Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasihat Ibu Peri di Kereta Api

19 April 2024   07:00 Diperbarui: 19 April 2024   07:08 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penampakan suasana di gerbong kereta api. (Dok. KAI via kompas.com)

Dulu sewaktu kecil, setiap anak perempuan gemar bermain peran ibu peri. Sekelompok anak perempuan beradegan layaknya putri Cinderella yang beruntung bertemu dengan Ibu Peri baik hati yang dapat mengabulkan semua permintaan.

Mungkin sebagian anak-anak berasumsi bahwa kisah Ibu Peri nyata adanya. Berharap setiap terbangun dari tidur, melihat Ibu Peri duduk di sampingnya sembari mengelus rambutnya yang terurai panjang.

Imajinasi itu terhenti ketika sang anak bermetamorfosis menjadi ABG. Hidup dengan penuh semangat untuk melewati hari-hari indah di sekolah. Bermain, belajar, dan seterusnya mayoritas bermain.

Saat dewasa, dongeng Ibu Peri bagai sebuah karangan yang penuh tipuan. Mendidik anak sedari kecil bahwa akan selalu ada malaikat penolong dalam masalah hidup. Padahal kenyataannya, orang dewasa dituntut untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Sekalipun bukan ia yang menanam akar permasalahan itu.

Arus mudik lebaran mempertemukan aku dengan sosok yang ku sebut sebagai Ibu Peri. Meski tampilannya tidak seperti Ibu Peri dalam dongeng pengantar tidur, aku melabelkannya sebagai Ibu Peri yang dikirimkan Tuhan padaku.

Siang itu, aku memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Surabaya. Tujuannya bukan untuk mudik ke kampung halaman. Justru aku bermaksud untuk menghindari kampung halaman.

Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan kalimat tanya kapan. Daripada merusak kesehatan mentalku, lebih baik aku benar-benar membentengi diri untuk tidak bertegur sapa dengan mulut-mulut tidak beradab itu.

Suasana kereta api tidak terlalu padat. Entah mungkin karena aku berada di gerbong paling belakang atau memang Surabaya sudah dibanjiri oleh para pendatang. Membuat kereta api ini sepi penumpang menuju kota itu.

Aku sudah mengabari teman di sana. Sudah dua tahun ia merantau di Surabaya. Sudah dua tahun pula ia tidak pernah pulang ke kampung halaman. Kami sama-sama punya kesamaan. Sama-sama kesepian. Dan itu membuat aku ingin menengoknya meski hanya sebentar saja. Minimalnya, dapat saling menemani di momentum lebaran tahun ini.

Ku pesan bangku yang paling dekat dengan jendela. Berharap bangku di samping tidak ada yang menempati. 

Sepengalamanku, banyak orang random yang mengajak berbincang dengan isu sensitif. Mulai dari obrolan seputar kehidupan pribadi, sampai keputusan pemilihan partai politik. Alih-alih basa-basi, malah bikin jengkel sepanjang perjalanan.

Sejauh ini tidak ada tanda-tanda bangku di sebelahku akan terisi. Kereta api sudah singgah di beberapa stasiun besar.

Tiba-tiba, muncul sosok perempuan paruh baya yang berjalan tergesa-gesa. Aku tidak tahu persis datangnya dari mana. Toh kereta api sudah berjalan lebih dari setengah jam dari stasiun sebelumnya.

Pikirku mungkin perempuan itu salah masuk gerbong. Lalu tersadar karena diingatkan petugas dan segera mencari bangku yang sudah ia pesan.

Perempuan itu berbadan gempal. Memakai hijab merah dengan balutan busana muslim yang senada. Barang bawaannya cukup banyak. Terlihat kesulitan untuk menyimpan barang-barangnya.

Ku biarkan ia sendirian. Memasang wajah ketus agar tidak disapa. Memasang pengeras suara ke telinga. Sembari membuka halaman buku dengan asal.

Trik ini hanya ampuh di menit pertama saja. Lambat laun, perempuan itu mengintip halaman bacaanku. Berharap menemukan obrolan pembuka lewat buku itu.

"Bukunya bagus," katanya membuka obrolan.

Aku terdiam. Berusaha mengabaikan agar terlihat sebagai sosok yang extrovert.

"Buku itu berkisah tentang perempuan yang tidak percaya kepada dongeng. Lebih tepatnya membenci dongeng tentang kisah ibu peri yang dapat mengabulkan semua permintaan," tambahnya lagi terperinci.

Aku mengerucutkan dahi. Ternyata penumpang di sampingku bukan penumpang biasa. Pengetahuan literasinya cukup baik. Mungkin dia seorang Dosen Sastra, peneliti, atau mungkin sastrawan lokal.

"Kau mau tahu ending ceritanya?" tanyanya menawarkan.

Aku lantas menggeleng. Tak ingin diberi bocoran terkait buku yang sudah ku baca sejak tahun lalu. Dan tak kunjung ku selesaikan.

"Baiklah kalau begitu. Memang seharusnya seperti itu. Kita tidak usah tahu ending cerita kehidupan kita seperti apa," jelasnya.

Dugaanku salah. Nampaknya penumpang ini hanyalah tukang ngibul yang jago merangkai kata. Ia begitu getol dan niat menarik perhatianku dengan kalimat mutiara yang dapat aku temukan dengan mudah di Mbah Google.

Mood membaca hilang. Ku biarkan halaman buku yang terbuka membaca raut wajahku yang sedang jengkel karena harus bersebelahan dengan penumpang so bijak.

"Kenapa tidak dilanjutkan membacanya? Berubah pikiran ya? Mau tahu endingnya saja?" tanyanya lagi.

Aku tetap tak menghiraukannya. Seolah sedang asyik mendengarkan lantunan musik. Padahal tidak ada lagu yang diputar.

"Jangan pura-pura mendengarkan lagu. Kau bukan pemain peran yang cerdik. Bukannya, kamu tidak suka mendengarkan lagu?" timpalnya lagi.

Kali ini, aku benar-benar tidak bisa mendiamkannya. Perempuan itu benar-benar mengusik kesunyianku.

Langkah selanjutnya adalah menanggapi penumpang itu dengan obrolan ketus. Biarkan aku membungkam dirinya dengan jawaban tidak mengenakan.

"Kata siapa saya tidak suka mendengarkan lagu? Baru pertama bertemu kok Ibu sudah so tau ya?" jawabku ketus.

Ia malah tertawa. Membuat aku semakin bingung harus memperlakukannya seperti apa.

"Hahaha. Kau memang tak pandai berbohong. Lihat saja dari lengkungan matamu yang menghitam. Sudah seminggu ini kau menangis tersedu-sedu. Malah kau tutupi dengan make up tebal itu," jawabnya dengan nada tersedak karena tak kuat menahan tawa.

Rupanya perempuan itu ahli pembaca aura. Buktinya ia berhasil memberikan beberapa fakta tentang diriku.

Sadar tawanya tidak membuatku nyaman. Ia buru-buru menghentikan tawa jeleknya itu.

"Maaf, maaf. Kau begitu lucu. Membuatku tak bisa menahan tawa. Begini saja, sebagai permintaan maaf, kau boleh mengajukan tiga pertanyaan. Tapi ada syaratnya, kau tidak boleh banyak protes dengan jawabanku!" katanya menawarkan kesepakatan.

Penumpang di sampingku memang sangat ajaib. Setelah menertawakan aku, kini malah menawarkan diri untuk ditanya. Nyaris seperti tukang ramal dadakan di pasar malam.

"Bagaimana?" tanyanya lagi untuk memastikan kesepakatan.

Tanpa mengiyakan, langsung saja ku lontarkan satu pertanyaan pertama.

"Mengapa saya ditakdirkan sebagai perempuan?"

Perempuan itu menarik napas panjang. Bersiap mengeluarkan seluruh teori yang ia punya.

"Kau terlahir menjadi perempuan karena sudah digariskan oleh Tuhan. Tuhan memilihmu menjadi perempuan karena kamu punya kekuatan istimewa, yaitu kuat."

Aku begitu teliti memerhatikan setiap kata yang ia ucapkan. Tak ingin terlewat meski hanya satu huruf saja.

"Kau tahu mengapa istilah emansipasi lebih melekat pada perempuan? Karena laki-laki sampai kapanpun tidak memiliki kodrat perempuan. Mulai dari mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tiga kodrat perempuan yang begitu istimewa sekaligus sulit dijalani. Saking sulitnya, bisa menjadi amal ibadah mulia bagi perempuan."

Belum berhenti sampai di situ saja. Perempuan itu melanjutkan perkataannya. "Perempuan dibekali rahim. Salah satu sifat yang dimiliki Tuhan. Ar-Rahim, yang Maha Penyayang. Dan kau terpilih karena memiliki sifat itu."

Sambil mencoba mencerna segala ucapannya. Ia malah memintaku untuk melihat pria paruh baya yang duduk di sebelah bangku kami.

"Lihat pria tua itu. Sepanjang hidupnya berbakti kepada Ibunya. Tapi ia lupa untuk menghormati perempuan-perempuan yang ada di sekitarnya. Sibuk nemplok sana-sini. Menebar janji pada perempuan yang tulus mencintainya. Bahkan menghancurkan mental dan kehidupan perempuan yang tak tahu apa-apa."

Aku menelan ludah. Mencoba memastikan apa benar tuduhan tersebut. Pria paruh baya itu nampak seperti manusia pada umumnya saja. Yang sedari tadi tak henti memalingkan pandangan dari jendela kereta api.

Bermaksud tak ingin berprasangka buruk, aku memberikan komentar, "Tapi..."

Ia langsung memotong. "Sudah kubilang jangan banyak protes. Cukup dengarkan saja ucapanku."

Baiklah, mungkin memang ia tak menerima kritikan. Dalam artian, seseorang yang anti kritik.

"Lantas, mengapa saya tercipta hanya untuk dihempaskan?" tanyaku lagi sebagai pertanyaan berikutnya.

Ia langsung menjawab, "Kata siapa? Itu hanya pikiran sempitmu saja. Lihatlah luasnya kebaikan yang tanpa kau sadari terus mengalir mengasihi dirimu. Tidak ingatkah kau yang memilih membeli makan dengan porsi banyak untuk disantap bersama teman-teman? Padahal kau bisa membeli makanan dari restoran untuk dirimu sendiri. Lihatlah dirimu yang membelikan kado untuk seseorang, seperti kemeja, jaket, jam tangan, dan tas? Padahal kamu memakai barang-barang usang yang sudah bertahun-tahun tak kau ganti. Lihat jaket yang kini melekat pada tubuhmu. Masih menggunakan jaket saat kamu menjadi mahasiswa. Tak ada juga jam tangan yang melekat pada pergelangan tanganmu. Hanya melekat ikat rambut buluk berwarna hitam yang sudah kendor. Oh iya, ingatkah kau ketika memberikan pinjaman kepada orang lain? Padahal itu adalah uang terakhir yang bisa kau gunakan untuk sampai ke rumah. Kau membantu menyelesaikan sesuatu tanpa pamrih yang tidak menguntungkan nasibmu. Justru malah mempermulus nasib orang lain."

Aku menyusun puzzle-puzzle ingatan tentang semua yang ia bicarakan. Satu persatu tergambarkan beberapa peristiwa yang aku lewati.

".....tidak sampai disitu saja. Lihatlah kantung matamu yang menghitam karena semalaman harus mencari uang tambahan. Lihatlah jemari dan kukumu yang tak secantik perempuan lain karena harus mengerjakan pekerjaan rumah yang bukan tanggungjawabmu. Lihatlah, lihatlah dirimu dalam pantulan cermin! Kau tercipta karena ada hal-hal baik yang kau bawa!"

Mataku mendung. Berusaha untuk menahan air hujan yang bersiap membasahi kedua pipi.

"Sampai kapan saya akan bertahan?" tanyaku lagi.

"Sampai semua kebaikan yang kau punya telah tersebar. Dan saat itulah, kau akan kembali. Percayalah, tangan Tuhan ada di mana-mana. Kau memang masih belum terlihat beridentitas karena belum menyempurnakan penutup rambutmu. Namun, tasbih tak lepas dari sela-sela jemarimu. Ibadah wajib sampai sunah terus kau kejar tanpa jeda. Kau terus merayu Tuhanmu yang jelas-jelas Maha Pencemburu atas ulahmu yang seringkali mementingkan orang lain dibandingkan kepentingan diri sendiri. Aku doakan samudera kesabaranmu bisa membawamu pada kehidupan abadi yang dimuliakan oleh Tuhan."

Tanpa sadar, aku turut meng-amin-kan ucapan perempuan itu. Penutup doa yang menyentuh ke hati. 

Belum sempat menata diri, ia bergegas merapikan barang bawaannya. Sembari berkata, "Aku harus bergegas. Tujuanku sebentar lagi tiba. Jaga dirimu baik-baik. Kau berharga, kau terhormat, dan kau sangat layak menerima kebaikan dari banyak tangan-tangan Tuhan. Hati-hati mahkotamu jatuh."

Belum sempat mengucap terima kasih, ia pergi begitu saja dalam pandangku. Entah berpindah ke gerbong mana. Atau jangan-jangan loncat keluar begitu saja?

Samar-samar terdengar adu mulut antara petugas dengan penumpang. Penumpang yang tidak mau membayar makanan pesanannya karena merasa tidak bersalah atas insiden jatuhnya makanan itu . Sedangkan petugas begitu yakin bahwa penumpang tersebut yang menjatuhkan pesanannya sendiri. Bukan bermaksud ingin mendesak, sudah terlanjur dibuatkan maka harus dibayar. Jika tidak, taruhan petugas kereta api yang harus membayar pesanan makanan yang tak mau diakui oleh pemiliknya.

Iba melihat petugas yang kena makian dari penumpang arogan itu, aku bangkit dari duduk sembari melerai. "Mbak, makanannya biar saya yang bayar. Anggap saja saya yang memesannya."

Petugas perempuan itu langsung membungkukkan badannya. Sebagai penghormatan rasa terima kasih yang dalam. "Terima kasih. Semoga kebaikan Mbak diganti berkali-kali lipat."

Aku hanya tersenyum dan memberikan selembar uang kertas berwarna merah.

Seketika teringat bahwa uang itu satu-satunya penghuni terakhir dalam dompet. Bekal memesan ojek online dari stasiun untuk dapat sampai ke apartemen teman.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun