Tangan kirinya memegangi dadanya yang terasa sesak sembari bibir mungilnya tak henti beristighfar mencoba menenangkan hatinya dan meminta ampun pada Sang Rabb.
Andini bersujud, berserah diri dalam do'a yang diiringi tangisan penyesalan. Ia bangkit dari sujudnya yang lumayan panjang, tak disadarinya lampu masjid sudah mati. Ia menengok kesekelilingnya. Sepi, sunyi, gelap yang dirasa. Sayup-sayup daun yang tertiup angin terdengar jelas dari samping kiri Masjid An-nur. Angin itu datang menyapanya tanpa belas kasihan, dingin menusuk tulang.
Andini masih enggan beranjak menuju kompleknya, ia masih ingin merenung. Ia merenungi dosa besar yang masih di tanggungnya. Pikirannya selalu dibayangi ketakutan luar biasa, apalagi setelah mendapat surat dari sahabat lamanya di SMP yang jauh disana. Andini masih ingat isi suratnya.
Andin, maaf... aku belum bisa menyampaikan amanatmu,
karena sekarang dia tidak tinggal di rumah,
Sinta bilang Arga sudah pergi ke pesantren
di Tasikmalaya satu tahun yang lalu, maaf yah...
surat yang kamu titipkan buat Arga dua minggu yang
lalu hilang, aku tak bermaksud menghilangkannya
surat itu diambil seseoarng dari tasku.
An, aku tahu kamu sangat berharap...