Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Artikel Sri Patmi: Belajar Membumikan Syukur dari Alam Bromo Tengger Semeru

27 Desember 2020   01:20 Diperbarui: 27 Desember 2020   01:27 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini, tepatnya di Provinsi Jawa Timur. Alhamdulillah... Berangkat dari Gambir jam 16:00 WIB kemarin, baru sampai di kota ini pukul 12:00 WIB. 

Berapa jam itu? Dengan waktu tempuh hampir 20 jam menggunakan moda transportasi umum kereta api. Dengan jarak tempuh 907 km, perhitungan 11 jam-an seharusnya sudah sampai. 

Agak dagdigdugder juga ketika Kereta Gajayana berhenti lumayan lama di Cirebon.   Ada perasaan was-was juga, mengingat tahun 2011 Gajayana pernah dibajak oleh 3 orang tak dikenal menuju ke Gambir lagi. Syukurlah, berbekal restu orang tua sebagai anak rumahan yang baru pertama kali pergi jauh dari Tangerang menuju kota dekat dengan kampung halaman. Biasanya kalo pergi jauh begini, aku sekeluarga ke rumah nenek di Ngawi. 

Saat penukaran e-ticket di loket, aku mengingat nama Gajayana ini sudah tidak asing. Aku baru pertama kali pula ke luar kota menggunakan kereta api. Biasanya keluarga kami selalu menggunakan bus Antor Kota Antar Provinsi (AKAP) Rosalia Indah.  Kebetulan perjalanan ke luar kota kali ini disponsori oleh keuntungan dari penjualan pulsa selama 2 tahun.


Jejak Gajayana di Nusantara 

Berbicara masalah Gajayana, nama ini mengandung makna kebesaran tersendiri. Setahuku, Gajayana adalah salah seorang Raja dari Kerajaan Kanjuruhan yang sangat dicintai oleh Brahmana dan rakyatnya yang membawa ketentraman seluruh negeri. Sang Liswa dair Kanjuruhan yang dikenal dengan gelar Gajayanalingga Jagatnata atau Gajayana. 

Setelah ditelusuri ternyata kereta ini mulai mengantarkan segala penumpang membawa kebahagiaan kepada sanak keluarga dan berwisata melepas penat manusia sejak 28 Oktober 1999. 

Wow.. sudah 21 tahun Kereta Gajayana bersama dengan nusantara ini. Suka duka selama 21 tahun di nusantara pernah dirasakan. Mulai dari insiden force majeure berupa kecelakaan hingga pembajakan gelap yang terjadi. Itu semua sudah menjadi bagian yang terus dilalui menuju masa kejayaannya sekarang di moda transportasi yang membantu banyak kalangan di nusantara.

Nama Gajayana yang lekat dengan Kerajaan Kanjuruhan yang berpusat di Malang. Prasasati Dinoyo, Candi Badut dan Candi Wurung menjadi bukti tertulis keberadaan kerajaan ini sezaman dengan Kerajaan Tarumanegara sekitar abad 8 SM. Dilansir dari situs 

https://www.gurupendidikan.co.id/sejarah-kerajaan-kanjuruhan/ , isi Prasasi Dinoyo itu yang tertulis candrasengkala yang berbunyi : Nayama Vayu Rasa 682 Caka =760M.

Sayang sekali, waktu untuk menjelajah disana hanya 4 hari, itupun sudah termasuk terpotong waktu perjalanan kesana. Tapi tak jadi masalah, pada akhirnya selama 20 jam perjalanan di Kereta Gajayana, aku sudah mengerti nama kebesaran siapa yang dipergunakan untuk menamai kereta ini. 

Sudah memahami sedikit saja peristiwa kejayaan sejarah dan besarnya bangsa ini melalui pemimpin yang arif dan bijaksana, salah satunya adalah Gajayana. 

Sementara taka da teman berbincang mengenai Gajayana, aku hanya membaca sebagian besar ceritanya melalui media daring saja. Sesekali bacaan tersebut harus terputus karena perbincangan ringan lainnya dari teman-teman, untuk sekedar memenuhi kehidupan sosial manusia yang butuh bersosialisasi dengan orang lain. 

Ketika dikatakan kepada mereka tentang sejarah Gajayana sendiri, bahasa tubuh mereka seakan mengatakan perbincangan basi. Padahal mereka sendiri pun belum mengetahuinya.


Stasiun Heritage di Malang 

Sebelum sampai di tempat tujuan, aku berada di salah satu heritage Kota Malang yaitu Stasiun Malang. Meski ada beberapa stasiun lainnya di Malang seperti Stasiun Lawang, Stasiun Singosari, Stasiun Blimbing, Stasiun Kota Baru di Klojen, Stasiun Kotalama, Stasiun Pakisaji, Stasiun Kepanjen, Stasiun Ngebruk, dan Stasiun Sumberpucung. 

Aku menyenangi bangunan stasiun Malang Kota Lama yang sangat bersejarah. Dimana Kota Malang menjadi ujung jalur kereta api pertama yang dibangun oleh perusahaan kereta api negara Staatsspoorwegen (SS) yaitu lintas Surabaya -- Pasuruan - Malang. 

Jalur sepanjang  112 km itu diresmikan pada tanggal 20 Juli 1879 oleh Gubernur Jenderal Mr. J. W. van Lansberge melalui upacara yang meriah. Stasiun Malang Kotalama ini terus menua dengan tongkat yang ia kenakan untuk berjalan tertatih, saksi bisu perjalanan bangsa yang besar, Bangsa Indonesia. 

Dari bisunya ucapan ada sebuah ungkapan tersirat bahwa stasiun ini telah lama berjuang dengan tegaknya tonggak yang dipancangkan kedalam bumi, dilintasi besi yang berjalan diatasnya. 

Letaknya di Jl. Kolonel Sugiono No. 18 Kota Malang, melayani kereta Matarmaja, Tawang Alun dan Penataran. Sudut elevasi +429M. Bangunan cagar budaya Indonesia ini tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi para penumpangnya. 

Bangunan Belanda yang terkesan kuno tetapi unik dan memiliki nilai historical tersendiri bagi Indonesia. Meski berita negatif tentang keangkerannya santer di telinga masyarakat karena beberapa peristiwa, sebaiknya kita bijak menyikapi ini semua. Junjunglah nilai luhur sejarah stasiun ini. https://heritage.kai.id/page/Stasiun%20Malang

Nah... besi panjang ini sudah berjalan memasuki terowongan. Sepenglihatan mata, terowongan ini sepertinya menggunakan beton dengan konstruksi shell dengan tebal 5 cm. Terlihat kokoh dan kekar sepanjang mata memandang. Ketika tiba di bangunan gaya Eropa yang menjadi ikon Kota Malang, rasa penasaran semakin dibangkitkan lagi dengan keberadaan beberapa hal yang dibuat sedemikian rupa istimewa, seperti sudah terkonsep dengan matang oleh orang yang menciptanya. Menelisik lebih dalam lagi tentang sejarahnya, Stasiun Malang Kota Baru ini ternyata memiliki keunikan lain, ia didesain dengan pertimbangan perang. https://www.malangtimes.com/baca/34888/20190113/070300/satu-satunya-di-indonesia-stasiun-kotabaru-malang-ternyata-didesain-dengan-pertimbangan-perang. Stasiun ini memiliki mobilisasi yang sangat tinggi. Letaknya di Jl. Trunojoyo No. 10 Kauman, Klojen, dengan elevasi +444M. Stasiun ini melayani kereta Gajayana, Majapahit, Malabar, Matarmaja, Tawang Alun, Penataran, Malioboro Ekspres. Bisa lebih dari 10 keberangkatan dan kedatangan di stasiun ini. Padat sekali jadwal dan pergerakan perjalanan kereta. Sehingga stasiun ini akan banyak merekam kejadian dan memori tentang banyak hal dalam bentuk nilai luhur sejarah dan kebahagiaan dalam bentuk lain di bumi nusantara. 

https://kereta-api.info/jadwal-keberangkatan/stasiun-kotabaru-malang

Dari sini, kami dijemput oleh salah satu sanak dari teman kami menuju daerah Pandesari, Kecamatan Pujon. Dari stasiun ke Pujonn estimasi 1,5 jam menggunakan kendaraan mobil dengan jarak 32,9 KM melalui Jalan Trunojoyo. Aku melihat jalan ini melalui Kawasan Batu, Malang. Jelas ketika menyebutkan Batu, Malang, banyak yang terlintas kawasan wisata Museum Angkut, Jawa Timur Park 2, Jawa Timur Park 1, Batu Night Spectacular, Taman Rekreasi Selecta, Eco Green Park, Coban Rais, Jawa Timur Park 3, Omah Kayu, The Bagong Adventure Museum, Batu Flower Garden, Museum Satwa Jawa Timur Park 2, Gunung Panderman, Dino Park Jawa Timur 3, Coba Talun, Gunung Welirang, Coban Putri, Predator Fun Park Batu, Gunung Butak, Taman Langit Gunung Banyak, Desa Wisata Pujon Kidul, Gussari Goa Pinus Pujon, Alun-alun Kota Wisata Batu, Bukit Teletubbies Batu, Makam Dinger dan masih banyak lagi. Wah.. nggak bakalan cukup Cuma 4 hari doang di Malang.


Pertemuan dengan Guru Teologi dan Kisah Cinta yang Melegenda 

Kami singgah di rumah pakdhe atau om dari teman perempuan kami penerima beasiswa asal Manado. Disini kami merasakan kedamaian dan kenyamanan. Utamanya aku, ketika baru buka pintu rumahnya saja sudah disambut dengan ribuan buku yang berjajar memenuhi ruang tamu hingga kedalam ruang kumpul keluarga. Sambutan yang baik dari keluarga beliau membuat kami semakin betah tinggal disana. Meski saat sampai di rumahnya, aku sempat memohon izin untuk melaksanakan solat zuhur yang sudah mepet ke asar. Sudah pukul 14:30 WIB. Mereka memberikan sebaik-baiknya tempat untuk beribadah, ruangan yang bersih dan suci untuk beribadah. Ada beberapa lambang salib yang dipasang pada beberapa bagian tembok rumahnya. Aku besyukur, mereka berlaku bijak dan arif serta menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan umat beragama.

Beliau mengantarkan kami ke ruangan istirahat. Sepanjang jalan sembari berkomunikasi dan ngobrol ringan dengannya, aku memperhatikan deretan buku yang ia miliki. Isinya tentang buku teologi. Jika aku boleh menerka, menebak dan menyimpulkan sesaat, beliau adalah dosen atau pengajar teologi. Ternyata dugaanku benar, beliau adalah seorang pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Providensia Adonay di Kota Batu. Secara sederhana, beliau pasti memahami mengenai ilmu agama berdasarkan nalar agama, spiritualitas dan Tuhan. Sayang sekali, aku tak bisa banyak berbincang dengannya karena kuperhatikan dari jauh, beliau sedang membuat sebuah penelitian berdua dengan istrinya. Aku berharap lain waktu dapat bertemu dan berbincang dengannya tentang teologi.

