Suasana sudah menjelang petang, kami tak sempat membasahi badan dan mandi di Coban Rondo. Kami hanya menyempatkan diri untuk membasuh muka. Merasakan kesejukan dan kerinduan itu tertanam dalam diri kami. Agar terus teringat kenangan untuk kembali dan merindukan Kota Malang. Setelah itu, kami kembali ke rumah singgah kami. Sedari selesai makan malam, kami sudah dihimbau untuk tidur lebih awal dan menyiapkan stamina kuat oleh teman kami. Karena pada pukul 02:00 WIB, kendaraan jeep yang kami sewa akan segera mengantarkan kami menuju salah satu tempat yang belum pernah kami jamah sekali. Turban/tutup kepala/kupluk, shawl, jaket, sepatu dan baju anti dingin siap untuk pakaian esok. Dalam gelap yang jatuh, lelapnya malam, aku sendirian yang tak bisa tidur. Aku masih membayangkan banyak tempat yang sepertinya sudah pernah aku kunjungi sebelumnya. Entah di alam semesta parallel lainnya atau kalo kata orang mah dejavu.
Fenomena Dejavu di MalangÂ
Dejavu sendiri berasal dari Bahasa Prancis yang artinya sudah pernah melihat, dicetuskan oleh Emile Boirac, 1876. Psikiater dan Psikolog menganggap penyebab dejavu adalah Banyak psikolog dan psikiater lain yang mencoba menjelaskan penyebab terjadinya dejavu. Menurut Sigmund Freud, terjadinya fenomena ini berhubungan dengan keinginan seseorang yang terpendam. Sedangkan Carl Jung mengatakan, dj vu terjadi karena ada sesuatu yang memicu alam bawah sadar seseorang. Kejadian dejavu dialami oleh 60 -- 80% orang dan berlangsung singkat, sekitar 10 sampai 30 detik. Fenomena ini terjadi secara acak, artinya tidak ada yang tahu siapa dan kapan fenomena dj vu akan berlangsung. Selain itu, sebanyak 96% orang mengatakan mereka mengalami dejavu lebih dari sekali. Beberapa mengungkapkan teori dibalik terjadinya dejavu yaitu pikiran teralihkan, memang mengalami, kurang memori dan tanda epilepsi. Jika saat ini yang aku alami, aku belum bisa begitu mengamati apapun yang terjadi dalam diriku. Hal yang aku yakini adalah setiap makhluk diberikan bekal jiwa yang sudah diperlihatkan kejadian dan perjalanan sebelum terlahir dari rahim seorang ibu. Entah pada bagian kehidupan mana, bisa jadi aku pernah menginginkan dan mengalaminya disini. Tapi aku sendiri tak berani menerka dan menilai. Sesuatu yang pasti aku rasakan dengan intuisi adalah aku merasa dekat dengan Kota Malang ini.
Pertemuan dengan Sang Fajar, Penanjakan 1Â dan Bromo Milky Way
Menuju dinginnya embun yang jatuh ke dahi ini, kendaraan jeep sudah mengetuk pintu, membangunkan seisi rumah dan bergegas aku mandi untuk membiasakan diri ini dengan air dan dinginnya udara. Jarak dari Jalan Coba Rondo, Krajan, Pandesari, Pujon menuju ke Gunung Penanjakan, Wonokitri, Tosari, Pasuruan sekitar 96,5 km. Bisa melalui Jalan Bromo dan Jalan Trunojoyo atau Jalan Tol Pandaan Malang, estimasi waktu tempuh sekitar 2 jam 58 menit, ya hampir 3 jam untuk menyaksikan sang fajar bersinar di ufuk timur. Menyingsing cerahnya dunia diantara awan yang berkumpul dan terbang menuju punggungan Gunung Bromo. Menutupi sebagian kaldera bercampur dengan asap belerang membumbung tinggi di udara. Sang fajar menyambut riuhnya manusia dihadapannya. Memberikan penghormatan tertinggi atas sinaran ronanya yang memerah dibalik langit gelap yang beralih biru. Dibawah naungan kasih sayang-Mu, kami merasakan keagungan dan kebesaran Sang Pencipta melalui ciptaannya. Saat ini masih kunanti kehadiranmu wahai sang fajar. Kutahu kau ada disana, bertahtakan kebesaran, hanya mataku masih memiliki keterbatasan untuk melihatnya dalam kegelapan malam ini. Tunjukkan maha dahsyatnya sinar cahayamu yang melesat dalam satu cahaya yang begitu cepat. Masuk dalam sumsum dan syaraf kami menjadi energi tersendiri.
Hari masih dingin, malam semakin jatuh menuju pertemuan pagi. Menunggu waktu berpapasan menimbulkan garis cakrawala. Hingga tiba di Bukit Penanjakan 1, dinginmu masih menyeka jiwa. Tetesan demi tetesannya masih jatuh kedalam rongga sukma. Kepulan asap panas kopi berganti diam tak menari karena sudah dingin. Sudah ramai dirimu dinanti wahai sang fajar. Ribuan orang berkumpul di view point, spot terbaik untuk melihat Bromo Milky Way. Sebenarnya aku kurang begitu nyaman dengan kondisi yang terjadi saat ini. Karena banyak alasan yang akhirnya harus mendapat segala permakluman dari diri untuk menghargai energi matahari yang menyinari bumi. Penanjakan 1 ini begitu ramai orang, wisatawan domestik dan wisatawan asing berkumpul disini. Ramai meski tetap kondusif. Semua berebut tempat supaya tidak kehilangan momen Bromo Milky Way. Sebenarnya pihak pemberi sewa jasa jeep ini memberi opsi lain untuk menyambut sang fajar di Penanjakan 2, tetapi kami urungkan niat karena sudah mulai merasakan ia akan segera nampak.
Ironi Bunga Endemik Edelweiss yangÂ
abadi...
Sayangnya, hujan dan kabut mendung menyelimuti dinginnya pagi. Ribuan kubik air jatuh membasahi bumi semakin lembab. Bunga-bunga edelweiss yang tumbuh dan digenggam erat para pedagang mulai basah dan tersiram air alam. Aku sedikit kebingungan dengan kondisi yang terjadi disini, katanya manusia menghormati dan menjaga alam. Tetapi ribuan tangkainya justru hidup di tangan bukan di tanah yang banyak mengandung unsur hara. Sampai kupastikan lagi dengan cara mengucek-ngucek mata berkali-kali, apakah benar tangkai itu adalah edelweiss bunga abadi.