Mohon tunggu...
Sri Sundari
Sri Sundari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menang Banyak

10 Januari 2019   11:26 Diperbarui: 10 Januari 2019   11:56 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lepas maghrib bersiap bertempur dengan tumpukan cucian piring. 

Belum sempat kusentuh piring-piring kotor itu ada terdengar suara motor berhenti, senang sekali suamiku pulang malam ini.
Rumah terang benderang, langit mendadak berbintang padahal dari siang tertutup awan. 

Pelukan mesra membuatku suka walau disertai aroma bau keringat seharian di jalanan. Maklum, suamiku sudah seminggu ini mengikuti penataran di luar kota.

"Anak-anak di mana?"

"Di rumah neneknya," jawabku sambil membantu menurunkan tas di punggungnya.

"Mam, ada oleh-oleh," kata suamiku sambil kedip-kedip genit, kumisnya yang belum bercukur seminggu naik turun seperti melambai ingin kutarik.

"Apa sih Pah?" tanyaku, berharap sesuatu yang menarik hatiku.

Lalu dia keluarkan sesuatu dari  saku dalam jaket kulitnya.

"Senter?"

"Iya, ini senter ajaib sayang. Tadi beli di ...."

"Duhh, mulai dehh ngumpulin barang-barang ngga jelas lagi," aku memotong saja kata-katanya. Kecewa,  kirain dapat oleh-oleh apa, tau-tau barang rongsokan lagi. Hobbynya memang mengumpulkan barang antik.

"Eehhh tenang dulu, senter ini ..."

Pretttt!!

Lampu mendadak mati, seluruh ruangan gelap gulita.

"Tenang, Papah cari lilin dulu."

"Ngapain, ini kan ada senter," kataku.
Kugeser tombol power senter di tanganku dengan cara meraba-raba.

"E ehh, jangan!!" teriak suamiku.

Slekk. Pyarrr!

Tiba-tiba,
Weeeerrr ... tubuhku seperti melayang dalam sebuah spiral lama sekali sampai aku mengantuk.

Entah berapa lama aku seperti tidur lalu seperti bangun, tiba-tiba ada dalam sebuah angkot.

Aku celingukan sambil melihat sekeliling.
Di dalam angkot ada beberapa penumpang yang cuek aja dengan keberadaanku.

Sopir angkot nyetel lagu Sepultura, lagu hit jaman dulu. Jalanan juga lenggang mengingatkanku pada suasana jaman dulu, biasanya macet dimana-mana.

"Bu, ini di mana?" tanyaku pada ibu-ibu yang membawa keranjang anyaman pandan. Seikat kangkung nongol dari dalam tas, rupanya dia baru pulang dari pasar.

"Kenapa Neng? Nyasar?"

"Gak tau, Bu. Saya ujug-ujug ada di sini," kataku polos.

"Lahh si Neng mah lieur," jawab si Ibu pemilik kangkung.

Belum reda kebingunganku, masuk dua orang remaja sekolah ke dalam angkot.
Yang cewek cantik, rambutnya panjang, pakai jaket varasity yang suka dipakai pemain baseball, berwarna merah marun sedangkan yang cowok terlihat ganteng, pakai jaket jeans belel berkerah beludru coklat.

Keduanya seperti tidak asing bagiku tapi tidak tahu siapa. Otakku belum pulih dari bingung.

Angkot mulai berjalan karena tidak ada lagi penumpang anak sekolah yang mau masuk.

Kedua remaja itu terdiam, hanya sesekali saling pandang.

Yang cowok terlihat sedikit tengil, gayanya selalu menggoda cewek yang bersamanya.
Ganteng sihh, ganteng banget malah, aku juga mau kalau jadi pacarnya. Tapi yang cewek sepertinya tidak suka karena terus saja melengos ketika beradu pandang dengan cowoknya. Mungkin mereka masih pedekate.

"Milea, kamu cantik. Tapi aku belum jatuh cinta, ngga tau kalau sore. Tunggu saja," kata cowoknya, membuatku tersentak kaget.

"Dilan!" teriakku, membuat kaget penumpang lain termasuk kedua remaja itu dan ibu pemilik kangkung.

"Kamu kenal Aku?" tanya cowok itu.
Aku mengangguk, gugup. 

Ternyata aku bertemu Dilan dan Milea dalam angkot ini. Kok bisa? Entahlah, aku juga bingung.

"Kamu dari SMA mana?" tanya Dilan sambil memperhatikan bajuku.

"SMA?" aku melihat pada baju yang kupakai, dan baru sadar ternyata dari tadi aku pakai seragam SMA.

Oh Tuhan, apakah aku sedang menjelajahi waktu? Terakhir kuingat di rumah mati lampu dan menyalakan lampu senter yang dibeli suamiku. Jangan-jangan...

"Heii, ditanya kalah molohok, Kamu sekolah di mana?" tanya Dilan lagi.

Milea hanya menatapku, sepertinya dia cemburu karena Dilan memperhatikanku. Saat ini rasanya ingin ngaca, apakah aku lebih cantik dari Milea? Sepertinya iya, buktinya Dilan memperhatikanku.

"Dari SMA tiga," jawabku sekenanya, tidak mau Dilan menunggu.

"Sekarang mau kemana?" tanya Dilan, membuat Milea membuang muka. Plung!

"Tidak tau, mungkin akan pulang atau tetap disini," jawabku sambil tersenyum semanis mungkin dengan tangan menopang dagu, mulai ingin mengimbangi kegombalan Dilan. Peduli amat dengan Milea.

Benar saja, Dilan terpengaruh kata-kataku. Dia mulai mengalihkan wajahnya dari Milea kepadaku.

"Boleh juga nihh, kalau boleh Aku kasih saran Kamu jangan pulang dulu sampai Aku turun dari angkot ini."

"Memang Kamu turun di mana?"

"Aku turun setelah Kamu membuka pintu hatimu untukku."

Ihiiiwww, rasanya seperti terbang nih angkot ketika mendengar Dilan merayuku seperti itu.

"Boleh saja, biar kuberputar-putar dulu di trayek angkot ini."

"Kenapa?" tanya Dilan.

"Karena Aku ingin pusing, pusing memikirkan Kamu dulu sebelum membuka hatiku."

"Eaaaaakk ...." kata Ibu pemilik kangkung.

Dilan tersenyum lebar merasa gombalnya dapat umpan balik. Milea manyun semanyun-manyunnya. Glok! Di lehernya menempel eceng gondok.

Tiba-tiba angkot berhenti, seorang bapak-bapak masuk lalu duduk di sebelahku. 

Angkot kembali berjalan. Bapak-bapak tadi  mengeluarkan rokok dan korek api. Merusak suasana hatiku saja dengan mau menyulut rokok.

Sebelum jiwa emak-emakku protes dia sudah duluan nyalain korek,

Cresss!!!

Api dari pentul korek mambuat terang semesta, mataku silau sesilau-silaunya.
Kututup saja mataku, dan kubuka kembali ketika menyadari tidak ada getaran laju angkot lagi.

Aku ada di rumah lagi. Sekeliling sudah terang, rupanya lampu sudah menyala lagi. Di depanku masih mematung suamiku yang sama-sama sedang kebingungan.

Aku dan suamiku akhirnya saling pandang. Senter masih menyala tetapi kalah terang dengan lampu rumah. Kumatikan saja.
Rupanya suamiku juga mengalami hal yang sama denganku, menjelajahi lorong waktu.

Lalu dia menceritakan bagaimana mendapatkan senter itu. Ternyata dia membeli senter itu dari toko barang antik di daerah Bandung.

Kata pemilik toko,  senter itu adalah senter penjelajah waktu jika dinyalakan dalam gelap akan membawa kita ke dalam khayalan yang paling sering kita pikirkan.
Dan kita sama-sama disadarkan oleh bapak-bapak yang menyulut rokok. Ajaib.

"Papah tadi dari mana?" tanyaku sedikit menyelidik.

"Mamah dari mana?"

"Mamah ketemu Dilan, Pah," jawabku sumringah. Suamiku hanya mesem. Dia tahu aku suka dengan Dilan dan gombalannya yang tidak pernah bisa dia berikan padaku.

"Papah ketemu Rose dong," katanya tidak mau kalah.

"Rose mana?"
"Rose Dawson, pacarnya Jack Dawson."

"Papah masuk ke kapal Titanik?" tanyaku. Suamiku mengangguk.

"Pasti Rose sedang bersama Jack ya, Dilan juga sedang bersama Milea tadi. Dilan merayu Mamah tadi, Pah," kataku keceplosan. Suamiku mesem lagi, lalu manyun. Cemburu sepertinya, biarlah.

"Rose sedang apa tadi Pah?" tanyaku penasaran juga.

"Hmmm, Rose sedang dilukis sama Jack ketika Papah masuk." Si papah tersenyum, merasa menang banyak.

"Papaaaaaahh!!"
Aku ingin ngunyah senter.
***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun