"Saya menginap di rumah Nyai Kembang."
Jawaban itu membuat pemilik warung kopi sangat terkejut dan gelas yang dipegangnya terjatuh dari genggaman. Gelas itu pecah berkeping-keping di lantai, menghamburkan cairan kopi susu kemana-mana.
"Ada apa Pak?"
"Kamu cepat pergi dari warungku, ayo keluar..." penuh ketakutan lelaki bernama Sabdo menarik Aditya keluar dari warung kopi. Dia mendorong Aditya ke jalan. Lelaki itu sangat terkejut dan kesal. Dia berjalan gontai menelusuri jalan setapak dengan pikiran kacau. Di sudut jalan tiba-tiba dia bertemu seorang lelaki tua.
"Kamu Aditya kan?"
"Bapak mengenal saya?" Aditya bertanya bingung. Lelaki misterius memakai caping ala petani itu menganggukkan kepalanya. Dia membawa Aditya menuju ke sebuah saung yang berada di tengah hamparan sawah. Semilir angin sejuk menerpa wajah Aditya dan tanpa diminta lelaki aneh itu menceritakan kronologis hilangnya Nyai Kembang. Sebelum Aditya sadar, lelaki itu telah menghilang dari pandangan.
Harta dan status sosial  yang dimiliki Nyai Kembang memang patut menimbulkan rasa iri kepada semua orang, termasuk kepada orang kepercayaannya bernama Mang Koplak. Lelaki ini adalah anak Bu Sum penjual tempe langganan Nyai Kembang. Mang Koplak telah menjadi yatim piatu sejak berusia belia. Nyai Kembang membesarkan Mang Koplak dengan penuh kasih sayang dan dianggap keluarga sendiri. Saking dipercaya oleh Nyai Kembang, Mang Koplak diserahi tugas mengurus sawah dan kebun yang berada di luar daerah. Pergaulan dengan preman dan dukun palsu yang ditemuinya di warung minum menyebabkan sifat Mang Koplak mulai berubah. Dia mulai kecanduan judi dan menggelapkan uang hasil panen sawah dan kebun. Puncak pemberontakan Mang Koplak terjadi saat Aditya melanjutkan studi ke luar negeri.
Setelah Nyai Kembang di rantai dalam Pondok Batu, Mang Koplak menikahkan Sinta secara paksa dengan seorang pemabuk dan mucikari. Lelaki berperilaku jahat itu adalah teman Mang Koplak di tempat sabung ayam. Pernikahan itu tidak bahagia karena Sinta mengalami kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT. Rasa sabar Sinta akibat kejahatan Mang Koplak sudah melampaui puncak. Suatu malam dia menghantam kepala suaminya dengan botol bir karena lelaki itu memaksa istrinya melayani lelaki hidung belang dengan iming-iming sejumlah rupiah. Lelaki kualat itu meregang nyawa di hadapan Sinta. Di dalam kegelapan malam, Sinta melarikan diri dan hidup terlunta-lunta di kota besar. Akhirnya Sinta bertemu dengan Ardi, seorang jurnalis yang bekerja di sebuah media online. Kebaikan hati Ardi menolong Sinta sehingga perempuan itu dapat tinggal di rumah mungil yang dihuni oleh Ardi dan ibunya. Sebagai balas budi, Sinta merawat ibu Ardi dengan penuh kasih sayang.
Rasa rindu pada kakaknya membuat Sinta memohon bantuan Ardi mencari tahu keberadaan Aditya karena semua surat kiriman kakaknya kepada Nyai Kembang tidak pernah tiba kepada sang pemilik. Di hadapan mata Sinta, Mang Koplak merobek surat Aditya dan tidak menyampaikannya kepada Nyai Kembang. Dia memanipulir dan menyuruh orang membalas surat itu dengan berbagai kabar palsu, hingga tibalah hari apes dimana perbuatan keji Mang Koplak terungkap ke permukaan. Sabotase yang dilakukan Mang Koplak terhadap kehidupan Nyai Kembang sungguh sistematis. Nyai Kembang adalah perempuan bisu dan tuli sehingga mudah sekali di eksekusi. Setelah pernikahan Sinta, dia segera mengganti semua asisten rumah tangga dengan orang kepercayaannya. Dia juga mempekerjakan beberapa orang centeng untuk menjaga Pondok Batu tempat Nyai Kembang disekap. Â Lelaki serakah ini juga segera melakukan klaim ilegal atas sawah, kebun, penggilingan padi dan beberapa los di pasar yang menjadi aset Nyai Kembang. Dia juga menyebarkan hoax di kampung bahwa Nyai Kembang menderita penyakit aneh sebagai akibat pesugihan yang dilakukannya. Penyakit itu menyebabkan Nyai Kembang harus diasingkan di Pondok Batu yang berada di tepi hutan. Perlahan tapi pasti nama Nyai Kembang tenggelam dalam fitnah dan Mang Koplak berjaya sebagai Tuan Besar. Namun tahtanya terguncang hebat karena kedatangan Aditya hari ini. Dia sungguh kuatir, putra kesayangan Nyai Kembang akan mengirimnya ke dalam bui saat menahu apa yang telah dilakukannya selama ini.
Kedua putri kembar Aditya mempunyai jiwa petualangan. Selama liburan itu, mereka selalu mengeksplorasi daerah baru bersama Cello. Suatu hari, rasa penasaran membawa Lenka dan Pleva menyusuri jalan setapak yang ternyata mengarah ke Pondok Batu. Cello yang merasa bosan akhirnya lepas dari gendongan Pleva. Dia berlari menuju ke Pondok Batu dan masuk dari celah sebuah pintu rusak. Mereka melihat ada dua orang lelaki tegap yang menjaga pintu. Sayup-sayup terdengar suara erangan horor dan dengkuran dari dalam Pondok Batu. Gadis kembar itu masuk mengendap-endap dari jendela untuk mencari Cello. Ternyata kucing itu telah mendengkur manja di pangkuan seorang perempuan tua yang duduk di lantai. Perempuan itu mengerang dengan suara serak. Kaki dan tangannya terikat rantai besi. Di sekelilingnya terdapat banyak sampah dan piring kosong bekas makanan. Ruang itu minim cahaya dan berbau sangat busuk. Pleva segera mengambil Cello dari tangan perempuan tua yang terlihat menyeramkan. Lenka menyusul langkah kakaknya melarikan diri. Untungnya kehadiran mereka tidak diketahui oleh dua centeng tersebut.
Malamnya Pleva dan Lenka bercerita kepada Aditya tentang perempuan tua yang terikat rantai besi di dalam pondok batu. Aditya merasa sangat geram dan menduga bahwa perempuan itu adalah ibunya yang telah disiksa oleh Mang Koplak. Pagi hari berikutnya, Aditya menghubungi pak RT dan menceritakan pengalaman putrinya tentang perempuan tua yang terantai di dalam Pondok Batu. Berkat kesigapan Hansip, Pak RT dan warga kampung, Nyai Kembang berhasil diselamatkan. Dua orang centeng bertubuh sebesar kerbau berhasil dilumpuhkan. Aditya dan semua warga melihat secara nyata kekejaman Mang Koplak  terhadap ibunda Aditya dan Sinta.