Inisiasinya yang begitu besar, ditambah dengan momentum merebaknya kembali demonstrasi besar-besaran pada Intifada Kedua di tahun 2000, menjadikannya opsi terbesar untuk menggantikan Yassin pasca kepergiannya. Sehingga pada Desember 2005, Haniyeh terpilih sebagai pimpinan tertinggi organisasi tersebut.
Tak lama setelah itu, Hamas memenangkan Pemilu Legislatif Palestina pada Januari 2006 dan menjadikannya sebagai Perdana Menteri terpilih Palestina.
Di awal kepempimpinan Haniyeh, cukup banyak hal drastis yang dihadapi oleh Hamas. Hamas yang sebelumnya tidak diakui pemerintahannya, sekarang secara resmi memegang kendali politik di Jalur Gaza. Sebelum kemenangan ini, Fatah, partai sekuler nan nasionalis Palestina, memegang hampir seluruh kursi pemerintahan dan posisi penting di otoritas Palestina. Setelah kemenangan Hamas pada 2006, perubahan politik terjadi secara signifikan di teritori Palestina. Terjadi guncangan dan dinamika yang kompleks ketika dua pemerintahan yang sering kali berlawanan, memerintah di satu negara yang sama.
Pemerintahan yang hadir pun diwakilkan oleh dua sosok yang berbeda, yaitu Abbas sebagai presiden Palestina memegang kuasa di Tepi Barat dan Haniyeh dipilih oleh Hamas sebagai perwakilan resmi mereka dengan jabatan Perdana Menteri yang mengendalikan wilayah Gaza.
Bagi sebagian negara Barat, sebut saja Inggris, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, mereka mendukung sudut pandang yang dibentuk oleh Israel untuk melihat Hamas sebagai, tak lebih daripada, kelompok teroris dan radikal saja. Oleh karena itu, pandangan ini seakan mewakilkan masyarakat di wilayah Barat dunia atas minimnya pengakuan terhadap Hamas dan kemenangannya pada 2006 lalu.
Bahkan di dalam Palestina sendiri, Fatah memiliki pendirian untuk tidak mengakui kemenangan Hamas sehingga berbagai konflik terjadi pasca Pemilu tersebut. Dari faktor eksternal dan internal inilah, pemerintahan Palestina yang diakui biasanya merujuk kepada Fatah. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, perjuangan Palestina apa yang ingin mereka tuju?
Fatah yang menduduki kekuasaan di Tepi Barat dan Hamas di Gaza menghadirkan dualitas pemerintahan di Palestina. Masing-masing dari entitas ini mempunyai tujuan dan pendekatannya masing-masing dalam mendefinisikan apa itu perjuangan Palestina. Masing-masing kekuatan enggan menurunkan kekuatannya di perpolitikan Palestina.
Bagi Haniyeh, penting baginya menghadapi ini dengan berbagai kebijakan serta pendirian yang teguh, seperti apa yang dilakukan oleh pemimpin Hamas sebelumnya yaitu Ahmad Yassin.
Kerasnya Haniyeh dalam menghadapi Israel bisa dilihat dari pidatonya pada Maret 2007 di hadapan PLC, ketika ia mempresentasikan pemerintahannya di Gaza yang menyandingkan kekuatan Abbas di Tepi Barat. Di sana, Haniyeh menekankan delapan poin mengenai arah gerak politik Hamas, visi tersebut adalah:
1. Yerusalem, Haniyeh menekankan untuk membentuk Komite Eksekutif PLO khusus untuk menindaklanjuti urusan kota tersebut, terutama dalam mengalokasikan anggaran yang jelas. Haniyeh juga menginginkan kota suci tersebut sebagai ibukota dari negara Palestina nantinya.
2. Kependudukan, Haniyeh menegaskan pentingnya konsolisasi antara elemen pemerintahan Palestina. Dengan ini, ia mengharapkan bahwa pemerintah, terutama yang berada di Tepi Barat, untuk tunduk kepada dokumen Konsiliasi Nasional. Hal ini berarti Palestina harus mengajukan segala proses negosiasi yang dilakukan bersama Israel untuk disepakati terlebih dahulu bersama Dewan Nasional Palestina, yang mana pada saat itu dikuasai oleh partainya Haniyeh yaitu Hamas.
3. Keamanan, Haniyeh mengakui adanya kondisi internal yang sulit karena perbedaan kepercayaan dan nilai yang dianut antara pemerintahan pusat dan pemerintahan yang dirinya ingin bangun. Oleh karena itu, ia mengajukan perumusan kembali bagaimana Dewan Nasional Palestina bekerja di kemudian hari.