Mohon tunggu...
Sri Endang
Sri Endang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Belajar Klasik dan Implikasinya dalam Pembelajaran

22 Desember 2023   17:46 Diperbarui: 22 Desember 2023   17:49 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama:Sri endang

Kelas:1D

NIM:20230110800120

   

A. TEORI-TEORI BELAJAR 

         Berbagai teori belajar yang dapat diaplikasikan proses pembelajaran di sekolah dasar akan kita bahas bersama. Adapun paparan dalam proses pembelajaran berkaitan dengan toeri belajar behavioristic, humanistic, teori kognitif, teori belajar bermakna, dan teori belajar konsep.

a.TEORI BEHAVIORISTIK

         Tokoh pelopor teori behavioristic antara lain J.B. Watson, thorndike, dan B.F. skinner.J.B Watson (1878-1958) mengemukakan perilaku manusia disebabkan oleh pembentukan faktoe lingkungan. Bagi Watson lingkungan adalah faktor dominan dan yang paling penting bagi tumbuh perkembangan anak. Bahkan ia mengemukakan pendapat untuk bayi, Albert yang dinilai oleh negara masyarakat amerika waktu itu "beri aku bayi, selanjutnya terserah dapat dibentuk mau jadi apa saja" begitulah pendapat dari Watson yang akhirnya membuat para orang tua takut menyekolahkan anakanya karena khawatir anak mereka dijadikan orang gila, pemabuk, dan sebagainya 

         Dengan keresahan masyarakat akibat teori Watson muncullah pendaapt Thorndike disini belajar melalui langkah-langkah kecil yang sistematis dan berharap dari pada sebuah lompatan yang besar. Thorndikepada tahun 1930-an terkenal hukum-hukum belajarnya yaitu:

a.Hukum kesiapan 

b.Hukum latihan 

c.Hukum akibat 

d Hukum bergabda

e.Sikap

f.Elemen-elemen 

g.Respond dengan analogi 

h.Pergeseran asosiatif 

           Setelah tahun 1930-an thorndike meralat teorinnya tersebut. Hukum belajar yang di ralatkan yakni hukum latihan dan hukum akibat, menurutnya hukum keterpakaian sebagai bagian dari hukum latihan yang menyatakan bahwa pergaulan suatu perilaku pada praktiknya terkadang tidak akurat. Dalam revisi hukum akibat, thorndike mengemukakan bahwa REINFORCEMENT akan menguatkan suatu hubungan sedangkan hukuman tidak di pengaruh pada kekuatan hubungan. Sebagai contoh ,murid yang diberi hukuman karena salah mengerjakan tugas belum tentu membuatnya mengulangi tugas peljaran tersebut. Sebaliknya peserta didik yang betul mengerjakan tugas di beri reinforcement berupa pujian sehingga ia semakin sungguh-sungguh dalam belajarnya. 

            Belajar dimodifikasi oleh lingkungan. Dalam prosesnya mengandung tiga pokok yakni stimulu, respon, dan akibat.Stimulus datang dari lingkungan yang dapat membangkitkan tanggapan individu. Respon menimbulkan perilaku dari stimulus yang diberikan sedangkan akibat terjadi setelah induividu memberi respon positif ataupun negatif. 

          Reinforcement (penguatan) menjadi prinsip utama dalam memperkuat letaknya hasil belajar pada individu (Agus Taufik, 2007:6.5). Suatu pemahaman yang tepat memberikan kepuasan pda diri sendiri individu tetapi mereka cenderung menghindari sesuatu yang tidak memberikan kepuasan. Pemberian pnguatan juga harus waspadai Tricky matter, yakni proses penguatan yang keliru, tidak sesuai dengan tujuan utamanya. Misalnya, seorang seorang ibu meminta anaknya untuk menyapu rumah dengan iming-iming akan diberikan uang dengan tujuan anaknya mempunyai kebiasaan menyapu lantai hingga bersih. Masalanya apa kita yakin bahwa anak itu menyapu kembali rumah di lain waktu dengan kesadaran dirinya sendiri? Mar

 kita teruskan materi selanjutnya.

b. TEORI HUMANISME

   Teori pelopor teori belajar Hunisme antara lain Abraham Maslow dan Carl Rogers. Maslow meyakini bhwa belajar merupakan kebutuhan akan perkembangan motivasi. Dalam mencapai sesuatu manusia tidak akan pernah puas, rasa puas hanya terjadi sesaatv saja sehingga manusia mencapai peluang lain untuk menutupi kebutuhannya. Menurut Maslow, puncak kehidupan sekaligus sebagai ukuran keberhasilan dalam mengaktualisasikan diri dalam dunianya (Agus Taufik,2007:6,6).

