Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers, https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Horor

[Horor] Erangan Dari Pondok Batu

19 Desember 2024   01:25 Diperbarui: 19 Desember 2024   07:02 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://easy-peasy.ai/ai-image-generator/images/tranquil-forest-wooden-house-serene-haven-amid-nature

Lima belas tahun telah berlalu. Saat ini Aditya, Vivienne dan putri kembarnya dalam perjalanan menuju ke rumah Nyai Kembang, ibunda tercinta. Beberapa bulan sebelumnya,  mereka telah diteror oleh puluhan email aneh yang memaksa Aditya untuk segera pulang kampung.

"Pulanglah, jangan pernah melupakan tanah kelahiran dan ibu yang merindukanmu," begitu bunyi email yang diterima Aditya selama puluhan kali dalam seminggu. Rentetan kalimat itu memenuhi benak Aditya sampai terbawa mimpi. Pengirimnya anonymous dan hal itu menggayuti pikirannya sepanjang waktu. Aditya merasa hidupnya kacau balau dan hal ini diceritakannya pada Vivienne.

"It is okay, me and our daughter with you to go to your home town (okay, saya dan putri kita akan pergi bersamamu menuju tempat kelahiranmu)," hibur Vivienne saat mengepak baju ke dalam koper. Tiket , paspor dan visa sudah berada dalam genggaman untuk memulai mudik pertama mereka ke kampung Aditya.

Baca juga: Batu Pergaulan

"Do you know Vivienne.... I am so confused with our decision (kamu tahu Vivienne, saya sangat bingung membuat keputusan ini)."

"No worries, let's figure out what happens in your home (jangan kuatir, mari mencari tahu apa yang telah terjadi di rumahmu)."

Keputusan itu bagaikan berjudi dengan waktu dan ketidakpastian. Akhirnya mereka berempat menempuh perjalanan panjang dari Endkhuizen The Netherlands menuju ke kampung kelahiran Aditya di pelosok Nusantara.

Mobil sewa itu berhenti di depan sebuah gapura batu dengan pintu kayu jati berukir tertutup rapat. Vivienne terperanjat kaget melihat interiornya.

"Wow... amazing (wow, sangat menakjubkan)," lidahnya berdecak kagum melihat keindahan ukiran sepasang naga yang menjadi hiasan pintu. Aditya tersenyum lebar.

"Welcome to my home, honey (selamat datang di rumahku Sayang)," dia memeluk istri dan putri kembarnya yang terlihat sangat gembira melihat pemandangan di depannya. Kampung itu berasa sejuk dengan suasana asri. Jalanan bersih dan terlihat lengang.

"You will be happy stay here, Cello... (kamu akan berbahagia tinggal di sini Cello)," Pleva menggoda Cleo, kucing British short hair jantan piaraannya yang berada di dalam kandang. Cleo yang berwarna hitam pekat menggeram senang karena dilibatkan dalam perjalanan itu. Tanpa menunggu lama, Aditya segera mengetuk pintu itu dengan gerendel besi yang tersedia di bagian tengah.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan di pintu kayu itu menebarkan aroma horor di dalam pikiran Aditya namun dia mengabaikannya. Pintu dibuka oleh seorang perempuan muda.

"Bapak mencari siapa?" bola mata perempuan itu liar menyelidik.

"Saya Aditya, ingin bertemu dengan Nyai Kembang."

Perempuan muda itu tampak sangat terkejut. Dia menganga tidak percaya melihat rombongan Aditya, Vivienne dan putri kembarnya yang menenteng sebuah kandang kucing berisi penghuni di dalamnya. Segera dipersilahkannya Aditya masuk ke dalam pekarangan. Di balik gapura terdapat sebuah rumah batu bergaya tradisional nan megah dan asri. Temboknya dicat warna hijau pucuk pisang. Halaman rumah penuh bebungaan, begitu terawat dan terlihat hijau.  Di sudut halaman tumbuh sebuah pohon beringin besar. Lenka dan Pleva sangat takjub melihat pemandangan itu. Mereka berjalan mengikuti langkah perempuan muda itu dan berhenti di depan pintu ruang tamu.

"Mohon maaf Bapak tunggu di sini, saya panggil dahulu Tuan Besar yang berada di dalam."

Aditya mengerutkan kening tidak mengerti dan membiarkan perempuan itu berlalu.

"Tuan Besar siapa yang dimaksud? Sejak kapan ada Tuan Besar di rumah ini. Mengapa Ibu tidak pernah memberitahuku?" kata 'Tuan Besar' terasa sangat mengganggu gendang telinga Aditya.

"Daddy... it is your home? It looks so beautiful (Ayah, inikah rumahmu? terlihat sangat cantik)," Pleva berbisik ke telinga Aditya. Pertanyaan itu disambut dengan anggukan kepala ayahnya.

"I love it, Dad (aku sungguh menyukai rumahmu Ayah)," sambung Lenka penuh semangat. Mereka segera berlari-larian di dalam pekarangan luas dan ditumbuhi rumput Jepang. Vivienne memandang tingkah laku kedua anak itu dengan senyum mengembang.

Aditya mengamati rumah itu, tidak berubah banyak sejak dia meninggalkannya untuk melanjutkan studi ke negeri kincir angin. Dia ingat benar, pohon beringin itu masih piyik saat dia berpamitan dengan ibunya di depan pintu ruang tamu. Ibu dan Sinta, adiknya berdiri anggun dengan sesenggukan tertahan melepas kepergiannya. Aditya tidak pernah melupakan pelukan hangat sang ibu saat terakhir kali mereka bertemu. Terdengar langkah kaki tergesa menuju ke arah rombongan Aditya.

"Kamu mau apa kemari?" terlihat binar aneh dalam tatapan mata lelaki juling yang berada di hadapannya.

"Mang Koplak, aku ini Aditya, putra Nyai Kembang. Aku mau bertemu Ibuku," suara bariton Aditya memecah keheningan.

"Aditya? Siapa kamu ini? tampaknya kamu salah memasuki rumah orang," lelaki yang dipanggil Mang Koplak menunjuk tamunya yang kebingungan dengan suara menggelegar. Lenka dan PIeva terlihat ketakutan, berlindung di balik punggung ibunya.

"Aku tidak pernah salah, ini rumah tempat Nyai Kembang, ibu yang telah membesarkan aku dan Sinta. Lihatlah itu, pojokan tempat ibu selalu membacakan cerita untuk Sinta dan aku," Aditya menunjuk sebuah ruang tamu mungil yang mempunyai jendela besar menghadap ke taman belakang.

"... dan di sana, ada sebuah kolam kecil tempat ibu memelihara ikan koi dan merpati kesayangannya," Aditya berjalan masuk dan menunjuk dari jendela ke balik tembok yang menghalangi pandangan. Lelaki juling itu terperanjat kaget mendengar penjelasan yang begitu detil. Dia berusaha menenangkan diri, nafasnya naik turun tidak karuan.

"Oke...oke...tampaknya kamu lelah dari perjalanan jauh. Mamake, siapkan jamuan terbaik untuk tamu istimewa kita. Aku akan menyuruh Marni  dan Ros menyiapkan kamar tamu," lelaki itu mengedipkan mata pada perempuan menor yang dipanggil Mamake yang berdiri di sampingnya. Suaranya melengking tajam memanggil nama Marni dan Ros yang datang tergopoh-gopoh.

"Antar para tamuku menuju ke kamarnya di paviliun belakang," terdengar suara Mang Koplak kembali menggelegar. Raut wajahnya berubah serius memandang Aditya.

"Kami siap melaksanakan perintah Tuan Besar,"  kedua perempuan itu membungkuk hormat. Aditya dan rombongannya berjalan menjauh dari Mang Koplak.

"Siapakah yang telah mengirimkan email padaku? Mengapa Mang Koplak dipanggil sebagai Tuan Besar? Apa yang telah terjadi di sini?"

Pertanyaan itu menggelayuti kepala Aditya. Pikiran salah dihilangkannya dan hatinya sangat terhibur melihat kegembiraan putri kembarnya yang berusia 12 tahun. Setelah membersihkan diri dan menikmati nuansa kamar sejuk alami, terdengar sebuah ketukan di pintu.

"Tuan Besar menunggu kalian untuk bersantap di ruang makan utama. Izinkan saya memandu kalian ke sana," pembantu perempuan itu menunduk hormat. Mereka segera berjalan melewati koridor gelap. Aditya merasa risih karena rumah itu mempunyai banyak sekali sudut gelap dan terlihat sangat menyeramkan. Akhirnya mereka tiba di ruang makan. Meja penuh aneka hidangan laut, ayam dan daging sapi nan menggugah selera. Mang Koplak alias Tuan Besar duduk di kepala meja. Di sampingnya duduk Mamake yang tersenyum dingin. Penuh kewibawaan Mang Koplak mempersilahkan tamunya makan.

"Bagaimana keadaan Ibu? Aku ingin sekali bertemu dengan beliau," Aditya menuangkan nasi ke piringnya. Dilihatnya Mang Koplak menyeringai seram.

"Ibumu menderita penyakit aneh. Dia selalu terpekik jerit jika di dekati manusia sehingga harus diasingkan ke sebuah tempat yang sangat jauh."

"Sejak kapan Ibuku sakit? Mengapa tidak ada yang menyampaikannya padaku?"

Mang Koplak tertawa garing mendengar jawaban polos Aditya.

"Kami kuatir jangan sampai kabar receh tentang Ibumu mengganggu kelancaran pekerjaanmu di luar sana. Kebanyakan anak muda begitu responnya saat mendapat kabar tentang orang tua dan keluarganya."

"Aku tidak seperti itu. Mengapa Sinta tidak menghubungiku?"

"Kamu dan Sinta sama saja, masa bodoh terhadap keadaan orang tua. Betapa apes nasib Nyai Kembang telah melahirkan anak durhaka ke muka bumi," suara Mang Koplak menggelegar dan menghilangkan selera makan. Dia dan Mamake segera meninggalkan ruang makan. Aditya menghentikan suapan pertamanya dan saling berpandangan dengan Vivienne. Ada apa di rumah itu?

Aditya merasa jiwanya berontak  bertinggal di rumah itu karena merasa dimata-matai oleh semua orang yang berada di situ. Penuh rasa jengah, Aditya mencoba bertandang ke rumah tetangga. Sayangnya para tetangga yang dikenalnya sudah lama meninggal atau menjadi pikun karena uzur. Semua orang yang ditemuinya di sepanjang jalan sangat enggan menyapa dan berlari ketakutan saat melihatnya. Entah kabar horor apa yang telah menimpa keluarganya. Aditya semakin bingung dan langkah kakinya membawa ke sebuah warung kopi yang masih sepi. Dia memesan segelas kopi susu yang diantarkan langsung oleh pemiliknya yang bernama Sabdo.

"Kamu baru berkunjung ke tempat ini?"

"Iya Pak."

"Tinggal di mana?"

"Saya menginap di rumah Nyai Kembang."

Jawaban itu membuat pemilik warung kopi sangat terkejut dan gelas yang dipegangnya terjatuh dari genggaman. Gelas itu pecah berkeping-keping di lantai, menghamburkan cairan kopi susu kemana-mana.

"Ada apa Pak?"

"Kamu cepat pergi dari warungku, ayo keluar..." penuh ketakutan lelaki bernama Sabdo menarik Aditya keluar dari warung kopi. Dia mendorong Aditya ke jalan. Lelaki itu sangat terkejut dan kesal. Dia berjalan gontai menelusuri jalan setapak dengan pikiran kacau. Di sudut jalan tiba-tiba dia bertemu seorang lelaki tua.

"Kamu Aditya kan?"

"Bapak mengenal saya?" Aditya bertanya bingung. Lelaki misterius memakai caping ala petani itu menganggukkan kepalanya. Dia membawa Aditya menuju ke sebuah saung yang berada di tengah hamparan sawah. Semilir angin sejuk menerpa wajah Aditya dan tanpa diminta lelaki aneh itu menceritakan kronologis hilangnya Nyai Kembang. Sebelum Aditya sadar, lelaki itu telah menghilang dari pandangan.

Harta dan status sosial  yang dimiliki Nyai Kembang memang patut menimbulkan rasa iri kepada semua orang, termasuk kepada orang kepercayaannya bernama Mang Koplak. Lelaki ini adalah anak Bu Sum penjual tempe langganan Nyai Kembang. Mang Koplak telah menjadi yatim piatu sejak berusia belia. Nyai Kembang membesarkan Mang Koplak dengan penuh kasih sayang dan dianggap keluarga sendiri. Saking dipercaya oleh Nyai Kembang, Mang Koplak diserahi tugas mengurus sawah dan kebun yang berada di luar daerah. Pergaulan dengan preman dan dukun palsu yang ditemuinya di warung minum menyebabkan sifat Mang Koplak mulai berubah. Dia mulai kecanduan judi dan menggelapkan uang hasil panen sawah dan kebun. Puncak pemberontakan Mang Koplak terjadi saat Aditya melanjutkan studi ke luar negeri.

Setelah Nyai Kembang di rantai dalam Pondok Batu, Mang Koplak menikahkan Sinta secara paksa dengan seorang pemabuk dan mucikari. Lelaki berperilaku jahat itu adalah teman Mang Koplak di tempat sabung ayam. Pernikahan itu tidak bahagia karena Sinta mengalami kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT. Rasa sabar Sinta akibat kejahatan Mang Koplak sudah melampaui puncak. Suatu malam dia menghantam kepala suaminya dengan botol bir karena lelaki itu memaksa istrinya melayani lelaki hidung belang dengan iming-iming sejumlah rupiah. Lelaki kualat itu meregang nyawa di hadapan Sinta. Di dalam kegelapan malam, Sinta melarikan diri dan hidup terlunta-lunta di kota besar. Akhirnya Sinta bertemu dengan Ardi, seorang jurnalis yang bekerja di sebuah media online. Kebaikan hati Ardi menolong Sinta sehingga perempuan itu dapat tinggal di rumah mungil yang dihuni oleh Ardi dan ibunya. Sebagai balas budi, Sinta merawat ibu Ardi dengan penuh kasih sayang.

Rasa rindu pada kakaknya membuat Sinta memohon bantuan Ardi mencari tahu keberadaan Aditya karena semua surat kiriman kakaknya kepada Nyai Kembang tidak pernah tiba kepada sang pemilik. Di hadapan mata Sinta, Mang Koplak merobek surat Aditya dan tidak menyampaikannya kepada Nyai Kembang. Dia memanipulir dan menyuruh orang membalas surat itu dengan berbagai kabar palsu, hingga tibalah hari apes dimana perbuatan keji Mang Koplak terungkap ke permukaan. Sabotase yang dilakukan Mang Koplak terhadap kehidupan Nyai Kembang sungguh sistematis. Nyai Kembang adalah perempuan bisu dan tuli sehingga mudah sekali di eksekusi. Setelah pernikahan Sinta, dia segera mengganti semua asisten rumah tangga dengan orang kepercayaannya. Dia juga mempekerjakan beberapa orang centeng untuk menjaga Pondok Batu tempat Nyai Kembang disekap.  Lelaki serakah ini juga segera melakukan klaim ilegal atas sawah, kebun, penggilingan padi dan beberapa los di pasar yang menjadi aset Nyai Kembang. Dia juga menyebarkan hoax di kampung bahwa Nyai Kembang menderita penyakit aneh sebagai akibat pesugihan yang dilakukannya. Penyakit itu menyebabkan Nyai Kembang harus diasingkan di Pondok Batu yang berada di tepi hutan. Perlahan tapi pasti nama Nyai Kembang tenggelam dalam fitnah dan Mang Koplak berjaya sebagai Tuan Besar. Namun tahtanya terguncang hebat karena kedatangan Aditya hari ini. Dia sungguh kuatir, putra kesayangan Nyai Kembang akan mengirimnya ke dalam bui saat menahu apa yang telah dilakukannya selama ini.

Kedua putri kembar Aditya mempunyai jiwa petualangan. Selama liburan itu, mereka selalu mengeksplorasi daerah baru bersama Cello. Suatu hari, rasa penasaran membawa Lenka dan Pleva menyusuri jalan setapak yang ternyata mengarah ke Pondok Batu. Cello yang merasa bosan akhirnya lepas dari gendongan Pleva. Dia berlari menuju ke Pondok Batu dan masuk dari celah sebuah pintu rusak. Mereka melihat ada dua orang lelaki tegap yang menjaga pintu. Sayup-sayup terdengar suara erangan horor dan dengkuran dari dalam Pondok Batu. Gadis kembar itu masuk mengendap-endap dari jendela untuk mencari Cello. Ternyata kucing itu telah mendengkur manja di pangkuan seorang perempuan tua yang duduk di lantai. Perempuan itu mengerang dengan suara serak. Kaki dan tangannya terikat rantai besi. Di sekelilingnya terdapat banyak sampah dan piring kosong bekas makanan. Ruang itu minim cahaya dan berbau sangat busuk. Pleva segera mengambil Cello dari tangan perempuan tua yang terlihat menyeramkan. Lenka menyusul langkah kakaknya melarikan diri. Untungnya kehadiran mereka tidak diketahui oleh dua centeng tersebut.

Malamnya Pleva dan Lenka bercerita kepada Aditya tentang perempuan tua yang terikat rantai besi di dalam pondok batu. Aditya merasa sangat geram dan menduga bahwa perempuan itu adalah ibunya yang telah disiksa oleh Mang Koplak. Pagi hari berikutnya, Aditya menghubungi pak RT dan menceritakan pengalaman putrinya tentang perempuan tua yang terantai di dalam Pondok Batu. Berkat kesigapan Hansip, Pak RT dan warga kampung, Nyai Kembang berhasil diselamatkan. Dua orang centeng bertubuh sebesar kerbau berhasil dilumpuhkan. Aditya dan semua warga melihat secara nyata kekejaman Mang Koplak  terhadap ibunda Aditya dan Sinta.

