"Allahu akbar ... Allahu akbar ... Allahu akbar ... Laa ilaaha illallahu Allahu akbar ...". Gema takbir berkumandang di alam semesta, seluruh umat muslim diseluruh jagad raya ini menyerukan asma Allah, takbir, tasbih, tahmid dan tahlil.
Dengan penuh keharuan, kulalui hari raya idul fitri tanpa keluarga. Sudah lima tahun ini aku tidak pulang ke kampung halaman di Lampung. Itu semua aku lakukan karena ada beberapa target yang ingin kucapai di kota metropolitan.
Yah ... Inilah yang harus kujalani untuk mencapai target yang telah aku tentukan sebelum aku memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Disini aku harus belajar untuk bekerja keras dan bekerja cerdas. Aku harus pandai dalam memanage segala keperluanku.
Jika dulu segala keperluanku telah diatur oleh orang tuaku, maka mulai saat inilah aku harus belajar untuk mandiri. Selain bekerja, aku juga menjalani studi disalah satu universitas terkemuka di Jakarta. Oleh karena itu, mulai saat inilah aku harus bisa mengatur waktu dan mangatur pengeluaranku.
Memang, awalnya terasa sulit, namun seiring berjalannya waktu, apa yang kita lakukan secara terus menerus akan menjadi sebuah habit (kebiasaan). Ketika semua orang sedang terlelap dalam tidurnya, aku sudah berangkat bekerja. Menjalani rutinitas bekerja, segala macam persoalan datang silih berganti.
Ketika persoalan tersebut telah terselesaikan, kini saatnya aku harus bergegas berangkat ke kampus untuk menuntut ilmu. Pikiraku mulai terbagi dengan aktifitas lainnya. Malam ini ada kelas pengganti, aku harus pulang larut malam. Pergi pagi, pulang larut malam. Tapi, itulah tantangan hidup.
Kubaringkan tubuhku diatas tempat tidur, kutatap langit -- langit ruang kamarku. Kulepaskan semua keletihanku. Dalam keletihan tersebut, aku merasakan sedang dalam suatu titik kejenuhan. Aku berpikir tentang target yang ingin kucapai. Aku berpikir kembali, memang target itu akan menjadi tolak ukur dan tujuan yang harus kita tempuh, namun dengan target tersebut aku justru bukan semakin termotivasi, malah mengalami suatu kemunduran.
Aku semakin lelah mengejar target tersebut, semakin kukejar, target itu semakin menjauh. Target itu seakan -- akan bergerak mengikuti segala pergerakanku. Apakah hidup dengan sebuah target dan ekspektasi itu salah? Apakah konsep hidup itu telah teraktualisasi dalam diriku?
Evaluasi diri, aku harus melakukan evaluasi. Aku tidak mungkin terus begini, aku harus berubah. Setelah melakukan evaluasi, ternyata aku salah menyikapi semua ini. Kini aku tahu, mengapa setiap kali target itu kukejar selalu bergerak menjauh? Karena aku membiarkan diriku menutup segala kebaikan yang datang padaku. Aku terlalu keras kepala dan menganggap semua yang ada dalam pikiranku adalah suatu kebenaran yang hakiki dan absolut.
Dimalam yang sunyi senyap ini, kutengadahkan tanganku, ku lafadzkan bibirku untuk menyebut asma Allah sembari berdoa. Aku tahu, selama ini aku semakin jauh dari perintah -- Nya.
"Ya Allah, ampunilah segala dosa -- dosa yang telah kuperbuat. Selama Kau berikan nikmat dan karunia -- Mu, aku selalu ingkar. Padahal suatu kebenaran yang hakiki dan absolut hanya datang dari -- Mu Ya Allah. Ya Allah, mohon bantu dan bimbing aku untuk selalu berbuat yang terbaik, bukan hanya untuk diriku sendiri ya Allah, tapi untuk orang tua dan masyarakat yang lebih luas. Aamiin".
Orang tuaku tinggal di kampung halaman. Sebenarnya mereka melarangku untuk merantau ke Jakarta. Namun, aku bersikeras untuk meraih karir dan impianku di kota metropolitan. Mereka melarangku karena mereka mengharapkan keberadaanku diusia mereka yang sudah mulai senja.
Selama ini aku berpikir, kebahagiaan orang tuaku hanyalah kebahagiaan material yang kuberikan pada mereka. Padahal diusia yang sudah mulai menua, mereka hanya membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari anak -- anak yang mereka sayangi.
Ternyata, apa yang kupikirkan salah. Aku sadar, apa yang kuperoleh selama ini, tak lepas dari campur tangan orang tuaku yang selalu merestui dan mendoakan dalam setiap langkahku. Setelah melakukan evaluasi dan berpikir berulang kali, kuputuskan untuk berhenti sejenak dari titik kejenuhan ini. Kini, target utamaku adalah menjadi yang terbaik untuk orang tuaku. Aku ingin menjadi bintang yang selalu berpijar untuk orang tuaku.
BE 3783 YW adalah salah satu plat mobil agen travel yang telah mengantarkanku menuju dermaga di pelabuhan Merak. Hmmm ... Lampung .. Lampung ... Kota kelahiran yang hampir terlupakan oleh ambisiku di kota metropolitan.
Kali ini aku beruntung, karena armada kapal yang kutumpangi dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memadai. Mulai dari toilet yang bersih, tempat istirahat yang nyaman, ruang tunggu indoor maupun outdoor. Perlahan ku langkahkan kakiku menuju ruang tunggu outdoor di geladak kapal.
Kunikmati perjalananku malam ini dengan ditemani secangkir kopi susu, desiran angin laut yang dingin menusuk tulang, suara deru ombak dan bermandikan cahaya bulan purnama yang indah. Subhanallah, inilah ciptaan Allah yang Maha sempurna.
Di sela -- sela kekagumanku terhadap penciptaan alam semesta ini, kedengar dari kejauhan suara tangisan wanita. Karena saking penasaran, kucari sumber suara tersebut. Disudut ruangan, kulihat seorang wanita menangis tersedu -- sedu. Dengan penuh keraguan, kudekati wanita itu.
"Hai, maaf ya kalo ganggu. Boleh enggak aku duduk di kursi ini?" (sambil menunjuk kursi)
"Hmm ... iya boleh, silahkan!".
"Maaf kalo boleh aku tahu, kenapa kamu duduk disini sendirian? Apa yang kamu lakukan disini?".
"Hmmmm... ( sambil menatapku dengan wajah yang murung)".
"Ehh .. maaf maaf, kalo emang kamu enggak mau cerita juga enggak apa -- apa. Siapa tahu aku bisa bantu kamu, tapi kalo kamu keberatan juga enggak apa -- apa".
"Sebenernya aku malu mau cerita sama kamu".
"Ohh ... ya enggak apa -- apa, kenapa kamu mesti malu. Cerita aja, siapa tahu aku bisa bantu problem kamu. Kamu udah makan?" (sambil menatap wajahnya yang pucat dan lesu).
"Belum".
"Ya udah ayo kita makan dulu! Kamu pasti laper ya?".
Wanita itu tidak menjawab dan hanya menggelengkan kepala.
"Kenapa kamu enggak mau? Ya udah kamu tunggu disini ya?".
Aku bergegas membeli makanan dan minuman untuk wanita itu.
"Nih, kamu minum dan makan dulu ya?" (Sambil memberikan secangkir teh dan makanan ringan) Kenapa? Ayo, nih ambil! Kamu tenang aja, aku enggak ada niat jahat kok sama kamu. Aku tulus mau bantu kamu".
"Terima kasih ya?".
"Iya, udah kamu minum dulu ya tehnya, nanti keburu dingin".
"Iya".
"Kamu asli orang Lampung ya? tinggal dimana?".
"Iya, aku tinggal di Bandar Lampung".
"Oh ya? aku juga tinggal di Bandar Lampung? Ternyata aku ketemu sama tetanggaku ya? Oh ya sorry, kalo boleh tahu, kamu tadi kenapa nangis disini?".
"Aduh, gimana ya mas? Sebenernya aku malu mau cerita sama mas?".
"Jangan panggil mas dong, panggil aja Gandi. Nama kamu siapa?".
"Nama saya Malika, mas, eh Gandi maksudnya".
"Nah sekarang udah enggak sedih lagi, sekarang cerita dong Malika, tadi kamu kenapa?".
"Sebenernya gini Gan, aku ke Jakarta tuh Cuma mau nyari orang, eh apes banget, baru pertama kali menginjakkan kaki di ibukota, malah semua barang -- barangku ludes dicopet sama orang".
"Hahahahahahhaahahha (tertawa terbahak -- bahak). Oh jadi ceritanya kamu tuh abis kecopetan gitu?".
"Kok ketawa? Aku keliatan bodoh banget ya sampe -- sampe baru pertama kali ke Jakarta udah kecopotan".
"Enggak -- enggak, tadi aku cuma bercanda kok. Lagian kamu kenapa sendirian ke Jakarta? Harusnya kamu minta didampingi supaya lebih safety, apalagi kamu perempuan dan kesempatan itu pertama kalinya kamu ke Jakarta. Kamu belum tahu gimana kerasnya hidup di kota metropolitan?".
"Iya, aku salah, aku enggak tau apa yang harus kulakuin? Nah mungkin ketika aku bingung itu, para copet itu memanfaatkan kesempatan itu".
"Memang orang yang kamu cari itu tinggal dimana?".
"Aku juga enggak tahu dimana keberadaannya".
"Boleh aku lihat fotonya?".
"Nah itu dia, aku ke Jakarta cuma modal nekad. Foto dan keberadaanya pun aku enggak tahu dimana?".
"Hahh? Kamu enggak tahu orangnya gimana dan tinggal dimana? Gimana kamu mau nyari dia?".
"Iya, itu salahku. Aku terlalu berambisi untuk mempertemukan orang itu dengan orang paling kusayangi selama ini tanpa memikirkan resiko yang harus kuhadapi. Ibarat aku berjalan, aku berjalan untuk mencapai tujuanku tanpa adanya pedoman dan petunjuk".
"Nah itu kamu tahu, tapi ya udahlah, jadikan itu semua pelajaran untuk kita. Kita enggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan kalo kita takut untuk melangkah. Kalo aku boleh tahu, seberapa berarti orang itu untuk kamu, sampe kamu benar -- benar berambisi seperti itu?".
"Mereka adalah orang yang paling berharga dalam hidupku. Meskipun aku baru mengenal mereka beberapa tahun yang lalu".
"Kamu memang wanita yang baik, kamu rela mengorbankan segala kepentingan kamu untuk orang yang kamu sayang. Aku salut sama kamu, Mereka adalah orang yang paling beruntung didunia ini".
"Enggak Gan, apa yang kulakukan hanyalah suatu bagian kecil dari semua pengorbanan mereka selama ini".
"Terus gimana kalo kamu pulang tanpa orang yang kamu cari itu?".
"Ya mungkin mereka kecewa meskipun sikap itu tidak mereka tunjukkan langsung padaku, namun aku akan terus berusaha demi mereka. Aku janji!".
"Iya, semoga Allah selalu bersamamu dan memberikan petunjuk untuk semua cobaan ini?".
"Aamiin".
"Ehh itu pelabuhan Bakaheuni ya?".
"Iya".
"Kangen sama Lampung dan kangen sama Ibu dan Bapak".
"Hmmm ... emang sudah berapa lama kamu enggak pulang ke Lampung?".
"Aku pun sudah lupa berapa lama aku tidak pulang kampung, yang kuingat hanyalah ketika aku lulus SMA, aku langsung merantau ke Jakarta".
"Sepertinya kamu udah lama enggak pulang kampung ya? sampe -- sampe kamu lupa begitu".
"Bukan lupa, terlalu sakit untuk mengingat semua itu".
"Kamu yang sabar ya? itulah cobaan hidup".
Nooootttt ... Noooottt ( Suara kapal membunyikan pertanda sudah mendekati pelabuhan)
"Selamat malam para penumpang, dalam waktu beberapa menit, kapal Dharma Kencana II telah bersiap untuk berlabuh di pelabuhan Bakaheuni. Mohon periksa kembali barang -- barang bawaan Anda jangan sampai ada yang tertinggal. Terima kasih dan selamat malam".
"Ehh kita sudah sampe, siap -- siap yuk! Kamu naik travel apa?".
"Aku naik travel Lintas Jaya".
"Kamu ada ongkos sampe ke rumah kan?".
"Ada kok, masih ada".
"Oh ya udah, kamu hati -- hati dijalan. Semoga nanti kita bisa ketemu lagi ya?".
"Iya, terima kasih ya atas bantuannya. Kamu juga hati -- hati ya?".
Sepanjang perjalanan dari pelabuhan Bakaheuni menuju Bandar Lampung aku berpikir,
kasian sekali wanita itu, baru pertama kali ke Jakarta sudah kecopetan. Tapi kenapa dia bisa gitu ya? mengorbankan semuanya demi orang yang baru ia kenal. Ia ke Jakarta hanya bermodalkan keyakinan dan tekad untuk mempertemukan orang ia cari. Ya Allah, Kumohon lindungilah Malika dimanapun ia berada, aku tahu ia wanita yang baik dan tulus. Mungkin perasaanku ini salah, aku baru mengenalnya dan aku menyukainya. Ya Allah, jika memang ia jodohku, maka dekatkan dan biarkanlah aku bersatu dengannya. aamiin.
Dari seorang wanita yang baru saja kukenal di Dharma Kencana II, aku belajar memaknai hidup.
Setelah 3 jam perjalanan, akhirnya aku sampai di kampung halamanku tercinta. Aku sangat merindukan Bapak dan Ibuku, disinilah mereka membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan perjuangan yang sangat panjang.
"Assalamu'alaikum".
"Walaikum salam"
Jantungku berdebar begitu kencang, rasanya aku sudah tak dapat membendung kerinduanku ini pada pada orang tuaku. Pintu rumah mulai terbuka perlahan.
"Ibu (Memeluk ibu dengan erat dan air mata yang berlinang). Aku sangat merindukan ibu, aku sayang sama ibu"
Aku sadar, aku memiliki banyak salah dan dosa pada ibuku. Dengan efek refleks yang luar biasa, aku berlutut dan mencium kaki ibuku.
"Ibu, maafin Gandi, bu. Gandi banyak salah dan dosa sama ibu. Gandi minta maaf, bu. Ibu, Gandi minta maaf, Gandi sayang sama ibu".
"Sudah nak, ibu sudah memaafkan kamu. Ibu senang sekali kamu pulang, nak".
"Iya bu, Gandi kangen sama ibu. Bapak mana, bu?".
"Sebentar, kamu tunggu disini ya biar ibu panggil Bapak dulu!".
Tak lama kemudian keluar seorang pria paruh tua yang berjalan dengan perlahan, ia adalah Bapakku. Ku perhatikan kerutan diwajahnya yang mulai dimakan usia. Tangannya yang dulu kokoh berjuang, kini mulai melemah. Dari guratan itu menunjukkan betapa berat perjuangan yang harus mereka lalui.
Dengan perasaan yang menggebu -- gebu, kupeluk erat Bapakku. Rasanya aku tak sanggup untuk menahan air mataku. Dengan terisak -- isak, aku memohon maaf pada Bapak dan ibuku.
Pagi ini, bertempatkan disebuah rumah sederhana, dengan penuh keharuan dan kesedihan, aku mendapatkan kebahagiaan yang berlimpah. Kini kusadari, kebahagiaan itu bukan hanya dilihat dari sudut pandang material. Materi merupakan sebuah sarana, namun tidak semua kebahagiaan bisa dihargai dalam wujud material. Bukan seberapa banyak materi yang telah kuberikan pada mereka, bukan dengan sebuah kemewahan maka kebahagiaan itu akan datang. Aku bersyukur memiliki orang tua yang tulus, ikhlas dan selalu sabar membimbingku.
Mungkin kita pernah mendengar kalimat ini "kasih anak sepanjang jalan, kasih ibu sepanjang zaman". Ternyata isi pernyataan itu benar, setelah semua kejadian yang kualami selama ini.
Aku adalah anak tunggal. Selama kepergianku, lalu siapa yang mengurus mereka? Sedangkan di rumah ini, mereka hanya tinggal berdua tanpa adanya asisten rumah tangga. Dengan penuh keraguan, akhirnya kuberanikan diri untuk mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku.
"Ibu, Bapak, ternyata enggak ada satu ruangan pun yang berubah selama aku pergi".
"Iya nak, ibu dan bapak enggak mau mengubah sedikitpun struktur ruangan yang ada di rumah ini".
"Kenapa bu?".
"Karena semua ruangan disini memiliki nilai historis yang tak dapat dilupakan, terutama tentang kamu,nak? Tentang buah hati yang ibu sayangi".
"Iya bu, terima kasih ya atas semua kasih sayang dan doa restu ibu. Oh ya, selama ini ibu dan bapak Cuma tinggal berdua aja?".
"Iya nak".
"Kenapa ibu enggak cari asisten rumah tangga untuk membantu ibu menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengurus ibu?".
"Tidak nak, yang ibu butuhkan hanya kamu, nak".
"Gandi janji akan selalu ada untuk ibu".
"Oh ya ibu lupa mau kasih tau kamu, sudah dua tahun terakhir ini ada yang membantu ibu di rumah ini. Ibu menyayangi dan sudah menganggap dia seperti anak ibu sendiri".
"Siapa, bu?".
"Sebentar, ibu panggilkan!".
Benakku berkata "siapa yang membantu ibu? Ibu kan enggak punya asisten rumah tangga? Saudaraku? Semua saudaraku baik dari Bapak dan ibu sudah merantau jauh dan jarang pulang? Lalu siapa?"
"Malika?".
"Gandi? Jadi orang yang selama ini dicari bapak dan ibu adalah kamu?".
"Ibu? jadi selama ini Malika yang membantu mengurus Bapak dan ibu?".
"Iya nak, sepertinya kalian sudah pernah bertemu ya?".
"Iya bu, dikapal" (Tanpa disengaja Gandi dan Malika menjawab dengan serentak)
Aku hanya terdiam. Seolah -- olah mulutku bungkam dan tak sanggup berkata. Aku tak percaya jika selama ini yang merawat dan menyayangi orang tuaku dengan tulus adalah sosok wanita yang kutemui di geladak kapal Dharma Kencana II.
Dan disaat bersamaan pula, Allah menjawab semua doaku. Aku dipertemukan dengan sosok wanita yang sederhana, baik, tulus, sabar, ikhlas dan menyayangi orang tuaku.
Perjalanan Jakarta -- Lampung telah mengajarkanku pengalaman hidup yang berharga, Jika apa yang kita lakukan dilandasi dengan penuh ketulusan, maka kebahagiaan itu akan mengikuti seiring dengan langkah yang kita tempuh.
********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H