              Sementara Carl Rogers seorang ahli bimbangn konseling dengan teori 

Cliendt contered-nya berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang rasiaonal, sosialis, ingin maju dan realistic sehingga manusia memiliki potensi untuk tumbuh denganaktual serta serta memiliki martabat yang tinggi. Rogers menempatkan manusia secara manusiawi dalam martabat kemanusiannya. 

               Bagi Rogers,guru merupakan fasilitator yang memungkinkan peserta didik paham akan sesuatu hal. Selain itu, dalam membimbing perlu diberikan kebebasan. Prinsip learning to be free adalah ide Rogers untuk mengkonsepsikan pembelajaran berbasis becoming learning to be free dan courage to be.Mnurutnya, pembelajaran berbasis learning to be free maupun membuat peserta didik bersikap lebih otonom, lebih spontal, dan lebih meyakini dirinya sendiri. Senada dengan pengalaman Rogers ini. Djawad dahlan (1985:41) sampai kepada sesuatu ungkapan yang menyatakan bahwa learning to, be free merupakan perkembangan yang berarti untuk menjadi manusia yang "menjadi" becoming human (Agus Taufik, 2007:6,6).

              Adapun cara belajar menurut teori ini adalah dengan mengembangkan individu. Apabila seseorang mampu mengembangkan potensinya serta merasa dirinya utuh. Bermakna dan berfungsi (fully functioning person) maka orang itu bukan hanya akan berguna bagi diriya sendiri tapi jg berguna bagi lingkungan sekitarnya. Teori ini berpendapat bahwa motifasi belajar harus datang dari dalam diri individu, intelektual dan emosional sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam proses pembelajaran.

    Proses belajar harus melibatkan pengalama langsung, berfikir serta merasakan kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik sehingga hasil belajar dapat di rasakan diri individu. Belajar yang bermakna tidak lain hanyalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu (Agus Taufik,2007:6,7).

              Carl Rogers mengemukakan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut ini.

 a.Manusia mempunyai dorongan alamiah untuk belajar, dorongan ingin tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasikan pengalaman baru. 

b.Belajar akan bermakna apabila materi yang dipelajari relevan dengan kebutuhan anak.

c.Belajar harus diperkuat dengan jelas mengurangi ancaman eksternal, seperti hukuman, penilaian,sikap merendahkan murid, mencemoohkan dan sebagainnya.

d.Belajar atas inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik faktor internal maupun personal.

e.Sikap mandiri, kreativitas, dan percaya diri diperkuat dengan penilaian atas diri sendiri.

Proses belajar harus melibatkan pengalama langsung, berfikir serta merasakan kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik sehingga hasil belajar dapat di rasakan diri individu. Belajar yang bermakna tidak lain hanyalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu (Agus Taufik,2007:6,7).

              Carl Rogers mengemukakan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut ini.

 Manusia mempunyai dorongan alamiah untuk belajar, dorongan ingin tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasikan pengalaman baru. 

Belajar akan bermakna apabila materi yang dipelajari relevan dengan kebutuhan anak.

Belajar harus diperkuat dengan jelas mengurangi ancaman eksternal, seperti hukuman, penilaian,sikap merendahkan murid, mencemoohkan dan sebagainnya.

Belajar atas inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik faktor internal maupun personal.

Sikap mandiri, kreativitas, dan percaya diri diperkuat dengan penilaian atas diri sendiri.

