Dwi yang diikuti dari belakang diam saja, malah ikut duduk di beranda dan mencomot pisang sanggar yang masih terhidang di piring bersama dengan petis pedasnya. Dwi hanya tersenyum saja sambil menikmati pisang sanggar.
Sang gadis yang merasa tidak dianggap, tanpa malu-malu masih saja nerocos sambil berdiri bersandar pada tiang rumah.
“Mas…kenapa diam saja…ulun masih pacar pian kan…jawab Mas…”
Imoeng yang merasa risih anak laki-lakinya dikejar-kejar gadis, apalagi Dwi tampak cuek begitu langsung menegur anaknya.
“Eeeii…ada apa kalian…Dwi ! kenapa kamu cuek begitu diajak ngomong Aluh..?”
“Tanya Aluh Buk…kenapa dia ngejar-ngejar gitu,aku gak apa-apa kok “ dalih Dwi pada ibunya.
“Iya..tuh Buk..ae…anak piyan, semalam bilangnya cinta sama ulun, eeh tadi aku melihatnya berduaan sama Riska makan bakso , ulun kadak terima Buk..ae..”
“Sudah-sudah…sini duduk dulu…makan sanggar tuuh..”
“Kadak mau Buk…sebelum Mas Dwi memberi jawaban “
" Udah ulun bilang..kadadak..apa-apa Riska, sidin hanya minta traktir hanja…”
“Kadak percaya Mas…napa pian megang-megang tangan sidin jua..”