Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist. I believe my fingers...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Batu Pergaulan

21 April 2023   13:12 Diperbarui: 21 April 2023   13:17 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sri NurAminah (Amsterdam The Netherlands, Juni 2015)

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi pikiran, budi pekerti dan berbagai organ yang sangat bermanfaat untuk beraktivitas. Tanpa kita sadari, ternyata terdapat beberapa bagian tubuh yang berpotensi mengeluarkan bau tak sedap, contohnya pada mulut, kaki, ketek, lipatan paha dan lain-lain. Bukan hanya mengurangi rasa percaya diri,  aroma  tak sedap berasal dari seseorang juga mengganggu interaksi dengan orang lain. 

Galina adalah seorang gadis lincah berkulit warna sawo matang, berambut kemerahan terbakar sinar matahari dengan potongan model bob. Galina adalah anak semata wayangnya pak Adrik yang mengajar matematika di sebuah sekolah menengah tidak terkenal. Pagi itu suasana hiruk pikuk di dalam ruang ganti baju murid perempuan. Murid di kelasku barusan selesai berolah raga. Keringat mengucur deras dari berbagai wajah  yang memerah terkena sinar matahari menjelang siang.

"Eh...bau apa ini?"

Miso mengenduskan hidungnya ke segala arah. Wajahnya terlihat menyeringai  jijik.

"Apaan sih," aku mendorong wajah Miso yang mengendus ketekku.

"Aku sedang mencari sumber bau asem ini, May. Gila, baunya nyengat amat, kek bawang putih basi..."

Aku mencubit bibir Miso yang mengaduh kesakitan.

"Awas ya kalau kamu bikin kabar hoaks lagi."

"Sumpah May, nih bau bikin mual. Rasa-rasanya semua isi perutku mau..."

"Sana...sana..." aku kembali mendorong wajah Miso dan segera melipat baju olah ragaku yang basah terkena keringat. Keluar dari ruang ganti aku berpapasan dengan Galina. Saat dia melintas di hadapanku, tiba-tiba aku mencium sesuatu yang baunya tidak dapat kujabarkan. dari kejauhan, kulihat Miso menutup hidungnya sambil menunjuk ke Galina. Aku tidak mengerti dengan isyarat yang diberikan oleh Miso.

Bel pulang sekolah berbunyi. Seluruh murid sekolah menghambur keluar dari kelasnya masing-masing. Sekilas para murid bagaikan gerombolan ikan yang terlepas dari pintu bendungan, berserakan kemana-mana.

"Akhirnya aku bebas juga. Alangkah nikmatnya bernafas di udara segar." Miso menghela nafas lega.

"Memangnya kamu kenapa?" aku bertanya dengan bingung pada Miso, sahabatku.

"Kamu tidak sadar apa, duduk di belakang Galina adalah neraka."

"Maksudmu?"

"Ya ampun May. Apakah hidungmu tidak dapat mencium baunya si Galina?Jangan-jangan kamu sudah ketularan Omicron ya."

"Wooi...jangan menebar fitnah kamu ya..."

"Sumpah, aku tidak bohong. Bau keteknya Galina membuat aku mual sepanjang hari. Makanya aku terus mengoles minyak telon ke hidungku untuk menetralisir bau itu."

"Astaga...aku kok tidak menciumnya ya."

"Gini ya May cantik, coba deh hidung kamu itu sekali-kali dilatih peka dengan lingkungan sekelilingmu."

Esok harinya pelajaran Kesenian. Bu Ayu sebagai penanggung jawab mata pelajaran Kesenian meminta muridnya maju satu persatu menyanyi di depan kelas untuk diambil nilainya. Saat itu matahari telah berjalan jauh dari peraduannya. Seisi kelas mengeluh, keringat bercucuran deras karena panasnya udara.