Proses belajar harus melibatkan pengalama langsung, berfikir serta merasakan kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik sehingga hasil belajar dapat di rasakan diri individu. Belajar yang bermakna tidak lain hanyalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu (Agus Taufik,2007:6,7).

      c.Teori Belajar kognitif

Tokoh pelopor teori belajar kognitif yang terkenal antara lain MaxWertheimer, Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, Kurt Lewin, dan Jean Piaget. MaxWertheimer (1880-1943), Wolfgang Kohler (1887-1967), Kurt Koffka (1886-1941) merupakan pionir teori gestalt (Agus Taufik, 2007: 6.8). Teori inimenekankan bahwa keseluruhan lebih berarti daripada bagian-bagian. Artinyaproses belajar dalam teori ini harus dimulai dari keseluruhan dahulu, barumenganalisa bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Misalnya, permulaan membacauntuk anak SD yang baik adalah mengajarinya keseluruhan barudianalisis/dipisahkan per kata, per suku kata, dan per huruf. Contoh.

Ini -- ibu -- Budi

I -- ini i -- bu Bu -- di

I -- n -- i i -- b -- u B -- u -- d -- I.

a.Periode sensori motor (0;0-2;0)

Periode ini ditandai oleh penggunaan sensor motorik (dalam pengamatan dan pengindraan) yang intensif terhadap dunia di sekitarnya. Prestasi yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan objek, kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, dan pengenalan hubungan, sebab akibat. Perilaku kognitif yang tampak, antara lain:

1.Menyadari dirinya berbeda dari benda-benda lain di sekitarnya ;

2.Sensitif terhadap rangsangan suara dan cahaya

3.Mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik ;

4.Mendefinisikan objek/benda dengan memanipulasinya ;

5.Mulai memahami ketepatan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.

b.Periode praoperasional (2;0-7;0)

Periode ini terbagi dua tahapan, yaitu prakonseptual (2;0-7;0) dan intuitif (4:0-7:0). Periode konseptual ditandai dengan dengan cara berpikir yang transuktif (menarik kesimpulan) tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal khusus (contoh, sapi disebut juga kerbau), periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egosentris (belum memahami cara orang lain memandang objek sama), seperti seara (selancar).perilaku kognitif yang tampak, antara lain: 

1.Self -- centered dalam memandang duniannya;

2.Dapat mengklasikan objek-objek atas dasar satu ciri yang sama mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya;

3.Dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu;

4.Dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dari dua benda yang tidak bersentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama 

c.Periode operasional konkret (7;0-11)

     Tiga kemampuan dan kecakapan baru yang menandai periode ini adalah mengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode ini anak mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. perilaku kognitif yang tampak pada periode ini ialah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret.

d.Periode operasional formal (1;0 atau 12;0-14 atau 15;0)

Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkret. Perilaku kognitif yang tampak, antara lain:

a.Belajar konsep 

          Konsep itu apa sih? Seorang akan sulit mengetahui apa itu konsep kalau tidak mengetahui konsep akan lingkungannya. Misalnya, konsep tentang ibu, ayah, piring, mandi, dan hal-hal lain yang terkait dengan individu tersebut.konsep sangat erat kaitannya dengan reaksi dari stimulus-stimulu yang ada di lingkaran kita. Menurut Dahlar (1996:76) konsep -- konsep itu menyediakan skema-skema terorganisasi untuk mengasimilasikan stimulus -- stimulus baru, dan untuk menentukan hubungan di dalam dan di antara kategori-kategori (Agus Taufik,2007:6.11)

         Konsep -- konsep yang dimiliki individu merupakan hasil dari proses belajar yang ia peroleh berdasarkan pengalaman kognitifnya. Hasil belajar itu membangun fondasi berpikir individu. Hal itulah yang dijadikan dasar untuk memecahkan masalah secara relevan dan sesuai aturan. 

         Apa itu konsep? Tampaknya, sulit sekali mendapatkan definisi konsep yang di pandang akurat. Hal-hal yang banyak dikemukakan orang, berkenaan dengan definisi konsep adalah suatu yang di terima dalam pikiran atau ide yang umum dan abstrak (Agus Taufik, 2007:6.11)

Bagaimana individu memperoleh konsep-konsep

       Kalau melihat teori ausebel (1968) individu memperoleh konsep-konsep Melalui dua cara, yaitu melalui formasi konsep dan asimilasi konsep (Agus taufik,2007: 6,12). Konsep-konsep yang diperoleh semenjak kecil dari lingkungan individu melahirkan formasi konsep, bisa dikatan formasi didapatkan sebelum individu itu memasuki bangku sekolah.

          Sementara asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai sekolah dan berlangsung secara deduktif. Anak biasanya diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah ialah hewan dan belalai sehingga anak akan memahami kalau hewan yang berbelalai adalah gajah.

2.Tingkat konkret 

    Pencapaian konsep tingkat konkret ditandai oleh adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Pada tingkat ini anak bisa membedakan stimulu-stimulus yang ada di lingkungannya dan anak sudah mampu menyimpan gamparan mental dalam struktur kognitifnya. Misalnya anak sudah mengetahui apa yang namanya tali.

  2.Tingkat identitas

     Seseorang telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia sudah mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu atau apabila objek tersebut ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Misalnya anak tidak hanya bisa bisa melihat tapi tetapi juga bisa memainkannya.

3.Tingkat classificatory

     Tingkatan ini anak bisa dikatakan sudah mampu mengenal persamaan suatu contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Misalnya buah jeruk yang masak dan jeruk yang mentah.

4.Tingkat format

     Pada tingkat ini anak sudah mampu membatasi konsep dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri. Memberikan nama atribut yang membatasinya bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.

1.Belajar Bermakna

      Dalam teorinya Ausubel membagi klafikasi belajar menjadi 2 bagian yakni dimensi pertama yang menyangkut cara materi atau informasi diterima peserta didik dan dimensi kedua yang menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Teori dimensi pertama lebih menitik beratkan pada penerimaan dan penemuan peserta didik, Sedangakan teori kedua lebih kepada cara berpikir anak.

        Apabila ia hanya mencoba-coba menghafalkan informasi atau materi pelajaran baru tanpa menghubungkannya dengan konsep-konsep yang lain di dalam struktur kognitifnya maka terjadilah yang di sebut dengan belajar hafalan. Sebaliknya, jika pesesta didik menghubungkan informasi atau materi pelajaran baru dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang telah ada dalam struktur kognitifnya maka terjadilah yang disebut belajar bermakna.

Implikasi Teori-teori Belajar dalam pembelajaran 

      Penting bagi seorang pendidik untuk menerapkan teori belajar yang telah ia kuasai. Sedikitnya ada 2 yang mungkin terjadi jika pada diri seorang guru mampu menerapkan teori belajar yang diyakininya dalam kognisi nyata. Pertama, teori yang dikenalnya itu cenderung meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif sehingga pada suatu saat ia akan kaya dengan khazanah teori belajar dan pembelajaran. Kedua, pembelajaran akan optimal baik dilihat dari sudut pandang pengembangan peserta didik maupun aktualisasi kemampuan guru itu sendiri.

                       a. Implikasi Teori Belajar Behaviorisme Dalam Pembelajaran

         Proses pembelajaran berpegang teguh pada prinsip dan pemahaman aliran behaviorisme menekankan pada pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademik maupun prilaku sosial sebagai hasil belajar (Agus Taufik,2007: 6.20). Pendekatan akademik yang lebih menekankan pada penguasan secara tuntas terhadap apa saja yang dipelajari menjadi langkah penting dalam pencapaian teori behaviorisme ini. Tujuan pendidikan bersifat eksternal, artinya guru yang mengendalikan proses pembelajaran tanpa campur tangan peserta didik.

        Hasil belajar akan lebih bermakna jika prosesnya menyenangkan peserta didik dan terjadi penguatan (reinforeement). Misalnya, peserta didik menjawab.

Implikasi Teori Belajar Bermakna Ausubel dalam Pembelajaran

             Jika kita bandingkan antara Ausubel dengan teoriwan lainnya, mungkin kita akan tertarik dengan teorinya dan cara Ausubel berteori. Ini dapat terjadi padadiri kita karena ada satu hal yang menonjol dari Ausubel dalam menyusun teorinya, yaitu kemampuannya mengoperasionalkan teori tersebut dalam bentuk nyata dalam suatu proses pembelajaran. Inilah sisi yang menarik dari Ausubel sehingga banyak kalangan yang peduli terhadap teori belajarnya.

      Bagaimana Ausubel menerapkan teori belajarnya dalam proses pembelajaran? Untuk memberikan jawaban sementara atas pertanyaan tersebut marilah kita coba kaji kasus berikut ini.

             Pada suatu hari Bu Pulan mengajarkan materi pembelajaran tentang ciri-ciri makhluk hidup. Sebelum sampai kepada pokok bahasan tersebut, Bu Pulan mengulas dahulu konsep makhluk hidup yang telah dikenal peserta didiknya. "Anak-anak yang ibu cintai, hari ini kita akan mendiskusikan tentang ciri-ciri makhluk hidup. Anak-anak apakah kucing termasuk makhluk hidup?"Peserta didiknya menjawab serempak:"Ya... Bu...!"."Mengapa disebut makhluk hidup?", Kata Bu Pulan.

1.Advance Organizer

           Sejak tahun 60-an, Ausubel telah memperkenalkan istilah Advance Organizer. Pada tahun 1963, konsep advance organizer 

           menjadi bagian pentingdalam bukunya yang berjudul

The Psychology of Meaningful Verbal Learning.

         Advence organizer diartikan sebagai pengatur awal (Dahlar, 1996) dan mempersiapkan pengetahuan siap (Abin Syamsiddin, 1999). Intinya merupakan proses penggalian pengalaman masa lalu yang sudah ada dalam struktur kognitf peserta didik yang relevan dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan. Oleh karena itu, advance organizer 

tersebut suka dianggap semacam pertolongan mental, yang disampaikan sebelum materi pokok pembelajaran dibahas.

2.Diferensi Progresif 

             Kalau kita cermati secara jeli, dalam konsep belajar bermakna menurut Ausubel dipandang perlu terjadinya pengembangan dan elaborasi konsep-konsep yang tersubsumsi. Caranya dengan mengembangkan konsep-konsep yang lebih umum terlebih dahulu, selanjutnya diberikan konsep-konsep yang lebih mendetail dan khusus sampai kepada contoh-contoh. Dengan demikian, konsep-konsep tersebut dikembangkan dari umum ke khusus. Penyusunan konsep seperti ini, di sebut dengan istilah diferensiasi progresif. Oleh sebab itu, suatu konsep yang diajarkan perlu disusun secara hierarkis.

3.Belajar Superordinat

      Tampaknya belajar superordinat jarang terjadi di sekolah, sebab kebanyakan guru dan buku sekarang menyajikan konsep-konsep yang lebih inklusif, tetapi ada kalanya penyajian seperti itu mengalami masalah. Kalau begitu maka penting juga dipahami apa yang disebut belajar superordinat.

       Belajar suborinat jarang terjadi bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif (Dahar, 1996). Misalnya, ketika anak kecil belajar mengenal kucing, awalnya semua kucing sama. Tetapi setelah belajar lebih jauh maka ia mulai membedakannya dengan kucing betina, jantan dan sebagainya. Lalu, ia juga belajar dari unsur keber buluan maka muncullah kelompok binatang menyusui atau mamalia maka kucing, sapi, anjing termasuk kelompok binatang mamalia. Disitu tampaklah bahwa mamalia sebagai superordinat dan kucing, anjing juga sapi sebagai subordinat.

4.Penyesuaian Integratif

    Terkadang anak dihadapkan kepada permasalahan dwifungsi suatu konsep dan dengan kenyataan ini mereka mengalami semacam pertentangan kognitif. Misalnya, penggunaan kata bisa yang berarti dapat/mampu dan arti lainnya, yaitu racun. Pertentangan seperti itu, umumnya membuat anak bertanya kapan saya harus mengatakan "bisa" yang berarti dapat dan kapan saya harus mengatakan "bisa" yang berarti racun. Penggunaan kata maknanya sudah meluas, seperti kata "ibu", yang berarti orang yang melahirkan atau yang dituankan pun dapat menimbulkan pertentangan kognitif bagi anak. Misalnya, Bu Pulan berkata "Coba bukunya berikan ke Ibu!"

           Menurut Ausubel untuk mengatasi atau mengurangi pertentangan kognitif seperti itulah pentingnya penggunaan prinsip-prinsip penyesuaian intergratif yang sering disebut dengan istilah rekonsiliasi integratif. Ausubel berpendapat bahwa suatu pembelajaran yang bermakna tidak harus selalu terjadi secara diferensiasi progresif, tetapi harus terjadi upaya penggerakan kerangka hierarkis konseptual ke atas dan ke bawah. Artinya perlu diperlihatkan keterkaitan antara konsep-konsep umum dengan konsep-konsep khusus. Selain itu perlu jelas pula konteks dan rentetan penggunaan kata yang telah melebar maknanya atau kasus makna dwifungsi dan sebagainya.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun