"Gak apa-apa, ... Kita 'kan tidak jauh-jauh. Cuma ke tempat pak Jenggot, lalu pulang ..."
"Yaa sudah, terserah kamu, ..." seraya memutar dimmer lampu kamar ukuran 3 X 4 meter kotor, luasnya oleh developer dikurangi dengan ketebalan tembok itu.
Kini ruangan itu dari benderang jadi remang-remang, seperti rumahnya para Sultan Indonesia. Sultan adalah para artis, kaya-raya baru di belantika hiburan.
***
Mobil merah menyala setinggi dada itu bergerak pelan-pelan, menyusuri jalan menuju gerbang komplek perumahan. Nyaris tak bersuara, khas mobil kelas atas.
Jendela-nya sengaja dibuka lebar. Leluasa menyapa tetangga, sekalian mengurangi aroma mobil baru dari dalam kabin.
Sesekali klakson terpaksa dibunyikan, peringatan untuk anak-anak yang bermain di jalan depan rumahnya. Supaya minggir dan hati-hati
Ada yang kejar-kejaran, ada yang bersepeda. Ada yang di atas stroller, didorong sang kakek. Ada anak-anak yang mengerubungi penjual kue basah.
Tak jauh dari situ, ada segerombolan ibu-ibu disekeliling gerobak penjual sayuran.
Mobil merah itu terpaksa mengalah. Pedal rem diinjak Wahyudi Wahidin, mobil pun berhenti. Sekitar empat atau lima meter jaraknya dari  para pengguna daster yang memegang-pegang dagangan pak Gundul , si tukang sayur.
Arumi Wiliandri, melongokan kepala, keluar dari jendela mobil,
"Maaf, ibu-ibu, permisi numpang lewat, yaa !"