"Kalau Pak Adrik keberatan dan kamu diamuknya? Nanti kamu jadi korban seperti aku...huhuhu," tangis Miso pecah kembali.
"Aku coba saja, God bless me. Hayu kita kembali ke kelas."
Aku dan Nida membimbing Miso masuk kembali ke dalam kelas.
Pak Adrik menggelengkan kepala mendengar penjelasan Nida.
"Kenapa sih kalian begitu cerewet mempermasalahkan bau keteknya Galina?"
"Mohon maaf Pak Guru, kami semua merasa terganggu dengan bau itu. Saya merasa belum terlambat untuk Galina berubah menjadi lebih baik.
"Beraninya kamu mendoktrin caraku mendidik Galina."
"Saya tidak pernah mendoktrin apapun tindakan Bapak. Saya hanya mengingatkan bahwa kita hidup dalam komunitas dan bau ketek itu dapat dihilangkan dengan disiplin menjaga kebersihan. Sebenarnya bukan hanya saya yang terganggu dengan (maaf) bau keteknya Galina, tetapi kami sekelas sudah amat sangat toleransi. Terserah Bapak jika tetap menyangka kami menyebarkan fitnah tentang Galina. Saya permisi dulu Pak."
Setelah Nida bertemu dengan pak Adrik, tiba-tiba Galina menghilang secara misterius. Bangkunya selalu kosong selama beberapa hari. Aku menjadi penasaran, apa gerangan yang membuat Galina sampai tidak masuk sekolah. Hanya Miso yang tersenyum lega karena terbebas dari bau busuk yang selalu menyengat hidungnya. Pak Adrik juga menolak memberikan komentar jika ditanyai tentang Galina. Seminggu kemudian terdengar kabar bahwa Galina pindah sekolah ke kampung halaman almarhum ibunya. Tidak lama kemudian Pak Adrik menyusul karena permohonannya disetujui untuk dipindahtugaskan ke daerah lain tempat Galina melanjutkan sekolah. Saat itu aku, Nida dan Miso duduk bertiga di dalam kelas
"Duh, Galina. Susahnya menasihati orang yang tidak sadar dengan keadaan dirinya." aku memandang bangku Galina yang kosong melompong. Tidak ada seorangpun mau duduk di situ, takut tertular bau ketek Galina.
"Mungkin Galina malu hati karena sesekolahan sudah tahu siapa biang bau ketek yang bikin isi perut berontak mau keluar."