Sebelum terbentuknya sebuah kelompok, maka kelompok ini harus berpartisipasi dalam tradisi yang sama, atau bisa juga disebut juga sebagai collective self-consciousness. Hadirnya kepercayaan yang berbeda, hubungan sosial yang unik, dan pertimbangan lainnya membentuk kesadaran diri mengenai identitas tersebut.
Sebuah bangsa tidak hanya lahir dari bagaimana sejarah "menghadirkan" mereka, tetapi juga bagaimana sejarah "membentuk" mereka.
Hal ini turut disampaikan juga oleh Eric Hobsbawm dalam bukunya yang mengatakan bahwa terdapat tiga kriteria dari sebuah bangsa: latar belakang dari negara atau sejarah, hadirnya struktur dan elemen seperti bahasa, serta yang terakhir adalah kesadaran bersama.
Inilah yang menjadi poin karakteristik dari nasionalisme, yaitu hadirnya in-group atau kelompok yang menjadi bagian dari suatu identitas, dan kelompok out-group atau kelompok di luar dari identitas tersebut. Keberadaan kedua kelompok ini bisa mempercepat hadirnya kompetisi atau rivalitas antara keduanya, sehingga bukan tidak mungkin konflik muncul untuk menantang identitas dan nilai yang diperjuangkan tersebut.
Nasionalisme juga diartikan sebagai ideologi yang membayangkan kelompok manusia atau komunitas dengan cara tertentu (nasionalistik), menegaskan identitasnya di atas yang lain, dan mencari kekuatan politik atas imajinasi tersebut.
Dari pemahaman ini semua maka dapat kita simpulkan Nasionalisme adalah produk dari berbagai orientasi yang terus berubah sesuai dengan perkembangan sejarah terkini. Apa yang dianggap penting dan benar untuk suatu bangsa. Dengan berbagai usaha yang dilakukan, Nasionalisme akan berusaha untuk mewujudkan imajinasi atas kekuatan politik untuk memperjuangan identitas tersebut. Identitas tadi merupakan suatu kebanggaan yang hadir atas proses sejarah yang berlangsung lama.
Lantas mengapa memahami ini menjadi penting dalam konflik Israel-Palestina?
Nasionalisme Hamas vs. "Palestina"
Di luar pertempuran politik yang terjadi di dalam partai politik dan ideologi Palestina, terlihat cukup jelas bahwa Palestina pasca 1948 berada dalam kondisi terkejut. Pasalnya dampak dari konflik ini adalah terusirnya 750,000 dari 900,000 populasi Palestina akibat teror dan rasa takut yang hadir pasca pendudukan Israel di sana. Banyak yang bermigrasi ke Lebanon, sebagian lainnya ke Yordania dan Suriah, serta yang berada di dalam Palestina menetap di Gaza (sebanyak 190,000 orang) dan Tepi Barat (300,000 jiwa).
Pada awalnya masyarakat Palestina banyak bergantung pada berbagai otoritas Arab, seperti dari Yordanian dan Mesir. Menurut H. Gerber harapan dalam Pan-Arabisme bergantung banyak pasca pembentukan Liga Arab pada 1945. Identitas Arab dengan berbagai latar belakang budaya dan sejarah yang sama dirasa mampu untuk membersamai berbagai permasalahan yang ada di Timur Tengah. Namun pada kenyataannya Liga Arab kesulitan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi.
Menyadari bahwa mereka tidak bisa bergantung kepada negara yang pragmatis dengan Israel, masyarakat Palestina pada akhirnya harus berjuang sendiri dengan membentuk PLO dan PNC sebagai otoritas pemerintahan mereka. Hadirlah Arafat sebagai sosok pemimpin kharismatik yang mereka butuhkan saat itu. Keberhasilan PLO pada 1960an disokong dengan kehadiran Fatah sebagai gerakan politis mendesak Israel.
Sebagai pemimpin dari Fatah dan juga Palestina, nilai-nilai nasionalis Palestina sangat bergantung dari bagaimana Arafat membawa arah gerak kedua hal tersebut. Dalam berpolitik, Fatah sendiri sangat membuka ruang komunikasi dengan Israel, dari sinilah muncul gagasan two-states solution atau pembagian wilayah kenegaraan menjadi dua: Israel dan Palestina.
Tidak ada yang dapat memanuver proses diplomasi Palestina selain dari terjadinya Intifada Pertama pada tahun 1987–1993. PLO dihadapkan dengan kejutan atas demonstrasi yang begitu besar di wilayah Timur-Tengah. Gejolak ini dinilai dapat terjadi karena Arafat dinilai tidak bisa membawa perubahan semenjak masa kepempimpinannya di tahun 1967.