Aku dan Dia berprofesi sebagai fotografer. Dia adalah bos ku di kantor. Perawakannya tinggi ideal khas lelaki Asia yang mempunyai kharisma tinggi.
Hasil cepretannya bagus dan mempunyai makna sendiri. Editannya pun tak kalah mengesankan untuk dipamerkan. Layout-nya tidak pernah membosankan. Tempat pemotretan selalu mengikuti tempat wisata hits anak masa kini. Semuanya dilakukannya seorang diri. Dia bos yang langsung turun tangan  agar hasilnya memuaskan.
Suatu perjalanan yang membawaku ke sebuah tempat di kabupaten Yogyakarta. Hembusan angin dan bau anyir garam menyapa. Letupan panas memanggang kulit siang itu. Kamera sudah menjadi beban leher. Baseball cap dan kacamata hitam sudah melindungi kepala dari serangan sang surya. Kami sedang meninjau lokasi untuk pemotretan.
Bunyi deburan air yang menabrak karang terdengar telinga. Ombak menggulung tidak terlalu tinggi. Menghampiri kaki berbalut sandal. Membasuhnya sebentar, lalu pergi lagi. Meninggalkan jejak basah. Namun, bisa membersihkan pasir halus yang menempel.
Mataku menjelajah. Surai sebatas punggung yang bergelombang, diikat menjadi satu bagian. Angin memainkan floppy hat-nya dengan riang gembira. Tangannya terus dipaksa untuk menahan agar tidak berjalan kemana-mana. Kacamata hitamnya sedikit disampirkan ke hidung kecilnya menatap air yang sedang bertengkar dengan karang. Kulit putihnya terkena percikan buih.
"Nih..."
Aku sedikit terperanjat. Menoleh ke samping kiri. Sodoran air mineral dingin menggantung di udara.
"Makasih, Bos."
Tutup segel berbunyi 'klek'. Dinginnya terasa di tangan. Aliran air masuk memenuhi tenggorokan yang kering. Pak Bos menyuruhku berjalan lebih dulu karena dia ingin mampir di kedai pinggir pantai.
Pasir putih pantai sudah masuk pada sandal yang dipakai. Mencari tempat teduh untuk beristirahat sejenak. Sebelum melanjutkan kegiatan saat jingga datang. Payung besar sewaan memberikan kami perlindungan. Matanya menikmati pantai yang banyak pengunjung meskipun matahari sedang terik-teriknya.
"Pantainya terlalu ramai," tuturnya.
"Katanya spot senja terbaik di situ, Bos. Di antara batu itu," ucapku. Menunjuk dua tebing yang ada di tepian laut. Sisa karang yang tidak terlalu tinggi di barat daya.
"Apa gak bahaya?"
"Gak terlalu dalam kok, cuma sepuluh senti dari mata kaki."
"Itu se-mata kaki kamu."
"Model kita tinggi- tinggi, Bos..." kataku. "Kalau pake heels" aku cekikikan.
"Yaudah kali. Tunggu aja sampai senja nanti. Kadang realita tak seindah ekspetasi, Bos."
 Kami menunggu hingga petang menghampiri. Mengambil beberapa spot foto yang dibutuhkan. Kuarahkan lensa hitamku pada posisinya. Kali ini gadis itu memainkan air. Topi sudah tidak berada di atas kepalanya. Jidatnya sempit. Poni tipis yang mengelilinginya tersibak karena tertiup angin.
Kita kembali. Minibus travel menjemput tepat setelah magrib. Menuju penginapan. Dia duduk di sebelahku. Menekan layar display di kameranya. Melihat foto sambil menikmati perjalanan.
"Gimana, Bos?" Tanyaku.
"Bagus... semua tempat mempunyai ciri khas sendiri untuk menampilkan keindahan alam."
Aku mengangguk puas. Dia selalu menghargai setiap ciptaan. Itulah yang aku kagumi darinya. Selalu memandang semuanya dari beberapa sudut. Positif thinking. Tidak menghakimi. Dan selalu menghargai seseorang, apa pun itu.
Mataku mengarah ke depan. Membenarkan duduk. Tanpa sangaja mataku menatap gadis itu. Dia duduk di tengah. Kacamata hitamnya berganti jadi putih bening. Matanya mencuri-curi menatap rear view mirror. Berulang beberapa kali. Melakukan itu cukup lama. Hingga tak sadar sudah sampai di penginapan. Kita pun turun menuju kamar masing-masing.
*****
      Sisa tempat pemandian raja dan selir-selirnya ini menjadi objek kunjungan selanjutnya kami berada di kota ini. Bangunan vintage dengan beberapa arsitektur unik. Tour guide menjelaskan secara terperinci tiap ruangannya. Sambil mendengarkan kami sibuk dengan kamera. Meng-'klik' beberapa foto pada setiap sisinya.
Beberapa ada yang sudah tidak sesuai barisan. Berpencar untuk mencari kesenangan tersendiri. Aku menengok ke samping. Menghitung dalam hati. Sisa 3 orang yang bersedia mendengarkan tour guide berceloteh. Alisku mengernyit, sepertinya ada yang ganjal.
Aku berhambur menuju keluar tempat ini. Bergegas menuju mini travel. Setelah menerima chat dari aplikasi whatsapp.
"Bos..."
Matanya terbuka. Kepalanya mendongak. Tangannya memegang alat pernafasan.
"Gak papa, Bos?" Tanyaku
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.
Aku duduk kursi seberangnya. Mencoba menurunkan sandaran kursinya. "Kok bisa sih?"
"Kayaknya kecapean. Sebelum ke sini lembur terus. Kurang istirahat, penyakit asmaku kumat."
Aku memandangnya beberapa saat. Nafasnya mulai teratur, tapi giliran nafasku yang ngos-ngosan. Gara-gara menuruni banyak anak tangga dengan berlari.
"Mau lanjutin perjalanan atau cari penginapan aja bos?" Tanyaku
"Lanjut aja. Tanggung, kurang satu wisata," matanya masih sayu. "Nanti ambil fotonya kamu banyakin, gambar yang aku ambil buat cadangan aja. Nanti aku bantu buat jelasin saat presentasinya."
"Sorry udah ngerepotin."
 Apaan sih bos-nya ini? Seharusnya jadi bos itu cuma leyeh-leyeh. Pikir strategi meningkatkan kualitaas perusahaan di ruangan yang dingin AC. Tanda tangan berkas. Biar anak buahnya yang terjun ke lapangan. Memerintah itu merupakan hal wajar yang dilakukan bos ke karyawannya. Lalu ini? Memforsir tubuhnya dan bilang maaf?
Aku mendengus.
*****
      "Beneran gak apa apa, Bos? Mukanya masih pucat gitu."
      Kini dia yang mendengus. "Gak usah lebay."
      Dia terus berjalan. Menyusuri trotoar jalan. Mengarahkan kameranya pada gedung tua. Tabir langit sudah hampir menutup. Lampu kuning jalan mulai menyala satu-persatu.
      Dia menurunkan kameranya. Menghampiri seorang gadis yang sedang mengelus kepala kucing abu-abu. Rambutnya menutupi sebagian mukanya.
      "Hei..." kata Dia
      Gadis itu mendongak.
      "Mau ucapin terima kasih. Kemarin belum sempat." Senyumnya terbit. Terlihat sumringah.
      Gadis itu mengangguk. "Sama-sama."
      Dia tersenyum lagi. "Oh iya... ini kenalin teman aku."
      Aku melangkah maju. Sedikit terkesiap. Gadis kaca spion! Gadis yang saat duduk di mini travel selalu mencuri-curi pandang pada rear view mirror. Surai bergelombang yang selalu sendiri.
Aku memberikan tangan untuk dijabatnya.
      "Gadis ini yang nolongin waktu penyakit asmaku kumat." Kata Dia, padaku. Mukanya berseri.
      "Makasih, karena udah baik sama bosku."
      Membenarkan letak kacamatanya. Gadis itu kikuk. Menerima uluran tanganku.
Dia menggeplak tanganku. "Aku gak suka dipanggil bos!"
Kita tertawa.
***** Â Â Â Â Â Â Â
Setelah beberapa pekan setelah kembali. Dia sering sekali bepergian. Mengajaknya makan siang. Pergi jalan ketika weekend. Atau hanya sekedar berbincang. Untuk rutinitas sore, menjemputnya di sebuah kantor.
Hari ini Dia berada di sebuah gedung. Menemui seseorang yang sedang ditunggunya. Â Seorang penulis yang menjadi bintang tamu di acara yang diadakan di gedung biru ini. Sudah beberapa jam, tapi tidak ada hasil.
"Yon... gadis itu hilang... aku telpon gak pernah di angkat. Padahal kemarin baru aku antar pulang." Dia panik.
Aku menghembuskan nafas. "Tenang bos, mungkin dia lagi sibuk."
      "Gadis itu pergi kemana, ya..." Dia berucap dengan nada frustasi.
      "Gadis itu pasti baik-baik aja. Gak biasanya uring-uringan gini. Gunakan jiwa positif thinking, Bos."
      "Aku khawatir..." Lirihnya di seberang sana.
      Aku mematikan sambungan telepon.
      "Aku tidak bisa." Tatapan matanya sendu.
Dress bunga-bunga kuning pucat dipadukan dengan cardigan mocca. Tas kecil disampirkan ke samping kanan. Rambutnya tergerai. Kacamata persegi panjangnya tertempel di mukanya. Gadis itu sedang duduk di depanku.
Gadis itu mengambil minumannya. Memutar-mutar tepian gelas berisi cairan dengan telunjuknya. Â "Bukankah dunia ini tidak pernah baik? Selalu menghakimi dengan omongan tanpa pernah ingin bertanggung jawab. Tidak merasa bahwa omongan bisa menjadi pisau tajam yang menembus ulu. Meskipun itu sudah berada di zona pertemanan, bahkan keluarga sekalipun."
Minumannya diteguk. Matanya menyipit. Gadis itu berujar miris, "Semakin dekat hubungan, berbicara sesukanya tanpa memikirkan perasaan. Mereka malah cenderung mengabaikan itu terkadang."
Aku menatapnya lama. Melihatnya memainkan tepian gelasnya. Jarinya lentik. Kukunya terpotong rapi. Ada segaris putih yang menandakan kuku tersebut akan memanjang.
"Kenapa dengan kaca spion?" tebakku
"Untuk mengingatkan garis hitam di bawah mataku. Sangat kontras dengan kulitku yang pucat. Badanku juga berisi. Mirip seperti panda, hewan yang malas." Jawabnya.
"Siapa yang bilang?"
"Keluarga." Kata gadis itu
Aku mengernyit.
"Pertama kali kita mendapatkan pendidikan dini dari keluarga, kan? Orang yang paling dipercaya. Yang bertemu setiap hari dari bangun tidur sampai tidur lagi. Yang memberikan pengetahuan dini. Yang membentuk kepribadian diri."
"Justru omongan mereka yang begitu mengena di hati. Kadang orang niatnya ingin memotivasi, tapi malah menyakiti."
Mulutku terbuka. Kemudian tertutup lagi. Ingin bertanya, tapi takut-takut.
Gadis itu melihatnya, lalu menggeleng. "Aku bukan dari keluarga broken home."
"Kasih sayangku terpenuhi,"
"Orang tuaku lengkap,"
"Mereka selalu ada di rumah." Semua kalimat itu dikatakannya dengan senyuman lurus ke depan menatap orang-orang yang lalu-lalang.
"Mungkin itu bentuk kasih sayangnya kepadaku," katanya lagi. Gadis itu menatapku. Matanya berkaca-kaca.
"Ya... mungkin," jawabku.
"Tapi percayalah... masih banyak orang yang melihat bukan melalui fisik. Namun, hati dan kelakuan baik yang mereka cari."
Aku merogoh saku kiri celana jeans-ku. Mengeluarkan selembar kain berbentuk persegi. Memperbaiki tananan letaknya. Menyerahkan sapu tangan itu padanya.
 "Usia akan menua. Kulit akan keriput. Tubuh tak lagi tegap. Namun, kelakuan baik akan selalu di ingat meskipun kau sudah bersatu dengan tanah," kataku lagi.Â
Gadis itu tersenyum. Berucap terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H