Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasihat Ibu Peri di Kereta Api

19 April 2024   07:00 Diperbarui: 19 April 2024   07:08 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku begitu teliti memerhatikan setiap kata yang ia ucapkan. Tak ingin terlewat meski hanya satu huruf saja.

"Kau tahu mengapa istilah emansipasi lebih melekat pada perempuan? Karena laki-laki sampai kapanpun tidak memiliki kodrat perempuan. Mulai dari mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tiga kodrat perempuan yang begitu istimewa sekaligus sulit dijalani. Saking sulitnya, bisa menjadi amal ibadah mulia bagi perempuan."

Belum berhenti sampai di situ saja. Perempuan itu melanjutkan perkataannya. "Perempuan dibekali rahim. Salah satu sifat yang dimiliki Tuhan. Ar-Rahim, yang Maha Penyayang. Dan kau terpilih karena memiliki sifat itu."

Sambil mencoba mencerna segala ucapannya. Ia malah memintaku untuk melihat pria paruh baya yang duduk di sebelah bangku kami.

"Lihat pria tua itu. Sepanjang hidupnya berbakti kepada Ibunya. Tapi ia lupa untuk menghormati perempuan-perempuan yang ada di sekitarnya. Sibuk nemplok sana-sini. Menebar janji pada perempuan yang tulus mencintainya. Bahkan menghancurkan mental dan kehidupan perempuan yang tak tahu apa-apa."

Aku menelan ludah. Mencoba memastikan apa benar tuduhan tersebut. Pria paruh baya itu nampak seperti manusia pada umumnya saja. Yang sedari tadi tak henti memalingkan pandangan dari jendela kereta api.

Bermaksud tak ingin berprasangka buruk, aku memberikan komentar, "Tapi..."

Ia langsung memotong. "Sudah kubilang jangan banyak protes. Cukup dengarkan saja ucapanku."

Baiklah, mungkin memang ia tak menerima kritikan. Dalam artian, seseorang yang anti kritik.

"Lantas, mengapa saya tercipta hanya untuk dihempaskan?" tanyaku lagi sebagai pertanyaan berikutnya.

Ia langsung menjawab, "Kata siapa? Itu hanya pikiran sempitmu saja. Lihatlah luasnya kebaikan yang tanpa kau sadari terus mengalir mengasihi dirimu. Tidak ingatkah kau yang memilih membeli makan dengan porsi banyak untuk disantap bersama teman-teman? Padahal kau bisa membeli makanan dari restoran untuk dirimu sendiri. Lihatlah dirimu yang membelikan kado untuk seseorang, seperti kemeja, jaket, jam tangan, dan tas? Padahal kamu memakai barang-barang usang yang sudah bertahun-tahun tak kau ganti. Lihat jaket yang kini melekat pada tubuhmu. Masih menggunakan jaket saat kamu menjadi mahasiswa. Tak ada juga jam tangan yang melekat pada pergelangan tanganmu. Hanya melekat ikat rambut buluk berwarna hitam yang sudah kendor. Oh iya, ingatkah kau ketika memberikan pinjaman kepada orang lain? Padahal itu adalah uang terakhir yang bisa kau gunakan untuk sampai ke rumah. Kau membantu menyelesaikan sesuatu tanpa pamrih yang tidak menguntungkan nasibmu. Justru malah mempermulus nasib orang lain."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun