Dua-tiga orang membenarkan perkataan bu Marintan.
"Dengarkan baik-baik, agar kalian tak salah ngomong dan nambahin dosa ! Mestinya aku tak sampaikan ini. Ini rahasia keluarga !"
Tak ada berani yang mencoba memotong ucapan Marintan, yang tinggi besar seperti perwira angkatan laut.
"Simak baik-baik, ..." Marintan menghentikan kalimat-nya
"Ibu Arumi yang dosen itu, cucu orang kaya raya. Dia beli rumah di sini tidak seperti kalian. Aku dan Ibu Arumi, tidak ngutang ! Tidak kredit. Tidak riba ! Kami beli kontan, cash keras."
Marintan membelalak, tidak marah pun, gaya-nya demikian.
Ibu-ibu berdaster itu terdiam.
"Kuberitahu, kalian yaa ! Aku memang bukan sultan, kalau aku sultan gak akan bertetangga sama kalian !"
Marintan, menatap satu-satu wajah para tetangganya itu, lalu agak lama merayapi ujung kaki hingga kepala ibu Aas. Tetangga paling ganas kalau ngomongin orang.
"Bisa jadi kalian tak percaya, saya ini dulu dosennya Ibu Arumi dan Pak Wahidin. Sekarang jadi kolega, kami kini sesama dosen. Mereka itu orang cerdas, makanya bisa jadi orang baik !"
Marintan menghirup nafas panjang, suaranya mereda.