Para murid di kelasku telah gelisah menahan lapar dan haus menunggu bel waktu istirahat berbunyi. Saat itu Galina mendapat giliran unjuk kebolehan di depan kelas.  Dia asyik menyanyikan sebuah lagu nasional dan  terlihat sangat bersemangat. Lengan kanannya diangkat tinggi-tinggi sambil mengepalkan jarinya, menunjukkan semangat membara sesuai dengan syair lagu yang dinyanyikannya. Bu Ayu yang duduk di samping Galina tiba-tiba mengeluarkan suara bersin sangat keras sehingga kaca matanya terlempar ke atas meja. Perempuan nan ayu itu segera mengelap hidung dan matanya yang terlihat merah berair. Guru mata pelajaran Kesenian itu menatap nanar pada Galina yang telah menyelesaikan lagunya. Wajah Bu Ayu pucat pasi bersamaan dengan berbunyinya bel tanda istirahat. Sambil tersenyum manis, Galina segera kembali ke tempat duduknya, Nida sang Ketua Kelas segera mengistirahatkan kelas. Saat sebagian besar murid bergegas keluar, Ketua Kelas segera mengambil absen yang telah ditanda tangani oleh guru yang bertugas.

"Nak, boleh Ibu minta tolong diambilkan segelas air minum?"

"Oh iya Bu..." Nida segera berlalu dan kembali dengan segelas air minum kemasan di tangannya.

"Ibu sehat?" Nida bertanya, terlihat kuatir dengan keadaan Bu Ayu.

"Ibu tidak apa-apa, hanya sedikit mual saja."

"Mual kenapa Bu?"

"Tadi Ibu mencium bau busuk, mungkin ada tikus mati di kelas ini."

Wajah Nida memucat.

"Tikus mati? Kalaulah ada bangkai tikus di dalam kelas, pastilah kami semua menciumnya. Saya antar ke ruang guru ya Bu?"

"Tidak usah Nak, kamu pergilah beristirahat dengan teman-temanmu," terdengar lemas suara Bu Ayu.

Ternyata bau misterius yang tercium oleh Bu Ayu memang nyata adanya. Kehadiran partikel nano asing memenuhi udara mulai terasa seiring dengan panasnya mentari. Kelas yang kutempati belajar hanya mengandalkan dua buah jendela kaca, tidak pernah sekalipun tersentuh oleh angin yang bertiup.

"May, boleh kupinjam pulpenmu?" Galina yang duduk di hadapanku tiba-tiba membalikkan badannya dan mengambil pulpen yang sedang kupakai menulis.

"Hei...aku kan masih pa...." kalimatku terputus. Konsentrasiku buyar karena tiba-tiba tercium bau sangat menyengat. Aku segera mengambil saputangan. Rasanya semua isi perutku mau keluar. Kulupakan pulpenku yang diambil oleh Galina

Aku segera berbisik pada Miso.

"Tidakkah kamu...?"

Miso berbalik dan meringis. Dia menutup hidungnya dengan sapu tangan tebal. Disemprotkannya body spray ke udara berkali-kali, berharap bau harum ini dapat menghalau hawa genderuwo yang tiba-tiba menyerang penciuman kami.

"Kamu tidak pernah percaya dengan kata-kataku. Sekarang rasakan sendiri sensasinya," Miso memperbaiki kacamatanya dan melanjutkan menulis. Kupandangi punggung Galina yang telah mengambil pulpenku. Konsentrasi belajarku musnah sudah. Aku duduk terkulai lemas, mencoba menganalisis jenis bebauan apa yang barusan tercium di depan hidungku.

Mata pelajaran terakhir sebelum pulang adalah biologi yang kebetulan membahas tentang mekanisme tubuh manusia. Matahari jam 12.30 siang terasa sangat menyengat di luar sana. Pantulan kaca jendela semakin memperparah keadaan. Konsentrasi penuh sangat dibutuhkan disela rasa mengantuk dan lapar yang menyuarakan nada sumbang dari arah kampung tengah. Miso sudah terkapar karena angin membawa bau menyengat dari arah bangku Galina. Bau busuk menyengat tidak memberikan pengaruh kepada Bu Naya. Begitu lancarnya guru biologi itu menjelaskan tentang aktivitas tubuh manusia yang menghasilkan keringat serta potensi bau yang dikeluarkannya serasa menghilangkan kantukku.

"...selain dipengaruhi oleh jenis makanan tertentu, pada dasarnya keringat yang bercampur dengan kuman akan menyebabkan bau tidak sedap pada bagian tubuh tertentu, utamanya di ketek. Bau tidak sedap ini dapat mengganggu aktivitas berinteraksi dengan orang lain."

