LAPORAN AKHIR KULIAH KERJA NYATA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATERA UTARA
(Tahun 2020)
JUDUL :
PENYELESAIAN SENGKETA RUMAH TANGGA DI LUAR PENGADILAN MENURUT HUKUM ISLAM
Disusun Oleh :
 NAMA : SITI HAWANI HASIBUAN
NIM Â Â Â : 0102171006
FAKULTAS : DAKWAH DAN KOMUNIKASI
JURUSAN : BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING LAPANGAN :
196608121992031006
 Dr. H. SOKON SARAGIH, M.
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATERA UTARA
PUSAT PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN KULIAH KERJA
NYATA
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji besertasyukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang dengan izin-
Nyalah dapat menyelesaikan proposal ini dengan mata kuliah Kuliah Kerja
Nyata (KKN). Shalawat beriring salam saya sanjung sajikan kepada junjungan
alam Nabi Besar Muhammad SAW.
Saya  mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak  Sokon Saragih
yang telah membimbing saya. saya menyadari bahwa proposal ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan proposal ini ke depan. Atas kritik dan
saran yang diberikan saya  ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Â
PENYELESAIAN SENGKETA RUMAH TANGGA DI LUAR PENGADILAN MENURUT HUKUM ISLAM
THE NON LITIGATION SETTLEMENT OF FAMILY DISPUTE BASED ON ISLAMIC LAW
A. PENDAHULUANÂ
Perkawinan merupakan salah satu persoalan yang disenangi oleh syari'at. Agama sangat menganjurkannya, karena dapat menjauhkan individu dan masyarakat dari berbagai kerusakan, serta dapat mendatangkan kemaslahatan untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat
Keluarga sakinah yang penuh mawaddah dan rahmah merupakan dambaan setiap orang. Keluarga sakinah dapat dibangun jika setiap unsur keluarga, terutama suami dan isteri, memahami tujuan perkawinan dan mengerjakan hak dan kewajiban masing-masing. saling cinta mencintai, hormat menghormati dan saling membantu lahir maupun batin. Mereka saling memahami dan menghargai kedudukan dan fungsi masing-masing. Jika ini semua berjalan baik maka keluarga bahagia yang tentram, penuh cinta dan kasih sayang, akan secara otomtis terbentuk dalam keluarga mereka.
Dalam Islam, perkawinan memiliki dua fungsi dan hanya perkawinanlah sarana yang halal dalam mencapai tujuan-tujuan itu. Yang pertama adalah untuk memenuhi hasrat kedua pasangan, baik yang bersifat fisikal maupun spiritua.
 Yang kedua adalah untuk prokreasi atau berketurunan. Oleh karena itu Islam menempatkan lembaga perkawinan suatu posisi yang mulia dan amat penting dalam proses hubungan antara seorang lelaki dan wanita.Â
Firman Allah, Qur'an Surat An-Nur ayat 32 menyebutkan,Â
"dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkahwin dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu" ayat ini menerangkan betapa pentingnya suatu ikatan perkawinan dalam masyarakat. Perkawinan diharapkan menjadikan manusia dapat menambah keturunan yang menyambung hidupnya secara turun temurun, tentunya keturunan yang dapat berbakti kepada diri sendiri, orang tua, keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa.Â
Begitu pentingnya perkawinan dalam Islam, telah memberikan aturan yang jelas mulai dari perkenalan, meminang, pengikatan perkawinan melalui ijab qabul, cara bergaul suami isteri dan pola pendidikan rumah tangga dan mendidik anak-anak sebagai buah hasil perkawinan. Dengan pedoman pada aturan syariat Islam, bertujuan untuk mencapai keluarga yang sakinah dengan penuh mawaddah dan rohani, lahir bathin, dunia dan akhirat.Â
Perkawinan mendudukkan dan menyatukan dua pandangan manusia dan paling mendasar adalah menyatukan dua lingkungan keluarga yang berbeda. Kedua pandangan ini disatukan dalam perkawinan. Belakang tersendiri di satukan dengan keluarga suami dengan pandangan yang berbeda pula. Apabila kedua pandangan lingkungan keluarga yang berbeda ini dapat disatukan dengan rasa tentram tentu akan membawa nikmat yang  banyak. Inilah keluarga yang dapat dikatakan sebagai ikatan perkawinan yang membawa kebahagiaan tidak saja di dunia tapi di akhirat kelak.