Setelah itu rombongan menuju ke rumah Nyai Kembang yang dihuni Mang Koplak alias Tuan Besar. Mereka berteriak dari halaman rumah dengan Aditya berdiri paling depan. Vivienne dan si kembar segera bergabung dengan rombongan orang-orang itu.

"Mang Koplak, keluar kamu," teriak Aditya dan orang-orang memanggil nama Mang Koplak, namun tidak ada jawaban. Di dalam kamar, Mamake sibuk mengepak perhiasan emas dan berlian milik Nyai Kembang. Namun beberapa orang Hansip dan warga yang menerobos masuk ke dalam rumah segera menangkap Mamake dan membawanya ke pekarangan. Mang Koplak ditangkap oleh Aditya saat berusaha kabur melalui pintu kecil dekat kolam ikan koi. Mang Koplak meludah. Matanya memerah, memandang sangat marah kepada Aditya dan orang di hadapannya. Semua centeng dan pembantu di rumah diangkut menuju pos polisi untuk mepertanggung jawabkan perbuatannya.

Beberapa hari berlalu. Di suatu pagi nan sejuk, Nyai Kembang sedang duduk santai di beranda bersama Aditya dan Vivienne. Seorang perempuan muda bertubuh kurus masuk ke pekarangan diikuti seorang lelaki menenteng ransel. Dia memekik memanggil Nyai Kembang.

"Ibu...." Perempuan itu berlari ke dalam pelukan Nyai Kembang. Perempuan tua yang berada di atas kursi roda itu menangis pedih. Dia segera memeluk perempuan kurus itu erat-erat.

"Maafkan aku tidak dapat menyelamatkanmu Ibu," penuh rasa sayang Sinta mencium kening Nyai Kembang. Mata tua Nyai Kembang berkaca-kaca menatap putri tunggalnya.

"Akulah yang mengirim email itu kepadamu Kak," Sinta menyeka air matanya dan mencium tangan Aditya.

"Maksudmu?" Aditya tampak tidak mengerti.

"Iya... empusmcc itu adalah nama akunku yang kugunakan untuk mengirim email padamu."

"Mengapa kamu merahasiakan identitasmu dan mengirimkan email yang aneh isinya?"

"Situasinya sangat berbahaya Kak. Aku dan Ibu telah menjadi korban kebiadaban Mang Koplak. Oh iya, perkenalkan ini Ardi, jurnalis yang telah berjasa menolongku dari kehidupan di jalanan."

Ardi memberi salam kepada Nyai Kembang, menjabat tangan Aditya dan Vivienne.

"Sungguh biadab ulah Mang Koplak," Aditya menggeram sangat marah melihat perlakuan Mang Koplak terhadap ibu dan adik kesayangannya.

"Sekarang bagaimana kondisi rumah ini Kak? Sudah amankah dari Mang Koplak dan sekutunya?" Sinta bertanya cemas.

"Aku mengirim ke kantor polisi semua centeng dan orang-orang Mang Koplak yang bekerja di sini. Kini orang-orang  kita yang lama sudah kembali ke tempatnya bekerja seperti semula. Iya kan Bu?" Aditya mengelus mesra tangan Nyai Kembang.

"Alhamdulillah, aku bersyukur mendengarnya. Selamat datang kembali ke rumah Kak Aditya dan...," Sinta menunjuk ke perempuan bule di samping kakaknya.

"Ini istriku, Vivienne dan itu ole-ole bernyawa, dua bocil dari negeri kincir angin" Aditya memanggil Lenka dan Pleva yang berkejaran di halaman. Bocah berumur dua belas tahun itu berlari mendekati Aditya diikuti oleh Cello.

"She is your aunty (dia adalah tantemu)," Aditya memperkenalkan Sinta pada si kembar. Lenka dan Pleva menyalami Sinta.

"Well, Ibu... tampaknya kita perlu menyiapkan makan siang istimewa hari ini menyambut kedatangan Sinta dan Ardi."

Nyai Kembang mengangguk sambil tersenyum lebar. Aditya segera memanggil Siti dan Mbok Sumi untuk menyiapkan hidangan.

"Mbok Sumi akan masak lodeh daun so kesukaanmu dan Vivienne akan membuat olemette yang enak untukmu," Aditya merangkul bahu istrinya.

"Wow... tampaknya hari ini akan sangat menyenangkan, Kak..." Sinta tertawa gembira memeluk Aditya.

"Welcome home Sinta (selamat datang ke rumah kita, Sinta)," mereka saling berpelukan dan merayakan kebebasan dari belenggu kejahatan Mang Koplak (srn).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun