Terjemahan:
Alasan keluarnya anugerah karena rake pangkaja dyah tumabong mapanji tumanggala mendoakan paduka sri maharaja di sebuah pertapaan bernama Terep. Ketika itu sri maharaja baru saja tersingkir dari istana wwatan mas menuju ke patakan. Terdapat arca bhatari di pertapaan terep. Disanalah rake pangkaja dyah tumabong berlindung dan mendoakan kemenangan sri maharaja atas musuhnya dari samara atau medan perang. Setelah raja kembali bertahta di atas singgasana permata dan setelah berhasil mengalahkan musuhnya itu, maka menghadaplah rake pangkaja dyah tumabong lalu mengajukan permohonan yang dahulu dipanjatkan kepada bhatari di terep supaya pertapaan tempat berdirinya arca bhatari tersebut ditetapkan sebagai daerah swatantra.
Prasasti Terep tidak secara tegar menyebut nama ratu perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga. Dari penafsiran Prasasti Terep dan Pucangan, Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga, berpendapat bahwa Sang Penakluk itu bernama ratu Dyah Tulodong dari kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas atau Tulungagung sekarang.
Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Ungkapan itu adalah simbolisasi bahwa perempuan penakluk dari daerah selatan itu memiliki kekuatan luar biasa serupa raksasa atau melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga. Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti atau istri Dewa Siwa.
Sampai kemudian pada tahun 1032M, Erlangga berhasil menaklukkan kekuasaan ratu Tulodong di Lodoyong. Tetapi  Ratu Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan Medang. Beberapa waktu kemudian, setelah menundukkan Lodoyong, balatentara Medang menyerbu Lwaram. Kekuatan Lodoyong bergabung merajalela di Lwaram. Lwaram lautan api, raja Wurawari hancur.
Setelah menaklukkan Lodoyong, Erlangga tidak menempati istana Watan Mas, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan. Ini karena Erlangga memiliki pemahaman dan keyakinan seperti leluhurnya Mpu Sindok, bahwa istana yang pernah diduduki musuh bakal menciptakan kekuatan buruk jika tetap ditempati. Tiga tahun setelah penaklukkan Lodoyong, Erlangga bersama kekuatan Lodoyong bersatu kembali menggempur Wengker yang terletak tepat di barat Lodoyong atau Hasin. Prasasti Pucangan menulis rangkaian penaklukan Erlangga terhadap Lodoyong dan Wengker:
Ada sebuah negeri di bagian selatan yang dipimpin seorang perempuan perkasa bertubuh serupa raksasa. Dengan gagah berani beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu pada tahun saka 954/1032M. Pada waktu itulah nama raja semakin harum lantaran menaklukan dan membakar daerah Jawa bagian selatan.
Bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan. Kemudian daerah selatan paling mengerikan di tanah Jawa itu ditetapkan sebagai daerah taklukan. Setelah mendapat banyak harta rampasan yang dihadiahkan kepada para hambanya, kemasyuran sang raja setara para brahmana dan petapa.
Terdorong keinginan mencari nama, pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat pada tahun 957 Saka/1035M tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, hari Rabu, membawa balatentara tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang (pasukan Lodoyong). Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya —raja Wengker Wijayawarman.
Mencermati prasasti Pucangan yang menulis ratu penakluk dari daerah selatan sungai Brantas bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Sebenarnya ini hanya kiasan, bukan berarti nyata wujud raksasa atau raksasa perempuan bertubuh menakutkan bertaring menyeramkan. Ungkapan itu simbolisasi bahwa ratu Tulodong berkekuatan dahsat serupa raksasa serta menganut ajaran Siwa aliran Bhairawa. Dalam pandangan penganut Wisnu seperti Erlangga, ajaran Siwa Bhairawa dianggap lebih rendah derajatnya sehingga dirupakan sebagai raksasa. Prasasti itu bertujuan memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sekali lagi, pihak yang berkuasa berhak menulis berita sejarah sesuai haluan keyakinannya. Ini ternyata terus dilakukan para penguasa di masa kemudian.
Penyerupaan ratu Tulodong sebagai raksasa mirip penyebutan denawa untuk Endang Sasmitapuri, ibu arya Damar. Babad Tanah Jawi mencatat adipati Palembang arya Damar merupakan putera Prabhu Brawijaya dari putri denawa bernama Endang Sasmitapuri, yang sewaktu hamil diusir dari keraton dan melahirkan arya Damar di hutan Wanasalam. Endang Sasmitapuri tidak bertubuh raksasa. Sebutan denawa dalam cerita babad bertujuan untuk merendahkan derajat para penganut ajaran Siwa aliran Bhairawa.