Miso maju ke papan tulis, sendirian.
Soal yang ditulis oleh Pak Adrik seakan lubang tanpa dasar, terasa sangat sulit untuk dikerjakan. Miso gemetar hebat, keringat dingin membanjir di bahu dan punggungnya. Rasanya bumi ciptaan Tuhan runtuh total di atas kepalanya. Tangan Miso bergetar memegang kapur. Murid perempuan bertubuh ceking dan berkacamata tebal ini memandang wajah Pak Adrik yang dibalas dengan pelototan seram. Dilihatnya wajah Galina yang tersenyum puas dari bangkunya.
"Kenapa kamu bengong, cepat kerjakan soal itu," suara Pak Adrik gemlegar sempurna memecah keheningan kelas. Semua murid menundukkan kepalanya dalam-dalam, seakan ingin menciutkan badannya dari pandangan seram Pak Adrik.
"Aduh anak ini, kamu belajar ndak tadi malam? Apa yang ada di dalam kepalamu? Mana tangannya..." suara Pak Adrik menyentak jantung. Miso menangis ketakutan, serasa melihat Buto Ijo siap menerkamnya bulat-bulat. Dengan kasar Pak Adrik menarik jari Miso. Guru galak itu memasukkan sebatang pensil ke  bagian antara jari telunjuk dan jari tengah selanjutnya menjepitnya dengan keras. Miso menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sakitnya gemretak tulang beradu dengan batang pensil yang keras.
"Ini hadiah untuk mulut lancang yang berani menyinggung bau ketek orang lain. Memang apa salahnya Galina kepadamu?"
Miso memandang ketakutan ke wajah Pak Adrik. Dia menggelengkan kepalanya.
"Lain kali tidak usah sok sibuk mencampuri urusan orang lain. Mengerjakan soal matematika saja belum becus. Awas ya kalau kamu berani lagi menyinggung bau ketek dan apapun yang terkait dengan Galina. Mengerti?"
Kalimat ini merupakan proklamasi dari sang diktator bahwa tidak seorangpun diijinkan memberikan komentar tentang bau ketek Galina yang menyebabkan terjadinya polusi udara dalam kelas. Para milenial belia, lelaki dan perempuan berumur lima belasan tahun shock berat melihat azab yang menimpa Miso. Pak Adrik menjepit jari Miso sesuka hatinya sehingga anak itu kembali ke bangkunya dalam keadaan trauma berat dan jari bengkak. Galina menghela nafas panjang, sangat puas menyaksikan adegan eksekusi yang menyeramkan itu.
Saat istirahat, aku dan Nida membawa Miso ke ruang Unit Gawat Darurat untuk dikompres jarinya yang bengkak.
"Memangnya apa yang kamu lakukan pada Galina?" Nida mengompres jari Miso dengan air panas untuk menurunkan bengkaknya. Â Miso masih menangis, tidak kuat rasanya menanggung sakit bertubi-tubi dipermalukan di depan kelas.
"Kemarin pulang sekolah aku samperin Galina. Aku bilang dia harus pakai batu pergaulan supaya bau keteknya tidak meracuni kita di kelas." Miso menjawab terisak dengan suara cadelnya.Â