Hal ini berbanding terbalik pada perpolitikan pasca tahun 2000. Memasuki abad ke-21, kita terus saja menemukan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan. Meskipun memang sebenarnya banyak aspek yang memperumit berjalannya kesepakatan, akan tetapi kelompok oposisi seperti Hamas menjadikan hal ini sebagai argumen dalam menjatuhkan kekuasaan Fatah. Jika dilihat dari sikap, maka Hamas secara tegas menolak pendekatan Fatah yang dinilai terus saja gagal.
Misalkan saja, Hamas menangganggu proses perdamaian yang terjadi yang dimulai pada Juli 2013, ketika pada saat itu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (John Kerry) mengajukan kembali proses perdamaian. Namun Hamas selaku pemerintahan Palestina di Gaza menolak ajuan Kerry dan menyatakan bahwa Abbas bukanlah pihak yang bisa diajak bernegosiasi karena Abbas bukanlah orang yang memiliki legitimasi untuk bernegosiasi atas nama rakyat Palestina.
Dari proses yang terjadi pasca kemenangan Hamas, kita bisa menemukan bahwa sangat minim diplomasi yang dilakukan antara Palestina dan Israel. Dari upaya perdamaian yang dilakukan juga kita bisa melihat bagaimana Hamas memilih untuk menutup diri dengan menghindari komunikasi dengan Israel. Bahkan pada masa kepemimpinan Hamas di Gaza, hanya tiga upaya yang terjalankan dan masih tidak ada yang membuahkan hasil.
Oleh karena itu, jika kita melihat perjuangan dalam sudut pandang Hamas kita akan menemukan bahwa Hamas hanyalah sebagai benalu dalam perjuangan kemerdekaan Palestina. Namun jika kita melihat dalam perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa perjuangan Hamas selama ini adalah apa yang mereka anggap tepat dan seharusnya dilakukan oleh Palestina: yaitu perlawanan seutuhnya terhadap Israel.
Sebagai kesimpulan, kita bisa memahami bahwa Hamas ibarat teman yang menyebalkan. Bisa jadi kita tidak menyukainya, tetapi tak jarang merekalah yang kita butuhkan. Tidak ada jalur perjuangan yang mudah ditempuh oleh Palestina, entah pendekatan Fatah ataupun Hamas masing-masing mempunyai kekurangan. Inilah yang menjadi jawaban dari semuanya, yaitu pemahaman bahwa apa yang dianggap benar adalah tergantung dari bagaimana nilai mempengaruhi kedua entitas tersebut.
Catatan:
Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Untuk masukan dan saran silahkan menghubungi saya melalui surel saya, atau membaca artikel lainnya melalui Medium saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H