Cerpen | Sebuah PagiÂ
(Bagian 1)
DikToko
(Soetiyastoko)
Sebuah pagi yang terlambat datang itu, hari ini. Awan tebal hitam menghalangi cahaya matahari pagi.
Mestinya sinarnya sudah menyelinap lewat lobang angin dan membentuk lampu-lampu terang, tanpa bohlam didinding dalam kamar.
Selimut, sahabat tidur telah dilipat. Sabun, sampo, sikat gigi dan handuk, telah tunaikan tugasnya.
Wahyudi Wahidin, memanaskan mobilnya, entah untuk alasan apa. Mestinya dia masih ingat pesan pramuniaga di ruang pamer, seminggu yang lalu.
"Pak, ... Mobil ini berteknologi baru, hybrid. Keuntungannya, hemat BBM dan tidak perlu dipanaskan mesinnya. Bisa langsung jalan, ..."
Penjelasan itu, sudah dibacanya di internet, beberapa bulan sebelum mobil itu  diluncurkan ke pasar.
Saat dia membayar uang inden, bukti keseriusan mau membeli. Dia pesan warna khusus: merah-ferari, metalik. Warna yang ngejreng, warna berani.
Supaya mudah dikenali dan ditemukan, ketika lupa posisi memparkirkan mobil saat belanja di mal.
Warna itu, juga bermanfaat bagi para mahasiswa. Terutama yang sedang dalam bimbingan tugas akhir. Pertanda bahwa dirinya sudah ada di kampus, walau belum pasti di ruangan mana dan sedang apa.
***
Mesin mobil itu tak bisa menderu-deru, meski beberapa kali  Wahyudi Wahidin menginjak pedal gas dalam-dalam. Mesin yang canggih dan knalpot kekinian yang sukses membekam suara, telah menghalangi hasrat pamer yang tiba-tiba muncul.
Ini bukan mobil pertamanya, bukan seperti mobil bekas yang dulu dibeli dari mahasiswa bimbingannya.
Amat beda, mobil yang dulu itu selalu mudah membangunkan tetangganya. Bahkan membuatnya risih bila terpaksa pulang larut malam. Berisik-sangar, khas setelan mobil balap.
***
Hari ini tidak ada aktivitas di kampus. Meski harus mengajar secara online di dua kelas. Termasuk janji membimbing tiga mahasiswa di siang nanti.
***
"Yaang, sayaang, besok pagi-pagi jangan bikin nasi goreng, kita sarapan rawon di warung pak Jenggot, sudah lama kita tidak kesana... Kangen juga sama empal gorengnya, ..." kata Wahyudi Wahidin, sambil mematikan televisi.
"Mau naik apa, naik taksi atau ojek ? Kita harus ngirit, yaang, .... Scutter kita masih dibengkel, belum ditebus"
"Kita, naik si merah, dong, ..."
"Plat nomer-nya, 'kan belum ada, ... Gak mau aah, nanti kena tilang. Â Bisa jadi urusan, bisa repot, ..."
"Gak apa-apa, ... Kita 'kan tidak jauh-jauh. Cuma ke tempat pak Jenggot, lalu pulang ..."
"Yaa sudah, terserah kamu, ..." seraya memutar dimmer lampu kamar ukuran 3 X 4 meter kotor, luasnya oleh developer dikurangi dengan ketebalan tembok itu.
Kini ruangan itu dari benderang jadi remang-remang, seperti rumahnya para Sultan Indonesia. Sultan adalah para artis, kaya-raya baru di belantika hiburan.
***
Mobil merah menyala setinggi dada itu bergerak pelan-pelan, menyusuri jalan menuju gerbang komplek perumahan. Nyaris tak bersuara, khas mobil kelas atas.
Jendela-nya sengaja dibuka lebar. Leluasa menyapa tetangga, sekalian mengurangi aroma mobil baru dari dalam kabin.
Sesekali klakson terpaksa dibunyikan, peringatan untuk anak-anak yang bermain di jalan depan rumahnya. Supaya minggir dan hati-hati
Ada yang kejar-kejaran, ada yang bersepeda. Ada yang di atas stroller, didorong sang kakek. Ada anak-anak yang mengerubungi penjual kue basah.
Tak jauh dari situ, ada segerombolan ibu-ibu disekeliling gerobak penjual sayuran.
Mobil merah itu terpaksa mengalah. Pedal rem diinjak Wahyudi Wahidin, mobil pun berhenti. Sekitar empat atau lima meter jaraknya dari  para pengguna daster yang memegang-pegang dagangan pak Gundul , si tukang sayur.
Arumi Wiliandri, melongokan kepala, keluar dari jendela mobil,
"Maaf, ibu-ibu, permisi numpang lewat, yaa !"
"Ooh, rupanya, Mbak Arumi, ...."
"Mau kemana jeng ?!"
"Waah ! , ngetes mobil baru yaa ?!"
"Atau mau ketempat bersalin  ?"
Pak Gundul agak kesulitan meminggirkan gerobaknya, terhalang ibu-ibu yang belum bergeser posisi berdiri-nya.
Arumi Wiliandri, memegangi perutnya. Sebentar-sebentar ada tonjolan yang bergerak-gerak. Kadang dari kiri ke kanan, tak jarang pula dari bawah ke atas.
Gerakan-gerakan itu semakin keras sejak dinyatakan positif, delapan bulan yang lalu.
Tak lama kemudian mobil baru itu telah menjauh dari kerumunan ibu-ibu.
Tapi tulisan "PERCOBAAN" yang dilekatkan di tempat plat nomer, masih terlihat jelas.
Jadilah bahan gosip baru yang asyik dan dipenuhi prasangka-prasangka dan asumsi
"Mereka itu dosen-dosen baru, kok bisa cepat kaya ...."
"Iya  yaa , ... Uang-nya dari mana ?"
"Gaji-nya paling, ... Cuma berapa, .... Tapi kok bisa, yaa  punya mobil baru dan bagus ! "
"Yaa, kita tak tahu rejeki mereka dari mana. Dan kita tak harus tahu, ..." Celetuk seorang Ibu yang mengenakan daster loreng, khas pasukan komando
"Paling-paling mereka kredit, .... Aku juga pernah ditawari kredit, ... Mobil seperti itu, .... Cicilannya mahal, hampir sembilan juta,....
Tepatnya delapan koma sembilan juta !"
"Waah, jadi besar dong cicilan hutangnya, belum lagi ditambah cicilan rumah sebulan tiga setengah juta, ... Wouw ! Dari mana uang mereka !"
"Yaa, mungkin saja mereka di posisi basah, di kampusnya. Jadi ada 'sabetan' bin 'ceperan', .. Atau sogokan dari mahasiswa !"
"Tidak. Tidak mungkin, mereka itu orang baik, orang alim, .... Ibu-ibu 'kan tahu, seminggu dua kali mereka ngajar ngaji anak-anak kita. Gratis pula !"
"Aah, Ibu Niniek, seperti tidak tahu saja , .... Sekarang ini 'kan sudah biasa, 'pura-pura alim dan suci, hanya untuk menutupi kebusukan-nya !"
"Astaqfirullah, jangan berprasangka seperti itu, .... Ingat, bu  Aas, saat Ujang anak ibu Aas kejang-kejang, Mbak Arumi yang mengantar ke rumah sakit. Mbak Arumi yang nyetir, mana perut-nya sudah besar, ..."
"Jadi apa saja, ibu-ibu yang akan dibeli ? Siapa yang sudah bisa saya hitung duluan, belanjaan-nya" , Pak Gundul yang sedari tadi diam, kini menyela.
Marintan, yang datang belakangan dia langsung mengambil dua plastik sayuran daun melinjo, tomat, kacang panjang, jagung muda, bungkusan kecil terasi, ikan asin jambal roti dan minta dibungkuskan rempah-rempah bumbu sayur asem.
Marintan, masih sempat mendengar gosip asyik itu. Dia tidak ambil peduli. Dia setuju yang dihitung Pak Gundul, diulurkannya selembar Sukarno-Hatta.
Ketika tukang sayur itu menyodorkan uang kembalian, Marintan menolak.
"Untuk beli krupuk anak bapak saja, ..." Â , ucapnya lirih.
Orang yang tebal riasan wajahnya itu masih bicara,
"Aah ibu  Niniek ini, seperti tidak tahu saja, ... Apa sudah lupa bos-bos yang dulu bagi-bagi bingkisan dan uang, juga ngasih ambulans untuk desa kita. Buktinya dipenjara setelah jadi yang terhormat, wakil rakyat ! Bisa jadi Ibu Arumi dan Pak Wahidin pun begitu !"
"Bu Aas ! Jangan keterlaluan pagi-pagi ngomongin orang ! Mending kalau benar !"
Marintan nyerocos menghentak-hentak dengan logat Kisaran - Sumatra Utara yang pekat.
Semua orang terdiam.
"Benar, kata ibu Niniek, mereka itu orang baik. Kalian tidak tahu, bulan lalu orang tua saya sakit, habis empat puluh lima juta.
Hah ! Dari mana aku bisa bayar sebanyak itu ? Kalian sering bergosip, kalian bilang aku orang miskin.
Lalian bilang, aku gak mikir memaksakan diri kredit rumah di sini. Begitu'kan kata kalian ?! Â Jangan dikira saya tidak tahu ! Semua sampai ke telinga saya !"
Marintan matanya merah, menatap satu-satu mata perubung pak Gundul.
"Kalian tahu ?!!! Sembarangan saja ngomongin orang ! Kalian itu dengki ! Kalian itu iri !"
Yang disebut ibu Aas mau menyela, gelagat itu terlihat oleh Marintan, ..
"Bu Aas, berapa yang harus ibu bayarkan, bila tiga orang anak ibu belajar ngaji di tempat lain ?! Sementara pak Wahidin dan ibu Arumi gratis !. Tidak bayar, ...! Malah dikasih kitab suci, setiap anak yang mau ngaji, ..."
Dua-tiga orang membenarkan perkataan bu Marintan.
"Dengarkan baik-baik, agar kalian tak salah ngomong dan nambahin dosa ! Mestinya aku tak sampaikan ini. Ini rahasia keluarga !"
Tak ada berani yang mencoba memotong ucapan Marintan, yang tinggi besar seperti perwira angkatan laut.
"Simak baik-baik, ..." Marintan menghentikan kalimat-nya
"Ibu Arumi yang dosen itu, cucu orang kaya raya. Dia beli rumah di sini tidak seperti kalian. Aku dan Ibu Arumi, tidak ngutang ! Tidak kredit. Tidak riba ! Kami beli kontan, cash keras."
Marintan membelalak, tidak marah pun, gaya-nya demikian.
Ibu-ibu berdaster itu terdiam.
"Kuberitahu, kalian yaa ! Aku memang bukan sultan, kalau aku sultan gak akan bertetangga sama kalian !"
Marintan, menatap satu-satu wajah para tetangganya itu, lalu agak lama merayapi ujung kaki hingga kepala ibu Aas. Tetangga paling ganas kalau ngomongin orang.
"Bisa jadi kalian tak percaya, saya ini dulu dosennya Ibu Arumi dan Pak Wahidin. Sekarang jadi kolega, kami kini sesama dosen. Mereka itu orang cerdas, makanya bisa jadi orang baik !"
Marintan menghirup nafas panjang, suaranya mereda.
"Aku yang ngajak mereka ngambil rumah di sini. Tentu dengan kredit.
Mendengar rencana berhutang riba, Kakek-nya melarang keras, ....."
Semua orang yang ada di situ, menyimak kata-katanya.
"Kalian semua beragama, kalian pasti tahu betapa beratnya dosa riba, ..."
"36 sampai 70 kali lipat, dari dosa, berzinah dengan ibu kandung!" , seru pak Gundul menimpali.
"Butul, itu pak sayur, Â ..."
Mata Marintan berkaca-kaca, ...
"Sejak lama kami pun 'lah tahu, Â itu bahaya riba, ...."
Marintan mengusap bulir bening di sudut-sudut matanya, ...
"Alhamdulillah, aku dipinjami kakeknya ibu Arumi, separuh harga rumah itu, lainnya dari tabungan untuk sekolah anak kami, ... "
Wanita tembak langsung dari Kisaran itu merasa belum sepenuhnya lega. Dari kekesalan akibat gosip yang keterlaluan itu
"Sekarang kalian tahu itu. Oh yaa, biar kalian puas dan punya bahan gosip baru, ....
Untuk menebus orangtua-ku yang sakit, ... Aku dipinjami Ibu Arumi dari uang penjualan mobil lamanya, ..."
Wajah-wajah berdaster itu, mimiknya seperti apa, yaa ? Â Demi mendengar kebaikan ibu Arumi dan pak Wahidin.
Melongo, takjub, heran, tak percaya ?!
Yang pasti mereka terdiam.
Tiba-tiba penggosip terganas itu ngomong keras,
"Pantas, situ bela mati-matian, dikasih hutang sih !
Bu Marintan, ngibul itu yang logis dan kira-kira dong. Biar lebih enak di dengarnya, .... Betul apa betul ibu-ibu ?!"
Ibu Aas kali ini amat merasa puas, bisa ngomong seperti itu
Marintan, tiba-tiba mendidih, lebih dari seratus derajat celsius.
Saking panasnya, kemarahannya segera menguap.
Dengan lembut dan nada rendah dia pun berucap,
"Pak Gundul dan ibu-ibu semua, tolong disampaikan kepada yang membutuhkan rumah kontrakan. Masih ada delapan rumah baru yang siap huni.
Rumah-rumah itu miliknya Pak Margo, kakeknya ibu Arumi."
Pada waktu yang sama dengan ibu Marintan bicara, ibu Intan menghitung harga belanjaan yang harus dibayarnya.
"Harga sewanya lebih murah dari pasaran dan sudah dipasang AC di setiap kamar, betulkan ibu Niniek ?"
"Betul, bu Marintan, waktu rumah saya direnovasi tiga bulan, saya nyewa rumahnya Pak Margo. Malah, bentuk renovasinya kami mencontoh rumahnya  pak Margo.
Itu lho, ibu-ibu, rumah-nya yang sekarang di sewa Bu Aas.
Orang yang namanya disebut itu merasa ditelanjangi. Selama ini dia mengaku jadi pemilik  kedua. Beli dari Pak Margo.
Manusia-manusia bergosip, berseteru di sebuah pagi yang terlambat.
***
Rumah di pojokan Jl Mangga Raya, Pagedangan, 07/07/2022 01:07:41
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H