Setelah Wengker takluk pada 1035M, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi maharaja Medang. Semua kerajaan di Jawatimur dan Jawatengah dalam kekuasaannya. Kegemilangan Sri Maharaja Erlangga juga tercetak pada prasasti Turun Hyang I, 1036M, bertepatan dengan penganugerahan sima pada penduduk Turun Hyang atas segala jasanya menjaga pertapaan Sriwijayasrama serta tempat-tempat suci lainnya di gunung Pugawat. Dalam prasasti ini ibukota Erlangga di Kahuripan. Dapat dikatakan pada masa ini Erlangga adalah raja Medang i Kahuripan.
Hingga pada tahun 1036M, rombongan utusan Ratu Tulodong menuju kotaraja Kahuripan, menyampaikan berita kepada Erlangga. Isi pokok berita dari bhumi Lodoyong itu tentang banjir sungai Brantas yang kembali menjebol tanggul di daerah Waringin Sapta atau Ringin Pitu, merusak sawah-sawah penduduk brang kidul, membikin hasil tanam melorot, membikin pajak bumi yang diangkut ke Kahuripan berkurang jumlahnya. Bukan sekali dua kali tanggul rontok, tetapi banyak kali, berlangsung bertahun-tahun. Setiap jebol, tanggul selalu ditutup dibendung, tetapi setiap datang musim hujan, banjir Brantas selalu naik menjebol menggerus, mengalir bebas ke selatan, mengisi setiap palungan, menenggelamkan sepertiga bhumi Lodoyong, menyentuh daerah-daerah sima di barat Waringin Sapta seperti Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, biara-biara, bangsal-bangsal tempat para pertapa di Kamulan, bangunan suci tempat pemujaan dewa, dan pertapaan-pertapaan daerah Labapura bagi sang Hyang Dharmma ring Isanabhawana di Surapura.
Pada waktu itu banjir sungai Brantas diperkirakan membobol tanggul di daerah Ngunut atau sekitar desa Kaliwungu. Dari sana banjir mengalir ke selatan membentuk aliran sungai baru setiap musim hujan. Banjir rutin itu menjadikan daerah palungan di lembah pegunungan Walikukun dan Indrakila tergenangi air melimpah ruah membentuk hamparan rawa. Daerah-daerah tersebut dekat pegunungan kapur, sangat mungkin permukaan tanahnya menjadi mampat. Dari daerah Boyolangu, banjir bergerak ke utara mengalir menuju kaki Wilis di daerah Kamulan, Kalangbret atau sekitar thani Bala. Sungguh hamparan rawa sangat luas.
Sepertiga bhumi Lodoyong berubah menjadi hamparan rawa. Karena meski musim hujan selesai, limpahan air banjir yang sudah mengisi palung dan lembah-lembah tidak dapat keluar atau mengalir balik menuju sungai Brantas. Inilah awal mula terciptanya rawa di selatan gunung Wilis atau di Tulungagung.
Erlangga tentu masih teringat peristiwa di penghujung 1030M saat kekuatan Lodoyong menghancur istana Watan Mas. Meski sudah ditaklukkan, Lodoyong tetap memiliki kekuatan besar, sanggup sewaktu-waktu menggempur Kahuripan. Dari segi politik dan keamanan negara, peristiwa bencana di Lodoyong terbilang rawan. Jika tidak segera ditanggulangi atau diperhatikan secara khusus, besar kemungkinan menimbulkan pergolakan daerah.
Daerah Lodoyong sejak lama terkenal dengan hasil panen padi unggulan, utamanya padi hitam, barang dagangan yang banyak dicari para pedagang Tiongkok. Setelah menjadi daerah bawahan Medang Kahuripan, Lodoyong dikenal sebagai salah satu pemasok pajak hasil bumi terbesar di Jawa Timur.
Pertanian di Lodoyong juga mendukung kegiatan perdagangan di pelabuhan Hujung Galuh. Bencana itu menimbulkan gagal panen dalam waktu panjang, mengakibatkan perdagangan di Hujung Galuh terganggu. Kapal-kapal dari pulau lain banyak yang kesulitan mencari barang dagangan, utamanya beras dan hasil bumi unggulan Lodoyong. Lesunya perdagangan di Hujung Galuh akibat banjir di Brang Kidul ini kelak tersirat dalam prasasti Kamalagyan.
Maka setelah memertimbangkan segalanya, atas nama kesejahteraan dan ketenteraman negeri, serta memandang bakti besar Ratu Tulodong, Sri Maharaja Erlangga segera mengambil kebijakan hebat, membangun bendungan besar, berjuang mengendalikan banjir musiman sungai Brantas di Lodoyong.
Pembangunan ini membutuhkan banyak tenaga. Sudah barang tentu sepasukan prajurit Kahuripan datang ke Lodoyong, bergabung dengan pasukan Ratu Tulodong dan para penduduk brang kidul. Pasukan tanggap bencana dari Kahuripan itu menempati bukit tidak jauh di selatan sungai Brantas yang kelak bernama Pulotandha, artinya tanah tempat berdiam para tandha atau prajurit. Di timur laut desa Pulotandha inilah banjir sungai Brantas naik menggerus tebing sungai, menciptakan sungai baru menuju arah Boyolangu dan sekitarnya. Daerah di selatan Pulotandha sudah terendam air rawa.
Selesai pembangunan tanggul di sisi selatan sungai Brantas, mereka melanjutkannya dengan membuat sungai sebagai jalan mengeluarkan air yang sudah menjadi hamparan rawa. Sungai baru itu memanjang dari selatan ke utara, dari arah Boyolangu menuju tebing sungai Brantas di daerah Kelagyan. Air rawa dapat mengalir melalui sungai itu. Para penduduk kelak menyebut sungai itu sebagai sungai Ngrawa atau Ngrawa, artinya sungai yang airnya berasal dari rawa.
Tapi memang air rawa tidak benar-benar habis. Penyebabnya adalah dasar sungai Brantas ternyata lebih tinggi dari daerah palungan di lembah Indrakila dan beberapa daerah lain di Lodoyong. Jika banjir berhenti, sungai mengalir ke utara, tetapi jika musim banjir, air sungai Brantas mendesak masuk melalui muara sungai Ngrawa di desa Kelagen itu.