Setelah hampir seharian punggung ini berdiri tegak vertical, kini saatnya ia harus merebah horizontal. Untuk meluruskan dan melancarkan posisi badan yang tidak berubah sejak duduk di kereta. Hanya duduk, berdiri, berpindah jika kereta berhenti di stasiun sesaat. Kusapa semua elemen kehidupan yang ada disini. Kota Malang, seperti napak tilas di perjalanan jiwa masa lalu. Apa kabar jiwaku? Mungkin dari sini, kita akan belajar banyak tentang kehidupan atau sebenarnya jiwaku sudah memberikannya tetapi aku masih belum tersadarkan. Tanah disini masih basah, lengkap sudah elemen kehidupan ini menyatu menjadi sebuah kesejukan.

Memejamkan mata sesaat kemudian harus memulai menjelajahi hal lain. Menyapa alam sekitar yang sudah riuh meneriaki kami. Seperti menyambut kedatangan kami dengan riang dan gembira. Dari sini, kami tinggal sedikit berjalan ke Coban Rondo. Sekilas aku mengerti maksudnya kata Rondo, dalam bahasa jawa sendiri artinya janda. Tapi arti kata coba sendiri aku belum mengetahuinya. Setibanya di lokasi ini, kami sudah disajikan informasi menarik tentang legenda dan sejarah tempat ini. Dari papan informasi tersebut, aku baru mengetahui jika kata coban memiliki arti air terjun. Dari sana terkuak banyak kisah tentang kisah cinta yang saat ini diceritakan turun temurun dan memiliki sebuah tanda dalam bentuk air terjun.

Kisah cinta Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi dan Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Singkat cerita, suami istri ini memutuskan untuk pulang ke tempat asal suaminya di Gunung Anjasmoro saat usia pernikahan mereka baru menginjak usia kurang dari 35 hari atau selapan. Mitos Suku Jawa, pasangan pengantin baru dilarang bepergian sebelum usia pernikahan mencapai selapan karena khawatir akan terjadi hal-hal buruk kepada pasangan tersebut. Tak disangka ditengah perjalanan, kepergian mereka mendapat rintangan berupa gangguan serta kedatangan tamu tak diundang Joko Lelono yang sudah jatuh cinta kepada Dewi Anjarwati. Raden Baron Kusumo dan Joko Lelono berduel, sedangkan Dewi Anjarwati dilindungi dalam tempat yang aman di Air Terjun, menunggu hingga suaminya menjemput. Nahas, ternyata pertikaian tersebut malah menewaskan keduanya. Hanya tersisa Dewi Anjarwati yang bersembunyi di air terjun yang saat ini disebut Coban Rondo. Saat disana, aku merasakan kesejukan, duka yang mendalam dan kerinduan yang menanti. Terlepas legenda dan mitos apa yang ada disana, sudah selayaknya kita menghargai dengan segala kerendahan hati. Karena kita adalah manusia yang dicipta dengan segala penghormatan tertinggi kepada sesamanya dan yang bersamanya.

Suasana sudah menjelang petang, kami tak sempat membasahi badan dan mandi di Coban Rondo. Kami hanya menyempatkan diri untuk membasuh muka. Merasakan kesejukan dan kerinduan itu tertanam dalam diri kami. Agar terus teringat kenangan untuk kembali dan merindukan Kota Malang. Setelah itu, kami kembali ke rumah singgah kami. Sedari selesai makan malam, kami sudah dihimbau untuk tidur lebih awal dan menyiapkan stamina kuat oleh teman kami. Karena pada pukul 02:00 WIB, kendaraan jeep yang kami sewa akan segera mengantarkan kami menuju salah satu tempat yang belum pernah kami jamah sekali. Turban/tutup kepala/kupluk, shawl, jaket, sepatu dan baju anti dingin siap untuk pakaian esok. Dalam gelap yang jatuh, lelapnya malam, aku sendirian yang tak bisa tidur. Aku masih membayangkan banyak tempat yang sepertinya sudah pernah aku kunjungi sebelumnya. Entah di alam semesta parallel lainnya atau kalo kata orang mah dejavu.


Fenomena Dejavu di Malang 

Dejavu sendiri berasal dari Bahasa Prancis yang artinya sudah pernah melihat, dicetuskan oleh Emile Boirac, 1876. Psikiater dan Psikolog menganggap penyebab dejavu adalah Banyak psikolog dan psikiater lain yang mencoba menjelaskan penyebab terjadinya dejavu. Menurut Sigmund Freud, terjadinya fenomena ini berhubungan dengan keinginan seseorang yang terpendam. Sedangkan Carl Jung mengatakan, dj vu terjadi karena ada sesuatu yang memicu alam bawah sadar seseorang. Kejadian dejavu dialami oleh 60 -- 80% orang dan berlangsung singkat, sekitar 10 sampai 30 detik. Fenomena ini terjadi secara acak, artinya tidak ada yang tahu siapa dan kapan fenomena dj vu akan berlangsung. Selain itu, sebanyak 96% orang mengatakan mereka mengalami dejavu lebih dari sekali. Beberapa mengungkapkan teori dibalik terjadinya dejavu yaitu pikiran teralihkan, memang mengalami, kurang memori dan tanda epilepsi. Jika saat ini yang aku alami, aku belum bisa begitu mengamati apapun yang terjadi dalam diriku. Hal yang aku yakini adalah setiap makhluk diberikan bekal jiwa yang sudah diperlihatkan kejadian dan perjalanan sebelum terlahir dari rahim seorang ibu. Entah pada bagian kehidupan mana, bisa jadi aku pernah menginginkan dan mengalaminya disini. Tapi aku sendiri tak berani menerka dan menilai. Sesuatu yang pasti aku rasakan dengan intuisi adalah aku merasa dekat dengan Kota Malang ini.


