"Sebentar, kamu tunggu disini ya biar ibu panggil Bapak dulu!".
Tak lama kemudian keluar seorang pria paruh tua yang berjalan dengan perlahan, ia adalah Bapakku. Ku perhatikan kerutan diwajahnya yang mulai dimakan usia. Tangannya yang dulu kokoh berjuang, kini mulai melemah. Dari guratan itu menunjukkan betapa berat perjuangan yang harus mereka lalui.
Dengan perasaan yang menggebu -- gebu, kupeluk erat Bapakku. Rasanya aku tak sanggup untuk menahan air mataku. Dengan terisak -- isak, aku memohon maaf pada Bapak dan ibuku.
Pagi ini, bertempatkan disebuah rumah sederhana, dengan penuh keharuan dan kesedihan, aku mendapatkan kebahagiaan yang berlimpah. Kini kusadari, kebahagiaan itu bukan hanya dilihat dari sudut pandang material. Materi merupakan sebuah sarana, namun tidak semua kebahagiaan bisa dihargai dalam wujud material. Bukan seberapa banyak materi yang telah kuberikan pada mereka, bukan dengan sebuah kemewahan maka kebahagiaan itu akan datang. Aku bersyukur memiliki orang tua yang tulus, ikhlas dan selalu sabar membimbingku.
Mungkin kita pernah mendengar kalimat ini "kasih anak sepanjang jalan, kasih ibu sepanjang zaman". Ternyata isi pernyataan itu benar, setelah semua kejadian yang kualami selama ini.
Aku adalah anak tunggal. Selama kepergianku, lalu siapa yang mengurus mereka? Sedangkan di rumah ini, mereka hanya tinggal berdua tanpa adanya asisten rumah tangga. Dengan penuh keraguan, akhirnya kuberanikan diri untuk mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku.
"Ibu, Bapak, ternyata enggak ada satu ruangan pun yang berubah selama aku pergi".
"Iya nak, ibu dan bapak enggak mau mengubah sedikitpun struktur ruangan yang ada di rumah ini".
"Kenapa bu?".
"Karena semua ruangan disini memiliki nilai historis yang tak dapat dilupakan, terutama tentang kamu,nak? Tentang buah hati yang ibu sayangi".
"Iya bu, terima kasih ya atas semua kasih sayang dan doa restu ibu. Oh ya, selama ini ibu dan bapak Cuma tinggal berdua aja?".