Gadis itu terus mengamati mimik wajahnya yang berubah-ubah.
Jam tinggi besar yang berdiri tegak disebelah pintu masuk, tiba-tiba menyajikan gemrincing suara jernih penuh nada. Lalu berdentang lantang sembilan kali.
"Deng ! Deng ! Deng ...... !" Bergema panjang.
"Marsudi Jaya, terima kasih sudah mengantarku dan sudah berkunjung kesini, ... Kalau mau pulang, hati-hati dijalan, ....."
"Maaf, yaa, kelamaan bertamunya, ...." , Marsudi Jaya berdiri.
"Bolehkah aku pamit ke ibu dan ayahmu, ...." Sambungnya, sopan.
Wadiarini Anya tidak menjawab, tapi memberi isyarat. Lalu setengah berlari masuk kedalam.
Mata tamu itu, mengarah ke lukisan. Dia tidak paham, mengapa karya-karya pelukis itu begitu populer dan amat mahal. Apalagi bila pelukisnya sudah mati. Makin menjadi-jadi harganya.
Direproduksi jadi penghias kalender. Imitasi-nya pun bisa laku disewakan ke kantor-kantor perusahaan besar.
"Tapi yang kulihat ini asli, tonjolan-tonjolan gumpalan cat, hasil sapuan jari itu, begitu khas. Bukan jejak kuas, ..."
***