Pertemuan dengan Sang Fajar, Penanjakan 1  dan Bromo Milky Way

Menuju dinginnya embun yang jatuh ke dahi ini, kendaraan jeep sudah mengetuk pintu, membangunkan seisi rumah dan bergegas aku mandi untuk membiasakan diri ini dengan air dan dinginnya udara. Jarak dari Jalan Coba Rondo, Krajan, Pandesari, Pujon menuju ke Gunung Penanjakan, Wonokitri, Tosari, Pasuruan sekitar 96,5 km. Bisa melalui Jalan Bromo dan Jalan Trunojoyo atau Jalan Tol Pandaan Malang, estimasi waktu tempuh sekitar 2 jam 58 menit, ya hampir 3 jam untuk menyaksikan sang fajar bersinar di ufuk timur. Menyingsing cerahnya dunia diantara awan yang berkumpul dan terbang menuju punggungan Gunung Bromo. Menutupi sebagian kaldera bercampur dengan asap belerang membumbung tinggi di udara. Sang fajar menyambut riuhnya manusia dihadapannya. Memberikan penghormatan tertinggi atas sinaran ronanya yang memerah dibalik langit gelap yang beralih biru. Dibawah naungan kasih sayang-Mu, kami merasakan keagungan dan kebesaran Sang Pencipta melalui ciptaannya. Saat ini masih kunanti kehadiranmu wahai sang fajar. Kutahu kau ada disana, bertahtakan kebesaran, hanya mataku masih memiliki keterbatasan untuk melihatnya dalam kegelapan malam ini. Tunjukkan maha dahsyatnya sinar cahayamu yang melesat dalam satu cahaya yang begitu cepat. Masuk dalam sumsum dan syaraf kami menjadi energi tersendiri.

Hari masih dingin, malam semakin jatuh menuju pertemuan pagi. Menunggu waktu berpapasan menimbulkan garis cakrawala. Hingga tiba di Bukit Penanjakan 1, dinginmu masih menyeka jiwa. Tetesan demi tetesannya masih jatuh kedalam rongga sukma. Kepulan asap panas kopi berganti diam tak menari karena sudah dingin. Sudah ramai dirimu dinanti wahai sang fajar. Ribuan orang berkumpul di view point, spot terbaik untuk melihat Bromo Milky Way. Sebenarnya aku kurang begitu nyaman dengan kondisi yang terjadi saat ini. Karena banyak alasan yang akhirnya harus mendapat segala permakluman dari diri untuk menghargai energi matahari yang menyinari bumi. Penanjakan 1 ini begitu ramai orang, wisatawan domestik dan wisatawan asing berkumpul disini. Ramai meski tetap kondusif. Semua berebut tempat supaya tidak kehilangan momen Bromo Milky Way. Sebenarnya pihak pemberi sewa jasa jeep ini memberi opsi lain untuk menyambut sang fajar di Penanjakan 2, tetapi kami urungkan niat karena sudah mulai merasakan ia akan segera nampak.


Ironi Bunga Endemik Edelweiss yang abadi...

Sayangnya, hujan dan kabut mendung menyelimuti dinginnya pagi. Ribuan kubik air jatuh membasahi bumi semakin lembab. Bunga-bunga edelweiss yang tumbuh dan digenggam erat para pedagang mulai basah dan tersiram air alam. Aku sedikit kebingungan dengan kondisi yang terjadi disini, katanya manusia menghormati dan menjaga alam. Tetapi ribuan tangkainya justru hidup di tangan bukan di tanah yang banyak mengandung unsur hara. Sampai kupastikan lagi dengan cara mengucek-ngucek mata berkali-kali, apakah benar tangkai itu adalah edelweiss bunga abadi.

Sembari menanti harapan itu bertumbuh bersama dengan rintik hujan, aku menghampiri pedagang itu. Perbincangan transaksional saja sebenarnya, belum begitu mendalam. Setelah kutahu mereka menjual harga bunga tersebut 20.000 rupiah. Itupun terdiri dari beberapa tangkai yang diikat menjadi model buket yang indah. Selayang pandang kita akan dibuat mengaguminya sebagai wujud estetika semesta yang berwujud nyata dan abadi. Tetapi, jika ditarik kedalam diri sendiri, hakikatnya setiap makhluk ini suci, antara satu dengan yang lain saling menciptakan harmoni. Bila bunga itu tak laku, apa yang akan diperbuat? Bagaimana jika bunga itu layu? Makin langka saja peradabannya di muka bumi ini. Meskipun aku tahu, bunga endemik abadi ini sudah dibudidayakan di lereng Gunung Bromo. Tetapi harmoni diciptakan dari bunga ini adalah harmonisasi dan keselarasan flora, fauna dan kearifan lokal Suku Tengger. Edelweiss adalah salah satu flora yang berhamonisasi dengan kawasan Bromo. Jika ditanya, saya sendiri tidak setuju dengan hal ini. Mereka hidup memiliki habitat masing-masing. Bahkan kehadiran setiap makhluk akan membentuk sebuah ekosistem dan siklus yang berantai. Maka sudah selayaknya segala sesuatu dari alam biarlah diproses oleh alam. Aku bisa saja mati mendadak diserang kondisi ambivalensia. Membenci dan mencinta sesuatu dalam waktu yang sama. Ironis sekali, Edelweiss bukan hanya media ritual bagi masyarakat Tengger Semeru, tetapi pada akhirnya mereka harus mengais rejeki dari setiap tangkainya untuk segera layu dan hilang dari pandangan mata. Mengharapkan ia akan hidup di pekarangan rumah masing-masing atau sekedar ajang swafoto lalu dibuang. Miris...

Sampai pagi ini, sang fajar masih belum juga nampak. Tapi tenanglah, aku harapanku masih bertumbuh padamu. Kau mau apalagi dariku? Aku turuti semuanya... Ucapku merayu pada kehidupan dan dirimu, sang fajar.

Para wisatawan sudah mulai gelisah, pontang panting, kesana kemari. Bahkan ada yang turun lagi sambil mengeluarkan hujatan dan cacian kepada alam. Memarahi hujan, mendung, awan dan matahari itu sendiri. Ada juga wisatawan asing yang mengeluarkan sumpah serapah kepada bumi. Waduh... ngeri sekali, tak takut mati mereka ini jika harus ditelan oleh bumi. Tapi aku masih salut dan menghargai para bule ((bukan bhu'lek : ibu cilik (adik perempuan orang tua)), dari negeri sebarang sana, mereka ingin menikmati alamku yang damai ini. Segala harmoni perbedaan tumpah ruah menjadi satu dan hidup damai. Coba itu... ngapain kita harus pergi jauh ke luar kalo di Indonesia saja ada surga yang bersembunyi dibalik surga.

Sang fajar yang tak kunjung menyibak awan-awan ini masih belum terlihat juga. Beberapa orang berpindah ke tempat lain, sayup terdengar sembari berpapasan sambil berjalan aku mendengar percakapan mereka untuk berpindah ke Penanjakan 2. Sebenarnya aku sedikit penasaran, apa sih bedanya Penanjakan 1 dan 2 ini? Sembari melihat bapak penjual bunga Edelweiss itu merapikan sarungnya, aku menghampiri dan menemaninya saat duduk termenung. Obrolan demi obrolan terlontar seperti sudah sangat akrab. Intinya faktor ekonomi yang mengharuskan mereka membabat tangkai bunga abadi itu. Tetapi sudah ada upaya lain agar tanaman ini tidak layu yaitu Taman Edukasi Edelweis di BSM Penanjakan, Bromo itu diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Edelweis yang bernama latin Anaphalis javanica itu disebut sebagai bunga abadi perlambang cinta. Tanaman itu tumbuh merata di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang luasnya 50.276 hektare (ha). Untuk pemulihan ekosistem, sudah 1.000 ha lahan di taman nasional kembali ditanami bunga Edelweis dan akan terus diperluas. Sepanjang Januari-Maret 2016 ini telah ditanam lagi di 100 ha lahan yang tersebar di beberapa titik. Sebuah kelompok tani Bunga Edelweiss Wonokitri yang berjumlah 30 orang mencoba untuk membudidayakan bunga tersebut. Syukurlah... adat dan budaya menjadi penjembatan antara alam dan sikap dasar yang dimiliki manusia.

Chit Chat masih berlanjut dengan rasa penasaranku terhadap Penanjakan 1 dan 2. Mengapa sampai ada serialnya? Penanjakan 1 masih menjadi destinasi utama bagi para turis. Selain fasilitas umumnya yang lengkap, letaknya berada di Wonokitri, Pasuruan dengan ketinggian lebih dari 2.770 mdpl. Meski treknya terjal, ekstrim dan tikungannya tajam, kebanyakan orang memilih untuk tetap menjadikan Penanjakan 1 menjadi opsi pertama. Penanjakan 2 atau sering disebut Seruni Point Gunung Bromo adalah puncak tertinggi kedua di Kawasan Nasional Tengger Surabaya. Jaraknya sekitar 800 meter dari Penanjakan 1 dengan estimasi waktu tempuh 18 menit. Ketinggian Seruni Point ini adalah 2400 mdpl.

Sebenarnya ada beberapa spot lain untuk menantinya sang fajar yang lebih kondusif, nyaman dan tenang. Bukit Mentigen adalah salah satu tempat alternatif untuk melihat Bromo Sunrise yang berlokasi didekat Hotel Lava View, tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Jaraknya lumayan jauh dari Gunung Penanjakan 1 ini, estimasi bisa sampai 3 jam lebih. Dari puncak Mentigen ini anda bisa melihat sisi lain dari pada keindahan Wisata Bromo, diantaranya Gunung Batok, Gunung Kursi, Pure Luhur Poten, Hamparan lautan pasir dan pemandangan Desa Ngadisari dari ketinggian 2.273 mdpl.

Spot lain yang bisa menjadi opsi adalah Bukit Cinta. Letak bukit cinta tidaklah jauh dari Penanjakan 1 Gunung Bromo, bahkan masih satu jalur dengan jalan menuju ke penanjakan 1 Gunung. Jaraknya sekitar 1,8 Km. Selain dijadikan tempat menyaksiakan sunrise Tour, Bukit Cinta Gunung Bromo merupakan tempat untuk melihat keindahan bintang galaxy atau Bromo Milky Way, bahkan disinilah tempat terbaik untuk milky way photography dibandingkan dengan tempat tempat wisata sekitar Gunung Bromo lainnya. Jalur dari Pasuruan lewat Tosari dan Purwodadi, jalur dari Malang lewat Tumpang, dan jalur dari Probolinggo lewat Cemoro Lawang. Banyak banget pintu masuknya menuju surga dunia.

Hingga sepenggalah waktu terbitnya fajar, ia masih belum bersinar. Setelah berembuk dengan rasa gelisah dan dingin yang membiru di bibir teman-temanku, akhirnya kami memutuskan untuk turun menuju Kaki Gunung Bromo. Kebetulan kami kemari memang sedang tidak ada ritual upacara Kasodo, karena belum waktunya. Hanya menempatkan waktu keberangkatan sesuai dengan tanggal merah yang dempet dan panjang. Hamparan pasir yang luas masih menjadi hiasan obat mata menanti sang surya. Dibawah tenda terpal berwarna biru, kami mengisi dan membungkam cacing perut yang sudah meneriaki dengan bunyi-bunyian seperti gendang ditabuh. Hangatnya kuah rawon yang mengepul dihidangkan dalam sepiring nasi dan semangkok rawon tanpa nambah lagi ya, karena memang porsinya sudah banyak sekali. Mereka asik mengobrol dengan bahasa Jawa Ngoko. Sesekali aku mengartikan makna dari kata yang mereka ucapkan karena mereka kurang begitu paham. Teman-temanku berasal dari negeri seberang seperti Palembang dan Manado. Anehnya, saat membayar tariff harga semangkok rawon itu berbeda-beda. Saat aku membayarnya, harganya jauh lebih murah dibanding yang lain. Disaat bertemu dengan seorang ibu paruh baya penjual rawon ini, aku hanya sedikit dialog dengan bahasa Jawa Ngoko. Maklum, mau membahasakan lebih halus dengan kromo dan inggil masih tidak fasih. Sesekali aku meminta maaf karena tidak bisa mengimbangi dengan bahasa kromo karena keterbatasan kosakata.

Jalinan Kuat Bromo dan Kasodo ...

Sudah jadi kebiasaan lama, perut lapar gelisah, sudah kenyang malah ngantuk. Penyakit bawaan dari orok. Teman-temanku malah sudah mager (males gerak) untuk mendekati kepada Gunung Bromo. Padahal sudah terlihat didepan mata. Mereka masih begah membayangkan harus berjalan menguras kalori melintasi anak tangga 200 hingga 250 buah dengan lebar 2 meter. Jadi sudah pasti hanya bisa dilewati dua orang dari dua arah yaitu naik dan turun. Beberapa masyarakat suku Tengger sudah merasakan kegelisahan teman-temanku. Seorang bapak paruh baya membawa sebungkus rokok kretek mendekat kearah kami. Mengobrol dan pada akhirnya menawarkan jasa naik kuda melintasi anak tangga seharga 150 ribu rupiah pulang pergi. Dasarnya sudah menjadi penyakit menular, mereka masih asik saja menikmati kepulan demi kepulan itu terbang. Secara fisik, tak ada masalah jika harus berjalan kesana, masalahnya adalah mereka takkan membiarkanku sendirian mendekati kaldera Bromo. Hingga akhirnya, aku paksakan dan perintahkan salah satu dari mereka untuk menemani dan mengawal. Meski harus bersungut-sungut, dan masih harus menanti tangga demi tangga kakinya terhenti.

Wisatawan yang ingin melihat keindahan kaldera Gunung Bromo tidak akan dipungut biaya tambahan, kecuali biaya parkir kendaraan. Sehingga mereka hanya perlu membayar tiket di loket masuk sebelumnya, dengan harga 27.500 rupiah di hari kerja dan 32.500 di hari libur untuk wisatawan lokal, sementara untuk wisatawan asing mereka akan dikenakan biaya tiket masuk sebesar 217.500 rupiah di hari kerja dan 317.500 rupiah di hari libur. Harga yang tidak terlalu mahal, dibandingkan dengan panorama yang dijanjikan oleh Gunung Bromo. Sampai pada bibir kaldera Bromo, aku dibuat takjub oleh keagungan segala Kuasa-Nya. Kaldera yang membara ini masih menjadi simbol kegagahan alam kala itu. Keganasan dan kemurkaan terhadap sikap manusia yang tak tahu diri terhadap dunia. Melalap dan memakan hak sesamanya, bahkan mengeruk habis-habisan perut bumi untuk dimasukkan dalam perut diri sendiri.

Sejarah Gunung Bromo ini sangat panjang. Saat ini yang aku tahu adalah wajah bumi seperti ini penuh dengan nilai estetika melalui panorama dana bentang alam yang sangat indah. Dikutip dari media daring https://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Bromo, Gunung Bromo (dari bahasa Sanskerta: Brahma, salah seorang Dewa Utama dalam agama Hindu) atau dalam bahasa Tengger dieja "Brama", adalah sebuah gunung berapi aktif di Jawa Timur, Indonesia. Gunung ini memiliki ketinggian 2.329 meter di atas permukaan laut dan berada dalam empat wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Ia mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo. Gunung berapi aktif ini memiliki sejarah panjang erupsi demi erupsi selama berabad-abad. Bahkan bisa jadi bentuk wajahnya dulu mungkin tak seperti ini. https://geologi.co.id/2010/11/25/mengenal-bromo/

Gunung Bromo bertautan erat dengan suku adat yang ada disana yaitu Suku Tengger. Legenda yang masih mendarah daging hingga saat ini adalah kisah Roro Anteng dan Joko Seger pada masa pemerintahan Kerajaan Kediri tahun 1.115 M atau 1.037 tahun Caka. https://www.pasuruankab.go.id/cerita-36-asal-mula-tengger.html#:~:text=Sejarah%20Tengger%20dimulai%20kurang%20lebih,sebuah%20pusaka%20bernama%20Kiai%20Gliyeng. https://id.wikipedia.org/wiki/Kasada. Nama Tengger sendiri diambil dari nama Roro Anteng dan Joko Seger. Dari kisah Roro Anteng dan Joko Seger, kita dapat mengambil hikmah untuk semakin dekat dan mengikatkan tali semakin kuat dengan Sang Pencipta. Mereka sepasang suami istri yang belum memiliki keturunan sebagai generasi penerus, mereka bermohon dan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi serta ikhtiar dalam bentuk semedi. Memiliki anak hingga 25 orang. Antara satu anak dengan yang lainnya diajarkan untuk bahu membahu dan menyatu dengan Sang Hyang Widhi. Anak bungsu mereka berada di Gunung Bromo untuk lekat dengan alam. Inilah yang menjadi cikal bakal upacara kasodo atau Upacara adat Yadya Kasada atau Kasada. Kasada merupakan upacara adat persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan leluhur Suku Tengger.

Prosesi Kasodo Masyarakat Tengger 

Jadwal prosesi upacara adat kasada suku tengger yang umumnya dilaksanakan pada Bulan Kasada (Kesepuluh) hari-14 setiap bulan purnama dalam Penanggalan Jawa, tahun ini jatuh pada 6-7 Juli 2020. Ditengah COVID-19 ini, upacara Kasodo tetap dilakukan. Upacara ini adalah penyucian alam yang dipersembahkan kepada leluhur. ujuan dari diadakan upacara ini adalah sebagai persembahan kepada leluhur atau Hyang Widhi, agar terhindar dari musibah, keberkahan dan keselamatan. Pelaksanaanya dilakukan dengan berjalan ramai beriringan menuju kawah gunung, disertai membawa sesajen untuk dilemparkan ke kawah Gunung Bromo. Suku Tengger merupakan suku yang memeluk agama Hindu lama yang tinggal di lereng Gunung Bromo. Bedanya dengan pemeluk agama Hindu pada umumnya, yang beribadat di candi-candi. Suku Tengger melakukan peribadatan di punden, danyang, dan poten. Tiga Tempat Penting Upacara Kasodo adalah sebagai berikut :

1. Rumah Dukun Adat

2. Pura Luhur Poten

-Poten adalah lautan padang pasir,  untuk prosesi upacara. Pura luhur poten sendiri juga memiliki 3 tempat penting, yaitu:

-Mandala Utama, tempat pemujaan persembahyangan. Terdiri dari Padma, berbentuk serupa dengan candi dilengkapi dengan pepalihan, namun tidak memiliki atap yang terdiri dari bagian kaki, tepas, badan dan kepala.

-Mandala Madya, merupakan bagian tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara. Terdiri dari bagian bangunan Kori Agung Candi Bentar, dan Bale Kentongan.

-Mandala Nista, sisi peralihan bagian luar menuju dalam poten. Terdapat candi bentar dan bangunan penunjang lainnya.

3. Lereng Gunung Bromo

Berikut ini tata cara dan tahapan upacara Kasodo :

1. Proses Upacara Kasada diawali berkumpulnya masyarakat Tengger, dengan membawa hasil tani dan ternak yang dibawa menggunakan tempat bernama Ongkek. Hasil tani dan ternak itulah yang akan dilemparkan ke kawah Bromo sebagai persembahan untuk alam.

2. Tahapan-tahapan Proses Upacara Kasada perlu dilaksanakan secara runtut. Dimulai dari ritual Puja, Manggala Upacara, Ngulat Umat, Tri Sandiya, Muspa, Pembagian Bija, Diksa Widhi dan terakhir persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo.

3. Setelah Ongkek siap, seluruh Umat Hindu Tengger, berjalan dari Pendopo Agung menuju Pura Luhur Poten. Perjalanan tersebut berjarak sekitar 8 km. Saat di lokasi Pura Luhur Poten, masyarakat diperintahkan  singgah terlebih dahulu untuk diberikan mantra keselamatan oleh dukun berupa purwa bumi. Kemudian dengan iringan gamelan dan penerangan obor, satu persatu sesajen dilemparkan ke kawah gunung. Upacara ini kemudian diakhiri penampilan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari.

https://probolinggokab.go.id/ongkek-hasil-bumi-sesaji-yadnya-kasada-untuk-dilarung-ke-kawah-gunung-bromo/

Warisan adat dan budaya ini pada akhirnya bukan hanya menjadi simbol keagungan dan harmonisasi kehidupan. Bahkan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Republik Indonesia memasukkan Eksotika Bromo yang merupakan kegiatan menyambut Yadnya Kasada sebagai Top 30 Events Calender of Event Wonderful Indonesia 2019. Sebelumnya Eksotika Bromo hanya masuk Top 100 Events.

Wow... Warisan yang mendarah daging sepanjang masa.

Sayang seribu sayang, hari ini bukan Bulan Kasodo. Tetapi aku tetap merasakan sesuatu yang besar di tempat ini. Kemahaluasan penciptaan yang menjerembab dalam miniatur yang mudah dicerna oleh pandangan mata. Dengan berat hati, aku harus kembali pulang. Sejauh mata ini memandang seakan masih terasa suasana sakralnya Gunung Bromo. Ia masih menjalani titah suci dari Sang Maha Kehidupan untuk mengingatkan manusia, bahkan membinasakan manusia. Maka berbaiklah dengan alam, seperti alam telah berbaik hati kepada kita. Puncak kalderanya masih menjadi bagian dari kehidupan dengan semangat hidup membara.

Eksotika Bukit Teletubbies dan Pasir Berbisik... 

bromo-3-5fe77e8b8ede48584566c252.jpeg
bromo-3-5fe77e8b8ede48584566c252.jpeg
Menjauh sedikit dari kalderanya, hamparan padang yang luas kini telah indah berhias. Hamparan padang rumput yang hijau dan bukit yang berjajar jajar indah sekali di tumbuhi rerumputan yang menyelimuti perbukitan itu mengingatkan pada film anak-anak asal Inggris yang berkibar di tahun 90-an yaitu Teletubbies. Oleh karana itu Bukit ini di namakan Bukit Teletubbies. Pasir Berbisik Gunung Bromo ini  adalah salah satu bagian unik dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Yaitu berupa padang pasir yang berada di ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Bagian padang pasir ini sebenarnya adalah sebuah kaldera raksasa. Kaldera pegunungan tengger kuno, yang kini telah menjadi padang pasir di ketinggian.

Sebelumnya tempat ini tidak dikenal dengan nama pasir berbisik. Namun setelah dijadikan salah satu latar belakang film layar lebar berjudul "Pasir Berbisik", jadilah bagian kaldera tengger yang penuh pasir tersebut dikenal dengan nama tersebut. Film dengan judul Pasir Berbisik tadi adalah karya sutradara Nan Achnas yang diproduksi pada tahun 2001.

Film tersebut menceritakan tetang seorang gadis desa yang bernama Daya. Dia adalah gadis desa yang tinggal di desa miskin bersama ibunya sendirian. Ayahnya sudah tiada dari sejak ia kecil. Karena ibunya sangat protektif, kadang Daya suka bertingkah aneh. Salah satunya adalah kadang ia sering menelungkupkan tubuhnya ke tanah pasir. Daya merasa kalau pasir tersebut seakan berbisik padanya. Nah, pada bagian adegan itulah pengambilan gambarnya dilakukan di Padang Pasir Bromo.


Sarung Kehormatan Tengger 

Tidak berhenti sampai disitu saja, perjalanan masih dilanjutkan bukan hanya eksotika alamnya saja. Tetapi eksotika pemandangan sarung didepan mata. Cara membedakan wisatawan dan masyarakat Tengger sendiri terlihat dari pakaian dan ciri khas sarung yang mereka kenakan. Selain memenuhi nilai fungsi, makna harfiah sederhananya adalah sarung ini adalah bentuk identitas. Sarung ini menjadi harga diri. Sarung ini juga menjadi tren. Sarung menjadi salah satu bentuk kebanggaan. Penggunaan sarung memilikiragam variasi tersendiri disesuaikan dengan aktivitas dan jenis kelamin. Ada yang namanya bentuk Lampin. Itu dipakai seorang lelaki ketika bekerja keras. Kemudian ada jenis bekerja tapi mengandalkan keberanian atau keamanan. Sarungnya sama tapi makna beda.

"Ada untuk waktu santai. Misalnya sudah pulang kerja dan di rumah. Ada yang aktivitas yang tak terlalu berat. Ada yang bentuknya melindungi kabut yang turun ke punggung," jelas Budiyanto selaku Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dikutip dari media daring kompas.com

Penggunaan sarung oleh perempuan Suku Tengger juga memiliki penandaan status. Ada yang menandakan perempuan lajang, menikah, juga janda. "Perempuan ada seperti digunakan di kiri dan kanan bahu. Kekaweng simpulnya. Ada biasa dipakai perempuan yang sudah berkeluarga. Ada yang simpul di kanan, dipakai perempuan yang belum menikah tapi sudah pacar," ujarnya. Penggunaan sarung oleh suku Tengger saat ini terus digunakan baik pada aktivitas sehari-hari maupun upacara adat. Menurutnya, bila seorang suku Tengger tak menggunakan sarung maka akan menjadi bahan pergunjingan. Itulah bentuk luhurnya budaya yang sudah digenggam erat dan mendarah. Menjadi sebuah kehormatan tertinggi pada diri sendiri dan alam semesta.

Dalam perjalanan singkat ini, dengan segala rasa bungah dan rendah hati, pada akhirnya kami sama-sama menyadari alam ini bukan sekedar ajang untuk dinikmati saja. Setiap kali pergerakannya adalah bagian dari lonceng dan lecutan bagi manusia untuk tetap menguntai syukur dalam bentuk nyata. Jangan menunggu murka baru kita mulai berkaca. Apakah kita semua sanggup menanggung setiap ulah itu kembali menuai petaka untuk kita?

            Kami kembali ke kota asal kami dengan membawa bekal perjalanan hidup. Essensi dari setiap kehidupan alam yang luas ini dalam bentuk ucap yang tak pernah lepas dari lembut, berkah dari Tuhan. Belajar membumikan dan meninggikan syukur dari alam Bromo, Tengger, Semeru untuk kemuliaan kami sebagai manusia. 

Salam,

Napak Tilas Perjalanan Jiwa ke Malang.

2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun