Ketika tukang sayur itu menyodorkan uang kembalian, Marintan menolak.
"Untuk beli krupuk anak bapak saja, ..." Â , ucapnya lirih.
Orang yang tebal riasan wajahnya itu masih bicara,
"Aah ibu  Niniek ini, seperti tidak tahu saja, ... Apa sudah lupa bos-bos yang dulu bagi-bagi bingkisan dan uang, juga ngasih ambulans untuk desa kita. Buktinya dipenjara setelah jadi yang terhormat, wakil rakyat ! Bisa jadi Ibu Arumi dan Pak Wahidin pun begitu !"
"Bu Aas ! Jangan keterlaluan pagi-pagi ngomongin orang ! Mending kalau benar !"
Marintan nyerocos menghentak-hentak dengan logat Kisaran - Sumatra Utara yang pekat.
Semua orang terdiam.
"Benar, kata ibu Niniek, mereka itu orang baik. Kalian tidak tahu, bulan lalu orang tua saya sakit, habis empat puluh lima juta.
Hah ! Dari mana aku bisa bayar sebanyak itu ? Kalian sering bergosip, kalian bilang aku orang miskin.
Lalian bilang, aku gak mikir memaksakan diri kredit rumah di sini. Begitu'kan kata kalian ?! Â Jangan dikira saya tidak tahu ! Semua sampai ke telinga saya !"
Marintan matanya merah, menatap satu-satu mata perubung pak Gundul.
"Kalian tahu ?!!! Sembarangan saja ngomongin orang ! Kalian itu dengki ! Kalian itu iri !"
Yang disebut ibu Aas mau menyela, gelagat itu terlihat oleh Marintan, ..
"Bu Aas, berapa yang harus ibu bayarkan, bila tiga orang anak ibu belajar ngaji di tempat lain ?! Sementara pak Wahidin dan ibu Arumi gratis !. Tidak bayar, ...! Malah dikasih kitab suci, setiap anak yang mau ngaji, ..."