Prasasti bertarikh 18 Nopember 1205M ini memberikan keterangan bahwa penduduk desa Lawadan beserta daerah sewilayahnya telah menerima anugerah raja berupa pembebasan pajak dan penerimaan sejumlah hak-hak istimewa seperti melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di depan umum, mengenakan jenis-jenis pakaian dan perhiasan tertentu, juga memakan makanan istimewa.
Selain itu juga menyebutkan bahwa penduduk Lawadan berhak memiliki rumah dengan ciri tertentu, memiliki tempat duduk, balai-balai, payung, serta tanaman di rumah mereka. Ini dapat dimaknai sebagai kebebasan daerah Lawadan membentuk pusat pemerintahan sendiri yang mandiri.
Sejak 2003, penanggalan prasasti Lawadan menjadi pedoman hari jadi kabupaten Tulungagung.
Meski serbuan pertama gagal menjungkalkan Kertajaya, Ranggah Rajasa tidak menghentikan upayanya menaklukkan Panjalu Kediri. Sejak 1205M, kekuatan Tumapel yang merupakan bentuk baru kerajaan Jenggala bangkit mengemuka gigih menenggelamkan Panjalu Daha. Tumapel mengokohkan kekuatan di timur gunung Kawi, menaklukkan beberapa kerajaan yang dulu pernah menjadi bawahan Jenggala, seperti Lumajang, Hering atau Pamotan, dan Madura.  Â
Sampai 1210M, para putra Ranggah Rajasa sudah lahir baik dari permaisuri Ken Dedes maupun selir Ken Umang. Dari permaisuri Ken Dedes, Ranggah Rajasa menurunkan Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Guning Bhaya, dan Dewi Rimbi. Sementara dari Ken Umang, Ranggah Rajasa menurunkan Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rimbu.
Selama 17 tahun Panjalu dan Tumapel bersaing menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Keduanya kerap melangsungkan pertempuran berupaya saling menaklukkan.
Pada 1222M, pasukan Siwa dan Boddha pimpinan Ranggah Rajasa bergerak melintasi pegunungan Kawi, menyeberangi sungai Leksa, melintasi lembah gunung Kelud berderap di utara sungai Brantas dan di padang Ganter [sekarang diperkirakan bernama Ngantru, Tulungagung utara sungai Brantas] bertemu pasukan Panjalu Kediri yang menganut Wisnu. Pasukan besar Tumapel berhasil mendesak mundur kekuatan Panjalu. Istana Kertajaya jatuh ke tangan Ranggah Rajasa sang putra Girindra.
Pararaton mengisahkan Kertajaya mengungsi ke alam dewata, bergantung-gantung di angkasa, besarta dengan kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semua naik ke angkasa. Berita Pararaton ini dapat dimaknai bahwa Kretajaya mengungsi bersama pengikut setianya dengan bekal lengkap ke sebuah tempat tinggi dan suci, tempat para orang mulia, tempat para petapa dan pandita yang tentu saja dekat dan bersetia kepada raja. Â
Sebelumnya, pada 1194M, Kertajaya pernah dilindungi penduduk Brang Kidul Tulungagung yaitu Katandan Sakapat Kalangbret Kamulan. Pada 1205 Kertajaya juga pernah mengungsi ke Lawadan. Dan berdasarkan penafsiran Serat Pararaton, diperkirakan pada 1222M, raja Kertajaya beserta beberapa anggota keluarga dan sisa pengikutnya menyingkir ke daerah Penampihan, gunung Wilis Tulungagung, yang pada waktu itu lama terkenal sebagai tempat parahiyangan atau pusat pertapaan dan pendidikan ilmu agama.Â
Dapat dikatakan bahwa daerah Tulungagung pada tahun 1222M kembali memberikan pertolongan agung kepada maharaja Kertajaya yang menyingkir ke Penampihan.Â
Bagaimana keadaan Tulungagung masa Ken Arok, tidak banyak terbaca, apakah masuk wilayah kekuasaan Tumapel atau tidak. Yang dapat dipastikan adalah bahwa Ken Arok tidak pernah memberikan anugerah perdikan dalam bentuk prasasti di wilayah Tulungagung.Â