"Astaga Miso, kamu bilang seperti itu, gimana reaksi Galina?" aku menutup mulutku, tidak percaya dengan aksi nekad Miso.
"Galina hanya diam dan meninggalkan aku sendirian. Aku kira masalahnya selesai. Ternyata Galina mengadukan hal ini kepada bapaknya. Ya Tuhan, ternyata akibatnya seperti ini."
Nyaliku ciut memandang jari Miso yang bengkak akibat dijepit dengan pensil hanya karena meminta Galina memakai batu pergaulan.
"Miso tidak salah, dia hanya mengingatkan Galina supaya hidup bersih. Ketek bau pertanda orangnya jorok dan mengganggu pernafasan di sekitarnya," aku membela Miso dan disambung dengan tangisan panjang.
"Memangnya Galina bertinggal dengan siapa? Kok ibunya tidak mengingatkan dia supaya merawat kebersihan?" Â aku penasaran dengan kondisi keluarga Galina.
"Ibunya Galina sudah lama meninggal dan bapaknya tetap menduda sampai saat ini." Nida menjawab pertanyaanku sambil mengompres jari Miso yang masih bengkak.
"Bapaknya tidak punya waktu mengurus Galina. Kamu tahu kan gimana bedanya kalau Ibu yang mengurus rumah tangga dibandingkan dengan seorang Bapak?"
Aku merenungi kalimat yang diucapkan Nida. Galina memang terlihat kumal dan tidak terawat. Bajunya selalu berantakan jika masuk kelas dan ada spot kuning di ketiaknya. Sifatnya keras kepala dan suka mengadu kepada Bapaknya menjadi penghalang komunikasi kami jika terjadi kesalahpahaman.
"Biarlah aku yang mewakili kelas kita untuk meminta maaf kepada pak Adrik." Nida memberikan satu solusi.
"Kenapa kita harus minta maaf? Justru si Galina yang harus berubah. Bau keteknya menyusahkan kita menyerap pelajaran." Miso memprotes usulan Nida.
"Maksudku kita bicara baik-baik kepada Pak Adrik tentang situasi yang menimpa Galina. Semoga beliau mau mengerti."