Sepanjang ikatan perkawinan ini tidak mungkin berjalan dengan mulus, aman dan tentram. Tentu disana sini ada percikan pertengkaran, mulai dari hal yang kecil sampai hal yang berat dan besar. Bagi keluarga yang dilatarbelakangi dengan sikap penuh kesabaran dan ketabahan tentunya percikan pertengkaran ini dapat diselesaikan dengan cara bijaksana oleh suami isteri.Â
Tetapi jika terjadi sebaliknya tentu rumah tangga menjadi goyah, ikatan perkawinan diambang perceraian, keluarga tidak harmonis, rumah tangga seperti neraka.Â
Akibat pertengkaran yang terus menerus (shiqaq), akibat tidak dipenuhinya hak dan kewajiban suami isteri, kekerasan dalam rumah tangga telah menyebabkan angka perceraian meningkat. Jalur litigasi tidak dapat memberikan solusi, sebab setiap perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama sering berakhir dengan perceraian.Â
Jarang sekali terjadi perdamaian antara suami isteri dalam proses persidangan, seolah-olah jika perkara sudah masuk ke pengadilan, suka atau tidak suka ujung-ujungnya adalah perceraian. Pengadilan telah dijadikan sebagai satu-satu cara pemecahan masalah suami isteri yang akhirnya berujung pada perceraian.
 Oleh karena itu jalan litigasi bukanlah langkah yang tepat menyelesaikan perselisihan suami isteri, tetapi jika tidak dapat dipertahankan jalur litigasi inilah sebagai satu-satu jalan pengakhiran ikatan suami isteri.Â
Islam tidak menganjurkan perceraian.Â
Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah perceraian. Oleh karena itu perceraian adalah jalan terakhir bila tidak ada jalan lain lagi untuk menyelesaikan perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Perselisihan suami isteri dengan melakukan perceraian bukanlah jalan yang tepat menurut pandangan Islam.
 Pertengkaran dapat dijadikan sebagai suatu iktibar dan pengalaman yang pahit untuk dijadikan suri tauladan agar rumah tangga menjadi matang, yang tahan terpaan hujan badai, panas dan lainnya. Perceraian hanya dapat dilakukan sebagai jalan terahir jika suatu bahtera rumah tangga sudah tidak dapat di pertahankan lagi.
Setiap muslim menjalankan rumah tangga dalam masa krisis, perselisihan dan pertengkaran perlu memilih jalan lain diluar Pengadilan, yang memberikan solusi terbaik agar ikatan perkawinan dapat dipertahankan. Pembicaraan dan kemunikasi suami isteri adalah langkah awal yang baik, minimal untuk mencari dan menyikapi titik awal untuk menemukan puncak perselisihan suami isteri. Namun demikian terkadang pembicaraan dua arah suami isteri tidak dapat menyelesaikan perselisihan.Â
Pihak ketiga perlu dijadikan pertimbangan untuk membantu penyelesaian sengketa sumai isteri yaitu sesuai dengan Firman Allah QS An Nisa ayat 35
 telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku "mediator" dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.Â
Berdasarkan latar belakang pemikiran inilah, penulis ini menelaah dan meneliti lebih mendalam lagi tentang perkembangan penyelesaian sengketa suami isteri (rumah tangga) di luar pengadilan menurut hukum Islam.Â
B. PENYELESAIAN SENGKETA SUAMI ISTERI (RUMAH TANGGA) DI LUAR PENGADILAN MENURUT HUKUM ISLAMÂ
Dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai orang (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami isteri) tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).Â
Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam AI-Qur'an surah an-Nisaa ayat 35, Allah SWT, telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut dapat di pahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/ persengketaan antara suami istri yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut. Â
Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa "non litigasi", yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, mumi ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.Â
Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan.Â
Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan, biasanya seorang tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan, atau oleh lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majelis hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan.Â
Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya.Â
Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.Â
Namun demikian, penasihatan di luar pengadilan sangat tergantung pada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung kepada tingkat ''kewibawaan'' para penasihat, baik perorangan maupun lembaga. Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahaan tidak dapat dipecahkan dan suami istri tidak dapat di damikan. Konsep inilah yang dikenal dengan masuknya pihak ketiga konsep inilah yang dikenal dengan masuknya pihak ketiga untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Pihak ketiga ini dikenal biasanya dengan nama mediator.Â
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi Iebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai.Â
Sementara itu, penasihatan di pengadilan sangat dibatasi waktu, tempat dan ketentuan-ketentuan beracara, sehingga permasalahan tidak dapat digali sebanyak permasalahan yang dilakukan pada penasihatan di luar pengadilan.
 Demikian pula pemecahannyapun. Pendek kata, penasihatan di depan sidang pengadilan lebih banyak untuk memenuhi ketentuan formil dan sangat sulit dapat dikembangkan sebagaimana penasihatan di luar pengadilan. Apa lagi pasangan suami isteri yang datang ke pengadilan, pada umumnya, adalah pasangan yang membawa permasalahan keluarga yang sangat berat, sudah patah arang. Memang demikian, karena sidang pengadilan pada dasarnya bukanlah merupakan lembaga penasihatan, namun ia adalah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, yang dalam kegiatannya berfungsi juga untuk melakukan penasihatan sebelum memeriksa Iebih jauh perkara yang diajukan dan memutus perkara jika tidak ada kesepakatan damai di antara para pihak. Hasil penasihatan berupa kesepakatan untuk damai atau tidak ada kesepakatan apa-apa dapat langsung dijadikan dasar oleh majelis hakim untuk melakukan proses hukum selanjutnya: pembuatan akte perdamaian atau pemeriksaan perkara sesuai permohonan atau gugatan.Â
Di dalam pengadilanpun dikenal juga dengan lembaga mediasi, yaitu proses pemeriksaan sebelum dilaksanakan sidang gugatan perceraian di persidangan Pengadilan Agama.
 Dilatarbelakangi dengan menumpuknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam perkara kasasi, mediasi dianggap instrument efektif dalam proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.Â
Penasihatan di luar pengadilan, merujuk kepada Q.S. An-Nisa' 35, yang artinya, "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.Â
Konsep hakam disini dapatlah disamakan dengan mediator sebagai pendamai bagi perselisihan suami isteri. Hakam mendudukan peranan penting dalam islam sebagai juru damai yang jumlahnya berdasarkan ayat tersebut di atas minimal 2 (dua) orang. Dan sebaiknya biasa sepanjang perjalanan kedua orang hakam ini dapat diberikan pula kesempatan untuk memilih (satu) orang lagi sebagai hakam, sehingga hakam (mediator) berjumlah 3 (tiga) orang sebagaimana kebiasaan dalam praktek.Â
Tidak semua orang dapat dijadikan hakam (mediator), untuk menduduki posisi ini Islam mengajurkan agar untuk memilih orang yang benar-benar dapat ditunjukan sebagai hakam adalah orang yang benar-benar bijak mempunyai latar belakang kesholehannya tidak diragukan oleh semua orang. Yaitu mempunyai sifat adil, juru, memiliki pengetahuan dan mempunyai hubungan kekerabatan (family) dan yang paling penting adalah dapat menjaga rahasia. Dengan sifat-sifat seperti ini tentunya penyelesaian secara damai sengketa suami isteri menemukan jalannya terbaik yang dapat diterima oleh semua pihak.Â
Pelaksanaan penyelesaian oleh hakam (mediator) bukanlah bersifat kewenangan sebagaimana dijalankan oleh Hakim Pengadilan, tetapi lebih bersifat kewajiban yang hasil akhir hanya bersifat anjuran atau nasehat. Suami atau isteri dalam menyikapi nasehat atau anjuran hakam, dapat menerima atau menolak. Bila menerima nasehat dari hakam maka selesailah sengketa suami isteri, bila menolak tentunya permasalahan sengketa rumah tangga menjadi panjang dan berbelit-belit yang putusan akhimya akan merugikan dan menjadi pil pahit bagi kedua belah pihak.Â
Bila ditinjau dari sudut pandang waktu dan hasil yang dicapai dengan menempuh jalan mediasi tentunya banyak manfaat bila dibandingkan dengan jalur litigasi. Hakam dalam melakukan pemeriksaan sengketa rumah tangga lebih menitik beratkan pada hubungan kekeluargaan, tanpa melalaui proses formal yang berbelit-belit.
Waktu yang ditempuh relatif singkat. Diperiksa dan ditengahi oleh hakam dari keluarga sendiri atau famili baik dari pihak suami maupun dari pihak isteri yang mengetahui seluk belum dan latar belakang keluarga. Oleh karena hakam dan family yang memiliki kemampuan dan wibawa serta sangat dihormati, tentunya segala keputusan dan nasihat untuk penyelesaian sengketa rumah tangga selalu diterima dengan lapang dada oleh semua pihak baik dari suami dan keluarga suami maupun isteri dan keluarga isteri.Â
Oleh karena itu Allah menetapkan jalur hakam adalah jalan yang paling terbaik bila dibandingkan dengan jalur litigasi, sesuai dengan QS. An-Nisa' ayat 35. Walaupun demikian hakam adalah fase kedua. Sedangkan fase pertama Menurut Kamil al-Hayali, Islam menyerahkan kebebasan penyelesaian untuk mencapai kata sepakat yang adil pada mereka berdua.
 Jika kedua jalan ini tidak menyelesaikan sengketa rumah tangga yang dihadapi oleh suami isteri, jalur terakhir adalah jalur litigasi, dimana putusannya bersifat mengikat.Â
C. PENUTUPÂ
1. KesimpulanÂ
a. Sengketa suami isteri pada dasarnya disebabkan antara lain kurangnya pihak suami atau isteri memaknai arti penting suatu ikatan perkawinan atas suatu yang telah disyariatkan Islam. Perceraian pada intinya dapat terjadi dari faktor ekonomi, selingkuh, latar belakang pendidikan. Semua ini adalah penyebab yang membawa dampak dan andil yang prosentasenya hampir mencapai 90% tingkat sengketa rumah tangga itu terjadi. Sedangkan sisanya 10% disebabkan hal-hal lain seperti kekerasan dalam rumah tangga, pertengkaran tanpa sebab, minuman keras dan perjudian.Â
b. Penyelesaian sengketa suami isteri dapat ditempuh dengan damai, dengan menentukan dan menunjuk satu orang juru damai dari pihak keluarga suami dan keluarga isteri. Konsep ini sesuai dengan QS. An-Nisa' ayat 35, agar sengketa rumah tangga dapat diselesaikan dengan baik dan dapat diterima oleh semua pihak. Fase mediasi yang dilaksanakan oleh hakam ini adalah merupakan fase kedua, sedangkan fase pertama adalah diselesaikan sendiri oleh suami dan isteri yang bersengketa, dengan manfaat dapat diselesaikan dengan waktu relatif singkat, dapat diterima oleh semua pihak dan dapat menyimpan rahasia perselisihan suami isteri.Â
2. SaranÂ
a. Sebelum melangkah ke tahap jenjang perkawinan, baik laki-laki maupun perempuan, perlu terlebih dahulu mengetahui keadaan pasangan masing-masing. Latar belakang pendidikan, ekonomi, dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk melanjutkan suatu hubungan ke jenjang perkawinan. Hal ini perlu, sebab perkawinan bukanlah suatu hal mainan hawa nafsu saja tetapi adalah sesuatu yang sakral, natural dan dibutuhkan setiap manusia untuk menciptakan suatu keluarga sakinah yang mawaddah warohmah. Oleh karena itu bila semua ini dapat difahami dan dijalani dengan sebaik mungkin insya Allah yang namanya sengketa suami isteri yang menyebabkan perceraian dapat dihindari sejak awal.Â
b. Jika sengketa suami isteri tidak dapat dihindari, sebaiknya selesaikan secara internal suami isteri. Sebab segala seluk beluk rumah tangga yang dijalani adalah sudah dilakoni keduanya sehingga lebih dan sudah difahami oleh kedua belah pihak. Hindari berbagai bentuk perselisihan dan pertengkaran, dan selalu menjaga dan saling menghormati adalah penting dalam setiap menjalin kehidupan rumah tangga. Selalu dapat menerima kekurangan suami atau isteri, sebab konteks manusia adalah serba kekurangan dan Allah-lah yang paling sempurna. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H