*Â Â Â Â *Â Â Â Â *Â
Tulungagung Masa kerajaan Panjalu Dan JenggalaÂ
AKAN tetapi pembelahan kerajaan Erlangga justru menimbulkan sikap saling menaklukkan antara Panjalu dan Janggala. Masing-masing berkeinginan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Pada awalnya Jenggala unggul. Yang berkuasa di Jenggala setelah masa Erlangga adalah Sri Maharaja Mapanji Garasakan, Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes dan. Sri Maharaja Rake Halu Pu Juru Samarotsaha. Sementara di Panjalu antara lain Sri Samarawijaya, Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, Sri Bameswara Sakalabhuwana, dan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya. Pada masa Sri Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayati alias Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala. Berita kemenangan besar itu diceritakan dalam prasasti Ngantang.
Akan tetapi setelah Jayabaya wafat akibat pemberontakan Rake Sirikan Sri Sarweswara pada 1159M, tanah Jawa kembali bergolak, Panjalu dan Jenggala kembali berseteru. Kemelut perebutan tahta di Panjalu membikin keturunan Jenggala tergugah bangkit melepaskan diri dari kekuasaan Panjalu. Jenggala tetap memusatkan kekuatannya di timur gunung Kawi, Kutaraja.
Sementara itu pusat pemerintahan Lodoyong yang sebelumnya berada di daerah Junjung, Sumbergempol, Tulungagung, sejak masa Jayabaya telah bergeser ke timur di daerah Lodoyo. Pada akhir pemerintahan Jayabhaya di Panjalu Daha, wilayah Lodoyong pecah menjadi dua, di timur dan barat sungai Jimbe. Daerah Lodoyong bagian timur kelak bernama Lodaya, sementara daerah Lodoyong bagian barat bernama Ngrawa karena sebagian besar wilayahnya berupa hamparan rawa. Wilayah Ngrawa mulai dari sungai Jimbe ke barat sampai Penampihan gunung Wilis. Daerah inilah yang kelak dikenal sebagai Lawadan atau menjadi wilayah Tulungagung sekarang.
Pada tahun 1159MÂ raja Sarweswara mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Padlegan II bertarikh 1081C/1159M. Prasasti ini ditemukan di desa Pinggirsari, Ngantru, Tulungagung. Kini prasasti batu ini tersimpan di Museum Wajakensis Tulungagung. Yang cukup menarik perhatian, dalam prasasti ini muncul satu nama daerah bernama Tulung Molih. Apakah Tulung Molih ini merupakan nama kuna dari Tulung Agung, perlu kajian lebih lanjut. Yang pasti prasasti ini diberikan untuk daerah di Tulungagung.
Sebelumnya, pada tahun 1038C/1116M, raja Bameswara mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Padlegan I. Dalam Prasasti Padlegan I menyebutkan nama nama daerah yang sama dengan yang tercantum dalam Prasasti Padlegan II.
Munculnya Prasasti Padlegan I pada tahun 1116M yang dikeluarkan sebagai anugerah tanah perdikan di Tulungagung, dapat kiranya ditarik kesimpulan bahwa pada jaman raja bameswara, wilayah Tulungagung atau waktu itu bernama Lodoyong sudah masuk bagian wilayah kerajaan Panjalu Kediri.
Sri Jayabhaya memiliki dua putra, Sri Aryeswara dan Sri Sarweswara. Pada waktu Sri Jayabhaya bertahta, Sri Aryeswara menjabat sebagai mahamentri I hino, sementara Sri Sarweswara menjabat sebagai mahamentri I Sirikan. Keduanya termasuk kelompok mahamentri Katrini. Dalam kelompok ini, yang berposisi tertinggi adalah Rake Hino. Dan setelah Sri Jayabhaya wafat, Rake Sirikan Sri Sarweswara naik tahta secara tidak sah. Â
Sampai kemudian pada 23 Maret 1171M, berdasarkan Prasasti Angin, yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara setelah merebut tahta dari Sri Sarweswara.
Sri Aryeswara menurunkan Kroncaryadhipa, sementara Sarweswara menurunkan Kameswara dan Kertajaya. Setelah Aryeswara wafat, yang menjadi raja Panjalu adalah Kroncaryadhipa.