"Bu Guru, bagaimana caranya menghilangkan bau ketek yang tidak sedap?"

"Apakah obat anti bau ketek dijual bebas?"

"Berapa lama tahannya kalau kita menggunakan obat anti bau ketek?"

Pertanyaan beruntun datang dari segala arah dan setiap pasang mata melirik diam-diam ke  arah Galina. Aku menatap Galina yang seakan tidak peduli dengan keadaan. Dia sibuk mengipas tubuhnya sehingga bau keteknya sukses menerpa wajah kami yang duduk di belakangnya. Miso sudah teler berat. Dia menelungkupkan wajahnya di atas meja.

"Bau ketek dapat dihilangkan dengan menggunakan deodoran komersil yang dijual bebas. Jika ingin menggunakan resep tradisional leluhur, kalian dapat memakai batu pergaulan. Selain menggunakan deodoran, antisipasi lainnya dalam menghilangkan bau ketek adalah  penerapan pola hidup bersih, mengurangi konsumsi jenis makanan yang berpotensi menghasilkan bau badan, mengganti pakaian jika berkeringat dan membersihkan secara rutin daerah yang berbau...dan..."

"Batu pergaulan yang bagaimana tuh Bu?"

Bu Naya tersenyum lebar, dia berkeliling memandang seisi kelas yang tampaknya amat tertarik mendengar istilah baru itu.

"Batu pergaulan warnanya putih, sejak lama digunakan oleh nenek moyang kita untuk menghilangkan bau badan. Batu pergaulan banyak dijual di pasar."

"Namanya apa kalau ditanyakan ke penjual di pasar?"

"Namanya batu tawas, biasa digunakan untuk penjernih air. Batu itu digosokkan ke ketek setelah mandi..."

Kalimat Bu Naya terpotong karena terdengar bel pulang berbunyi disambut dengan pekik gembira seluruh kelas.

            Pagi nan indah kembali menyapa sekolah kami. Namun rusaknya kedamaian kelas telah menanti karena kehadiran Galina.

"Bau keteknya Galina semakin menggila. Hal ini tidak dapat dibiarkan May," bisik Miso saat kami bersarap pisang goreng di kantin.

"Bagaimana cara menyampaikannya? Galina anaknya super sensitif loh,"

"Nanti aku yang bilang ke dia."

"Serius?"

"Iya..."

"Kalau dia marah atau keberatan, gimana dong?"

"Yaelah May, Namanya kita berikhtiar membawa kebaikan kepada teman. Kamu tenang saja, aku yang mengeksekusi masalah bau ketek si Galina."

"Awas ya kalau tidak, kamu sudah janji padaku."

Miso mengacungkan jempolnya tanda deal.

Keesokan harinya setelah istirahat, tibalah jadwal pak Adrik mengajar di kelasku. Guru berpostur tinggi besar dengan kumis melintang adalah bapaknya Galina. Pak Adrik sangat disegani karena temperamennya galak. Kalau dia kesal pada seorang murid, solusinya sangat gampang. Beliau menuliskan satu soal matematika yang begitu rumit dan meminta murid tersebut menyelesaikannya. Tidak ada satupun murid dapat menyelesaikan soal antah berantah itu dan berakhir dengan hukuman jari dijepit dengan pensil.

Suasana kelas riuh rendah setelah mengisi perut di kantin sekolah. Pak Adrik berjalan masuk ke dalam kelas. Sontak seisi kelas hening seolah tak berpenghuni. Setelah menaruh bukunya di atas meja, Pak Adrik membagi papan tulis menjadi empat bagian dan menuliskan masing-masing satu soal di papan tersebut. Selanjutnya pak Adrik berkeliling dan menaruh potongan kapur di hadapan murid yang dikehendakinya untuk menjawab soal tersebut. Aku melirik sahabatku Miso. Wajahnya menjadi pucat pasi tatkala potongan kapur Pak Adrik mendarat di hadapannya.

"Ya Allah...mati aku, May...""

"Kamu pasti mampu menyelesaikan soal itu. Cemungut bestie."

Miso maju ke papan tulis, sendirian.

Soal yang ditulis oleh Pak Adrik seakan lubang tanpa dasar, terasa sangat sulit untuk dikerjakan. Miso gemetar hebat, keringat dingin membanjir di bahu dan punggungnya. Rasanya bumi ciptaan Tuhan runtuh total di atas kepalanya. Tangan Miso bergetar memegang kapur. Murid perempuan bertubuh ceking dan berkacamata tebal ini memandang wajah Pak Adrik yang dibalas dengan pelototan seram. Dilihatnya wajah Galina yang tersenyum puas dari bangkunya.

"Kenapa kamu bengong, cepat kerjakan soal itu," suara Pak Adrik gemlegar sempurna memecah keheningan kelas. Semua murid menundukkan kepalanya dalam-dalam, seakan ingin menciutkan badannya dari pandangan seram Pak Adrik.

"Aduh anak ini, kamu belajar ndak tadi malam? Apa yang ada di dalam kepalamu? Mana tangannya..." suara Pak Adrik menyentak jantung. Miso menangis ketakutan, serasa melihat Buto Ijo siap menerkamnya bulat-bulat. Dengan kasar Pak Adrik menarik jari Miso. Guru galak itu memasukkan sebatang pensil ke  bagian antara jari telunjuk dan jari tengah selanjutnya menjepitnya dengan keras. Miso menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sakitnya gemretak tulang beradu dengan batang pensil yang keras.

"Ini hadiah untuk mulut lancang yang berani menyinggung bau ketek orang lain. Memang apa salahnya Galina kepadamu?"

Miso memandang ketakutan ke wajah Pak Adrik. Dia menggelengkan kepalanya.

"Lain kali tidak usah sok sibuk mencampuri urusan orang lain. Mengerjakan soal matematika saja belum becus. Awas ya kalau kamu berani lagi menyinggung bau ketek dan apapun yang terkait dengan Galina. Mengerti?"

Kalimat ini merupakan proklamasi dari sang diktator bahwa tidak seorangpun diijinkan memberikan komentar tentang bau ketek Galina yang menyebabkan terjadinya polusi udara dalam kelas. Para milenial belia, lelaki dan perempuan berumur lima belasan tahun shock berat melihat azab yang menimpa Miso. Pak Adrik menjepit jari Miso sesuka hatinya sehingga anak itu kembali ke bangkunya dalam keadaan trauma berat dan jari bengkak. Galina menghela nafas panjang, sangat puas menyaksikan adegan eksekusi yang menyeramkan itu.

Saat istirahat, aku dan Nida membawa Miso ke ruang Unit Gawat Darurat untuk dikompres jarinya yang bengkak.

"Memangnya apa yang kamu lakukan pada Galina?" Nida mengompres jari Miso dengan air panas untuk menurunkan bengkaknya.  Miso masih menangis, tidak kuat rasanya menanggung sakit bertubi-tubi dipermalukan di depan kelas.

"Kemarin pulang sekolah aku samperin Galina. Aku bilang dia harus pakai batu pergaulan supaya bau keteknya tidak meracuni kita di kelas." Miso menjawab terisak dengan suara cadelnya. 

"Astaga Miso, kamu bilang seperti itu, gimana reaksi Galina?" aku menutup mulutku, tidak percaya dengan aksi nekad Miso.

"Galina hanya diam dan meninggalkan aku sendirian. Aku kira masalahnya selesai. Ternyata Galina mengadukan hal ini kepada bapaknya. Ya Tuhan, ternyata akibatnya seperti ini."

Nyaliku ciut memandang jari Miso yang bengkak akibat dijepit dengan pensil hanya karena meminta Galina memakai batu pergaulan.

"Miso tidak salah, dia hanya mengingatkan Galina supaya hidup bersih. Ketek bau pertanda orangnya jorok dan mengganggu pernafasan di sekitarnya," aku membela Miso dan disambung dengan tangisan panjang.

"Memangnya Galina bertinggal dengan siapa? Kok ibunya tidak mengingatkan dia supaya merawat kebersihan?"  aku penasaran dengan kondisi keluarga Galina.

"Ibunya Galina sudah lama meninggal dan bapaknya tetap menduda sampai saat ini." Nida menjawab pertanyaanku sambil mengompres jari Miso yang masih bengkak.

"Bapaknya tidak punya waktu mengurus Galina. Kamu tahu kan gimana bedanya kalau Ibu yang mengurus rumah tangga dibandingkan dengan seorang Bapak?"

Aku merenungi kalimat yang diucapkan Nida. Galina memang terlihat kumal dan tidak terawat. Bajunya selalu berantakan jika masuk kelas dan ada spot kuning di ketiaknya. Sifatnya keras kepala dan suka mengadu kepada Bapaknya menjadi penghalang komunikasi kami jika terjadi kesalahpahaman.

"Biarlah aku yang mewakili kelas kita untuk meminta maaf kepada pak Adrik." Nida memberikan satu solusi.

"Kenapa kita harus minta maaf? Justru si Galina yang harus berubah. Bau keteknya menyusahkan kita menyerap pelajaran." Miso memprotes usulan Nida.

"Maksudku kita bicara baik-baik kepada Pak Adrik tentang situasi yang menimpa Galina. Semoga beliau mau mengerti."

"Kalau Pak Adrik keberatan dan kamu diamuknya? Nanti kamu jadi korban seperti aku...huhuhu," tangis Miso pecah kembali.

"Aku coba saja, God bless me. Hayu kita kembali ke kelas."

Aku dan Nida membimbing Miso masuk kembali ke dalam kelas.

Pak Adrik menggelengkan kepala mendengar penjelasan Nida.

"Kenapa sih kalian begitu cerewet mempermasalahkan bau keteknya Galina?"

"Mohon maaf Pak Guru, kami semua merasa terganggu dengan bau itu. Saya merasa belum terlambat untuk Galina berubah menjadi lebih baik.

"Beraninya kamu mendoktrin caraku mendidik Galina."

"Saya tidak pernah mendoktrin apapun tindakan Bapak. Saya hanya mengingatkan bahwa kita hidup dalam komunitas dan bau ketek itu dapat dihilangkan dengan disiplin menjaga kebersihan. Sebenarnya bukan hanya saya yang terganggu dengan (maaf) bau keteknya Galina, tetapi kami sekelas sudah amat sangat toleransi. Terserah Bapak jika tetap menyangka kami menyebarkan fitnah tentang Galina. Saya permisi dulu Pak."

Setelah Nida bertemu dengan pak Adrik, tiba-tiba Galina menghilang secara misterius. Bangkunya selalu kosong selama beberapa hari. Aku menjadi penasaran, apa gerangan yang membuat Galina sampai tidak masuk sekolah. Hanya Miso yang tersenyum lega karena terbebas dari bau busuk yang selalu menyengat hidungnya. Pak Adrik juga menolak memberikan komentar jika ditanyai tentang Galina. Seminggu kemudian terdengar kabar bahwa Galina pindah sekolah ke kampung halaman almarhum ibunya. Tidak lama kemudian Pak Adrik menyusul karena permohonannya disetujui untuk dipindahtugaskan ke daerah lain tempat Galina melanjutkan sekolah. Saat itu aku, Nida dan Miso duduk bertiga di dalam kelas

"Duh, Galina. Susahnya menasihati orang yang tidak sadar dengan keadaan dirinya." aku memandang bangku Galina yang kosong melompong. Tidak ada seorangpun mau duduk di situ, takut tertular bau ketek Galina.

"Mungkin Galina malu hati karena sesekolahan sudah tahu siapa biang bau ketek yang bikin isi perut berontak mau keluar."

"Sayangnya Pak Adrik tidak mampu  bersikap tegas kepada Galina. Beliau tidak boleh menghukum anak lain untuk membela buah hatinya yang memang harus dibenahi kejorokannya." suara Nida terdengar pelan.

"Galina memang kepala batu. Tapi aku senang kelas kita sudah bebas bau ketek." Miso menghembuskan nafas lega.

"Kita doakan saja semoga Galina berjodoh dengan batu pergaulan untuk kebaikan masa depannya." Nita menepuk bahu Miso.

"Semoga Galina betah dan berbahagia di sekolahnya yang baru ya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun