membawa perubahan semenjak masa kepempimpinannya di tahun 1967.


Dari sinilah Hamas muncul ke permukaan.


Hamas hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap Israel dan sandingan politik Fatah yang dinilai gagal mencapai nilai-nilai perjuangan Palestina. Dari pernyataan di awal kita mengetahui bahwa Hamas menginginkan negara Palestina yang utuh tanpa Israel, namun visi ini datang bukan tanpa sebab. Visi ini terbentuk dari pemimpin pertama mereka, yaitu Syekh Ahmad Yassin.

Ahmed Yassin, dilansir dari: theguardian.com/world/2023/oct/10/from-the-archive-1988-hamas-founder-sheikh-yassin-interviewed
Ahmed Yassin, dilansir dari: theguardian.com/world/2023/oct/10/from-the-archive-1988-hamas-founder-sheikh-yassin-interviewed

Yassin lahir pada 1956 dari keluarga kelas menengah di sebuah desa yang sekarang berada di utara Gaza. Pada 1948, ia bersama keluarganya terpaksa pindah dari tempat tinggalnya menuju ke kamp pengungsiaan di sekitar Gaza. Hidupnya yang tak mudah semakin diperburuk ketika ia mengalami cedera tulang belakang ketika tengah bermain di pantai di tahun 1952, dari kejadian ini hingga seterusnya membuat ia terpaksa harus menggunakan kursi roda hingga akhir hayatnya.


Di usianya yang mulai beranjak dewasa, ia menghabiskan waktunya di mesjid-mesjid Gaza di mana ia mulai terekspos oleh ajaran Hassan al-Banna, salah satu pencetus Muslim Brotherhood. Yaitu organisasi yang pada awalnya terbentuk untuk menyatukan umat Muslim dalam perjuangan Palestina. Dari organisasi ini juga Fatah terbentuk.


Lantas pengaruh al-Banna pada Yassin terus berlanjut, ketika di usia dewasanya Yassin memutuskan untuk mengambil Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikannya. Di tempat ini, Yassin memiliki kontak yang cukup erat dengan Muslim Brotherhood cabang Mesir. Dari tempat ini jugalah Yassin pertama kali ditangkap oleh otoritas setempat karena dugaan adanya upaya perluasan kekuasaan Muslim Brotherhood di Mesir yang dianggap sebagai bentuk ancaman saat itu.


Dengan mulai tersorotnya nama Yassin sebagai tokoh pergerakan dan religi pada saat itu, membuatnya mampu mendirikan Islamic Center, yang merupakan suatu organisasi aksi sosial Palestina, pada tahun 1973 di Gaza. Sosoknya yang religius bahkan dianggap sebagai seorang tokoh agama membuatnya mudah untuk mendapatkan pengikut dan pendengar atas ajaran-ajaran yang disampaikannya. Yassin mengembangkan jaringan logistik dan bantuan finansialnya melalui dakwah, dan dari kegiatan keagamaan ini juga ia merekrut anggota-anggota barunya.


Meskipun sosoknya sangat erat dengan berbagai kegiataan keagamaan, Yassin nyatanya terbukti merencanakan dan membawa berbagai aksi teror di Palestina. Dari kuantitas anggotanya yang kian meningkat, maka Yassin dengan mudah menghadirkan berbagai operasi militer di Gaza. Karena alasan ini juga, Yassin beberapa kali ditangkap oleh Israel beberapa waktu setelahnya.


Pendirian Hamas dianggap oleh beberapa ahli politik seperti Shaul Bartal merupakan bentuk pengembangan kekuatan Yassin melalui cara yang lebih politik dan non-radikal. Ketika Yassin ditangkap pada tahun 1983, Yassin pernah mengatakan bahwa tujuannya adalah melawan faksi-faksi politik yang bertentangan dengan Islam di Gaza dan melakukan operasi jihad terhadap Israel.


Sudah mafhum bagi kita untuk mengetahui cara kerja Israel untuk mengeliminasi tokoh-tokoh penting Palestina adalah sebagai bentuk penghancuran terhadap kekuatan perjuangan negara tersebut. Hal ini juga berlaku bagi Yassin yang beberapa kali menjadi target pembunuhan oleh Israel. Namun Israel berhasil mencapai tujuannya ini dengan membunuh Yassin pada 2004, ini cukup memberikan gonjangan terhadap kestabilitasan organisasi ini.


Pemimpin harus segera diganti, namun tidak ada kandidat yang lebih kuat menggantikan Yassin selain Ismail Haniyeh. Haniyeh mulai terlibat di berbagai gerakan Hamas semenjak tahun 1990an. Kekuatan politik yang ia raih di Hamas bermula ketika ia bebas setelah menjadi tawanan Israel setelah partisipasinya pada Intifada Pertama. Partisipasinya atas perjuangan Palestina dianggap menjadi nilai plus bagi Haniyeh, ditambah pada 1997 ia ditunjuk sebagai sekretaris pribadi dari Ahmad Yassin yang membuat ia memiliki kepercayaan dengan atasan sekaligus guru spiritualnya saat itu.

Ismail Haniyeh, dilansir dari: detik.com/jabar/berita/d-7089196/ismail-haniyeh-perjuangan-palestina-tanpa-hamas-hanya-khayalan
Ismail Haniyeh, dilansir dari: detik.com/jabar/berita/d-7089196/ismail-haniyeh-perjuangan-palestina-tanpa-hamas-hanya-khayalan

Inisiasinya yang begitu besar, ditambah dengan momentum merebaknya kembali demonstrasi besar-besaran pada Intifada Kedua di tahun 2000, menjadikannya opsi terbesar untuk menggantikan Yassin pasca kepergiannya. Sehingga pada Desember 2005, Haniyeh terpilih sebagai pimpinan tertinggi organisasi tersebut.


Tak lama setelah itu, Hamas memenangkan Pemilu Legislatif Palestina pada Januari 2006 dan menjadikannya sebagai Perdana Menteri terpilih Palestina.


Di awal kepempimpinan Haniyeh, cukup banyak hal drastis yang dihadapi oleh Hamas. Hamas yang sebelumnya tidak diakui pemerintahannya, sekarang secara resmi memegang kendali politik di Jalur Gaza. Sebelum kemenangan ini, Fatah, partai sekuler nan nasionalis Palestina, memegang hampir seluruh kursi pemerintahan dan posisi penting di otoritas Palestina. Setelah kemenangan Hamas pada 2006, perubahan politik terjadi secara signifikan di teritori Palestina. Terjadi guncangan dan dinamika yang kompleks ketika dua pemerintahan yang sering kali berlawanan, memerintah di satu negara yang sama.


Pemerintahan yang hadir pun diwakilkan oleh dua sosok yang berbeda, yaitu Abbas sebagai presiden Palestina memegang kuasa di Tepi Barat dan Haniyeh dipilih oleh Hamas sebagai perwakilan resmi mereka dengan jabatan Perdana Menteri yang mengendalikan wilayah Gaza.


Bagi sebagian negara Barat, sebut saja Inggris, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, mereka mendukung sudut pandang yang dibentuk oleh Israel untuk melihat Hamas sebagai, tak lebih daripada, kelompok teroris dan radikal saja. Oleh karena itu, pandangan ini seakan mewakilkan masyarakat di wilayah Barat dunia atas minimnya pengakuan terhadap Hamas dan kemenangannya pada 2006 lalu.
Bahkan di dalam Palestina sendiri, Fatah memiliki pendirian untuk tidak mengakui kemenangan Hamas sehingga berbagai konflik terjadi pasca Pemilu tersebut. Dari faktor eksternal dan internal inilah, pemerintahan Palestina yang diakui biasanya merujuk kepada Fatah. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, perjuangan Palestina apa yang ingin mereka tuju?

Fatah yang menduduki kekuasaan di Tepi Barat dan Hamas di Gaza menghadirkan dualitas pemerintahan di Palestina. Masing-masing dari entitas ini mempunyai tujuan dan pendekatannya masing-masing dalam mendefinisikan apa itu perjuangan Palestina. Masing-masing kekuatan enggan menurunkan kekuatannya di perpolitikan Palestina.


Bagi Haniyeh, penting baginya menghadapi ini dengan berbagai kebijakan serta pendirian yang teguh, seperti apa yang dilakukan oleh pemimpin Hamas sebelumnya yaitu Ahmad Yassin.


Kerasnya Haniyeh dalam menghadapi Israel bisa dilihat dari pidatonya pada Maret 2007 di hadapan PLC, ketika ia mempresentasikan pemerintahannya di Gaza yang menyandingkan kekuatan Abbas di Tepi Barat. Di sana, Haniyeh menekankan delapan poin mengenai arah gerak politik Hamas, visi tersebut adalah:
1. Yerusalem, Haniyeh menekankan untuk membentuk Komite Eksekutif PLO khusus untuk menindaklanjuti urusan kota tersebut, terutama dalam mengalokasikan anggaran yang jelas. Haniyeh juga menginginkan kota suci tersebut sebagai ibukota dari negara Palestina nantinya.


2. Kependudukan, Haniyeh menegaskan pentingnya konsolisasi antara elemen pemerintahan Palestina. Dengan ini, ia mengharapkan bahwa pemerintah, terutama yang berada di Tepi Barat, untuk tunduk kepada dokumen Konsiliasi Nasional. Hal ini berarti Palestina harus mengajukan segala proses negosiasi yang dilakukan bersama Israel untuk disepakati terlebih dahulu bersama Dewan Nasional Palestina, yang mana pada saat itu dikuasai oleh partainya Haniyeh yaitu Hamas.


3. Keamanan, Haniyeh mengakui adanya kondisi internal yang sulit karena perbedaan kepercayaan dan nilai yang dianut antara pemerintahan pusat dan pemerintahan yang dirinya ingin bangun. Oleh karena itu, ia mengajukan perumusan kembali bagaimana Dewan Nasional Palestina bekerja di kemudian hari.


4. Hukum, Haniyeh menginginkan adanya reformasi, aktivasi, dan perlindungan aparat peradilan dengan semua insitusinya agar dalam bekerja mereka dapat melakukan tugasnya secara sempurna. Tentu hal ini harus didasari dengan Hukum Dasar Palestina atau UU Sementara yang berlaku di semenjak tahun 2003 dan bahkan belum diamandemen hingga sekarang.


5. Ekonomi, Haniyeh meminta pemerintahan pusat untuk mempertimbangkan kembali Protokol Ekonomi Paris untuk melakukan pembebasan ekonomi Palestina. Lebih lanjut, ia berfokus kepada elemen-elemen dalam skala ekonomi makro dan mikro untuk mensejahterakan rakyat dan negara tersebut nantinya.


6. Di bidang reformasi, Haniyeh menginginkan adopsi reformasi administrasi dan keuangan dengan tujuan mengeluarkan UU yang memperkuat upaya perlawanan terhadap korupsi, hal ini bisa jadi berasal dari pesimistik Haniyeh terhadap Fatah yang dinilai banyak melakukan korupsi selama ini.


7. Selanjutnya, Haniyeh memaparkan bagaimana nilai-nilai Palestina harus diperkuat. Hal tersebut meliputi nilai saling menghormati dan menghargai bahasa dialog, perihal persatuan rakyat, kestabilan internal, jaminan kesetaraan, menghargai pluralisme, kemitraan politik, dukungan atas para martir, kehidupan yang bermartabat, sokongan terhadap guru dan aparat pendidikan, perhatian kepada pemuda dan gerakan olahraga, penerapan rancangan UU terhadap orang dengan berkebutuhan khusus, hak-hak perempuan, dan dukungan terhadap LSM.


8. Hubungan internasional, Haniyeh berpendapat bagaimana Palestina seharusnya didukung oleh Liga Arab. Serta bagaimana pemerintahannya akan menegaskan tolerasi dan komitmen yang dilakukan oleh organisasi seperti Uni Eropa dengan mengedepankan hak-hak hukum internasional dan hukum humaniter.


Dalam berbagai arah gerak politik Haniyeh yang telah dipaparkan sebelumnya, Haniyeh sangat jelas menekankan bagaimana strategi pemerintahannya dalam menghadapi masalah yang dihadapi Palestina saat ini. Dalam beberapa poin, kita bisa melihat bagaimana Haniyeh mengedepankan perubahan yang ingin dibawa, sekaligus menjadi kritik bagi pemerintahan Fatah yang dinilai sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai perjuangan Palestina selama ini. Dari alasan ini, bisa kita pahami bahwa inilah yang menjadi dasar strategi agresi yang dilakukan oleh Hamas nantinya di masa pemerintahan Haniyeh.


Kesimpulan: Palestina Mana yang Mau Kita Perjuangkan?
Disebutkan dari sebelumnya bahwa kedua organisasi, partai politik, atau kelompok masyarakat ini lebih tepat disebut sebagai entitas. Pasalnya, Hamas dan Fatah merupakan wujud yang dalam perannya berubah-ubah dari bagaimana kita melihatnya. Sehingga jika kita berbicara dalam konteks perjuangan kemerdekaan Palestina, tidak mungkin bagi kita untuk mengesampingkan bagaimana Nasionalisme kedua entitas ini berperan penting dalam menentukan pendekatan seperti apa yang ingin dilakukan ke Palestina.


Perbedaan antara keduanya cukup terlihat jelas. Di luar Fatah yang menginginkan tanah Palestina untuk dibagi dua dengan Israel, sesuai dengan apa yang disepakati PBB sebelumnya, serta Hamas yang tidak sudi memberikan tanahnya ke Israel, perbedaan yang terjadi juga meliputi berbagai aspek perjuangan lainnya.


Misalkan dalam konteks ruang dialog dengan Israel.


Dari tahun 1948 hingga tahun 2000, tercatat setidaknya terdapat 10 lebih upaya kesepakatan mengenai masa depan Israel dan Palestina yang terjadi. Kesepakatan tersebut yaitu:


Perjanjian Gencatan Senjata (1949), Rencana Allon (1967) dan Rogers (1969), Konferensi Jenewa (1973), Camp David Accords (1978) dan KTT Kamp David (2000), Konferensi Madrid (1991) dan Kesepakatan Oslo (1993), serta pertemuan-pertemuan dalam skala kecil dan besar lainnya yang terjadi selama rentang waktu tersebut.


Hal ini berbanding terbalik pada perpolitikan pasca tahun 2000. Memasuki abad ke-21, kita terus saja menemukan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan. Meskipun memang sebenarnya banyak aspek yang memperumit berjalannya kesepakatan, akan tetapi kelompok oposisi seperti Hamas menjadikan hal ini sebagai argumen dalam menjatuhkan kekuasaan Fatah. Jika dilihat dari sikap, maka Hamas secara tegas menolak pendekatan Fatah yang dinilai terus saja gagal.


Misalkan saja, Hamas menangganggu proses perdamaian yang terjadi yang dimulai pada Juli 2013, ketika pada saat itu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (John Kerry) mengajukan kembali proses perdamaian. Namun Hamas selaku pemerintahan Palestina di Gaza menolak ajuan Kerry dan menyatakan bahwa Abbas bukanlah pihak yang bisa diajak bernegosiasi karena Abbas bukanlah orang yang memiliki legitimasi untuk bernegosiasi atas nama rakyat Palestina.


Dari proses yang terjadi pasca kemenangan Hamas, kita bisa menemukan bahwa sangat minim diplomasi yang dilakukan antara Palestina dan Israel. Dari upaya perdamaian yang dilakukan juga kita bisa melihat bagaimana Hamas memilih untuk menutup diri dengan menghindari komunikasi dengan Israel. Bahkan pada masa kepemimpinan Hamas di Gaza, hanya tiga upaya yang terjalankan dan masih tidak ada yang membuahkan hasil.


Oleh karena itu, jika kita melihat perjuangan dalam sudut pandang Hamas kita akan menemukan bahwa Hamas hanyalah sebagai benalu dalam perjuangan kemerdekaan Palestina. Namun jika kita melihat dalam perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa perjuangan Hamas selama ini adalah apa yang mereka anggap tepat dan seharusnya dilakukan oleh Palestina: yaitu perlawanan seutuhnya terhadap Israel.


Sebagai kesimpulan, kita bisa memahami bahwa Hamas ibarat teman yang menyebalkan. Bisa jadi kita tidak menyukainya, tetapi tak jarang merekalah yang kita butuhkan. Tidak ada jalur perjuangan yang mudah ditempuh oleh Palestina, entah pendekatan Fatah ataupun Hamas masing-masing mempunyai kekurangan. Inilah yang menjadi jawaban dari semuanya, yaitu pemahaman bahwa apa yang dianggap benar adalah tergantung dari bagaimana nilai mempengaruhi kedua entitas tersebut.

Catatan:
Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Untuk masukan dan saran silahkan menghubungi saya melalui surel saya, atau membaca artikel lainnya melalui Medium saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun