"Iya na sama-sama, bye"
Perempuan berambut panjang itu pergi, tak sadar aku salah tingkah mulai tersenyum sendiri membayangkan semua ceritanya tadi.
"Ada-ada aja deh, cewek malah suka pelihara tokek" gumamku sambil tertawa saat sampai di parkiran mengingat cara Nana bercerita.
Aku melihat Nana dari kejauhan, dia membawa setumpuk surat entah dari mana menuju ruang BEM yang tak jauh dari area parkir. Kulihat dia sedang bersama Bayu adik tingkatku juga di BEM. Mereka sangat akrab, terlihat Nana bercanda dan tertawa bersama Bayu dalam perjalanan menuju ruang BEM.
Aku merenung, tadi hanya rasa nyaman sementara yang aku rasakan. Ku pikir Nana bisa menjadi obat luka hatiku, Â tapi ku rasa tidak. Nana perempuan yang pintar dan perfectionist tidak sehrusnya aku menaruh harapan padanya karena sempat satu meja di kantin.
"Gery.. gery.. jangan b*go lah" tukasku pada diri sendiri sambil tertawa miris.
Lebih baik sendiri dulu untuk saat ini, merawat luka dan berdamai dengan masa lalu. Aku hanya takut nanti keputusanku akan menyakiti Nana dan diriku sendiri. Ku akui sempat terbesit rasa kagum padanya tapi aku tak ingin menyembuhkan luka lama dengan orang baru. Karena bagiku kopi pun tetap nikmat tanpa manisnya gula sekalipun, rasanya jujur walau pahit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H