Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasihat Ibu Peri di Kereta Api

19 April 2024   07:00 Diperbarui: 19 April 2024   07:08 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menyusun puzzle-puzzle ingatan tentang semua yang ia bicarakan. Satu persatu tergambarkan beberapa peristiwa yang aku lewati.

".....tidak sampai disitu saja. Lihatlah kantung matamu yang menghitam karena semalaman harus mencari uang tambahan. Lihatlah jemari dan kukumu yang tak secantik perempuan lain karena harus mengerjakan pekerjaan rumah yang bukan tanggungjawabmu. Lihatlah, lihatlah dirimu dalam pantulan cermin! Kau tercipta karena ada hal-hal baik yang kau bawa!"

Mataku mendung. Berusaha untuk menahan air hujan yang bersiap membasahi kedua pipi.

"Sampai kapan saya akan bertahan?" tanyaku lagi.

"Sampai semua kebaikan yang kau punya telah tersebar. Dan saat itulah, kau akan kembali. Percayalah, tangan Tuhan ada di mana-mana. Kau memang masih belum terlihat beridentitas karena belum menyempurnakan penutup rambutmu. Namun, tasbih tak lepas dari sela-sela jemarimu. Ibadah wajib sampai sunah terus kau kejar tanpa jeda. Kau terus merayu Tuhanmu yang jelas-jelas Maha Pencemburu atas ulahmu yang seringkali mementingkan orang lain dibandingkan kepentingan diri sendiri. Aku doakan samudera kesabaranmu bisa membawamu pada kehidupan abadi yang dimuliakan oleh Tuhan."

Tanpa sadar, aku turut meng-amin-kan ucapan perempuan itu. Penutup doa yang menyentuh ke hati. 

Belum sempat menata diri, ia bergegas merapikan barang bawaannya. Sembari berkata, "Aku harus bergegas. Tujuanku sebentar lagi tiba. Jaga dirimu baik-baik. Kau berharga, kau terhormat, dan kau sangat layak menerima kebaikan dari banyak tangan-tangan Tuhan. Hati-hati mahkotamu jatuh."

Belum sempat mengucap terima kasih, ia pergi begitu saja dalam pandangku. Entah berpindah ke gerbong mana. Atau jangan-jangan loncat keluar begitu saja?

Samar-samar terdengar adu mulut antara petugas dengan penumpang. Penumpang yang tidak mau membayar makanan pesanannya karena merasa tidak bersalah atas insiden jatuhnya makanan itu . Sedangkan petugas begitu yakin bahwa penumpang tersebut yang menjatuhkan pesanannya sendiri. Bukan bermaksud ingin mendesak, sudah terlanjur dibuatkan maka harus dibayar. Jika tidak, taruhan petugas kereta api yang harus membayar pesanan makanan yang tak mau diakui oleh pemiliknya.

Iba melihat petugas yang kena makian dari penumpang arogan itu, aku bangkit dari duduk sembari melerai. "Mbak, makanannya biar saya yang bayar. Anggap saja saya yang memesannya."

Petugas perempuan itu langsung membungkukkan badannya. Sebagai penghormatan rasa terima kasih yang dalam. "Terima kasih. Semoga kebaikan Mbak diganti berkali-kali lipat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun