Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan.Â
Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan, biasanya seorang tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan, atau oleh lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majelis hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan.Â
Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya.Â
Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.Â
Namun demikian, penasihatan di luar pengadilan sangat tergantung pada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung kepada tingkat ''kewibawaan'' para penasihat, baik perorangan maupun lembaga. Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahaan tidak dapat dipecahkan dan suami istri tidak dapat di damikan. Konsep inilah yang dikenal dengan masuknya pihak ketiga konsep inilah yang dikenal dengan masuknya pihak ketiga untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Pihak ketiga ini dikenal biasanya dengan nama mediator.Â
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi Iebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai.Â
Sementara itu, penasihatan di pengadilan sangat dibatasi waktu, tempat dan ketentuan-ketentuan beracara, sehingga permasalahan tidak dapat digali sebanyak permasalahan yang dilakukan pada penasihatan di luar pengadilan.
 Demikian pula pemecahannyapun. Pendek kata, penasihatan di depan sidang pengadilan lebih banyak untuk memenuhi ketentuan formil dan sangat sulit dapat dikembangkan sebagaimana penasihatan di luar pengadilan. Apa lagi pasangan suami isteri yang datang ke pengadilan, pada umumnya, adalah pasangan yang membawa permasalahan keluarga yang sangat berat, sudah patah arang. Memang demikian, karena sidang pengadilan pada dasarnya bukanlah merupakan lembaga penasihatan, namun ia adalah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, yang dalam kegiatannya berfungsi juga untuk melakukan penasihatan sebelum memeriksa Iebih jauh perkara yang diajukan dan memutus perkara jika tidak ada kesepakatan damai di antara para pihak. Hasil penasihatan berupa kesepakatan untuk damai atau tidak ada kesepakatan apa-apa dapat langsung dijadikan dasar oleh majelis hakim untuk melakukan proses hukum selanjutnya: pembuatan akte perdamaian atau pemeriksaan perkara sesuai permohonan atau gugatan.Â
Di dalam pengadilanpun dikenal juga dengan lembaga mediasi, yaitu proses pemeriksaan sebelum dilaksanakan sidang gugatan perceraian di persidangan Pengadilan Agama.
 Dilatarbelakangi dengan menumpuknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam perkara kasasi, mediasi dianggap instrument efektif dalam proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.Â
Penasihatan di luar pengadilan, merujuk kepada Q.S. An-Nisa' 35, yang artinya, "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.Â