Aku tertegun sejenak. Mencoba mencerna kalimat yang baru saja mendarat di telinga kanan dan kiri.
Mungkin raut wajahku saat itu terlihat konyol. Atau mungkin seperti orang bodoh.
Aku hanya bisa mematung sejenak. Merasakan seluruh organ dalan tubuhku yang tersentak. Semuanya terlalu mendadak. Tidak ada aba-aba. Tidak ada pertanda.
Kesedihan itu seketika pecah. Berusaha bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Melarikan diri sembari wajah yang sudah dibanjiri tangis.
Mengunci pintu rapat-rapat. Bersandar pada pintu sambil memeluk kedua lutut.
Tak hentinya memberikan sentuhan pada kedua pipi. Mulai dari menampar dan mencubit. Sembari berkata, "Ini mimpi. Ini mimpi."
Namun ternyata semuanya bukanlah bunga tidur. Rasa ini terlalu nyata. Semuanya nampak menapak.
Kalimat terakhir itu bersahutan dalam pikiran. Aku mencoba menyusunnya. Mencari makna dari kalimat itu.
Jawabannya selalu sama. Sebuah keputusan di luar nalarku selama ini. Melebihi batasan zona merah yang pernah diikrarkan pada awal pertemuan.
"Semuanya sama saja," pikirku saat itu.
Semua rasa menyatu. Semuanya pecah dalam satu waktu yang sama.
Seseorang berbisik, "Hai, ada apa denganmu?"
Suara itu mengagetkanku. Aku rasa hanya sendirian di ruangan ini.
Ternyata ada makhluk lain yang sedari tadi memperhatikan kesedihanku. Bukan hanya saat ini. Tetapi, selama ini.
Suara itu dibiarkan saja. Diabaikan tanpa rasa kepedulian. Padahal ia hadir penuh kepedulian.
Suaraku semakin parau. Napas yang semakin terasa berat.
Ia kembali berbisik, "Hai, kontrol dirimu! Biarkan aku membantumu!"
Hati ini tergerak untuk mengikutinya. Seolah terhipnotis untuk menuruti ajakannya. Toh tak ada lagi yang bisa dilakukan. Selain kembali berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Sebuah mantra penenang terdengar di telinga. Seketika mulut ikut melafalkan mantra yang serupa.Â
Berulang kali mantra itu terucap. Memberikan kesejukan hati meski entah hanya berlaku sampai kapan. Mungkin hanya sementara. Bisa juga memang sebagai obat mujarab kala itu.
"Sudah lebih tenang?"Â tanyanya.
Aku mengangguk. Bertanda iya.
"Apa yang kamu rasakan saat ini?" tanyanya lagi.
Aku menjawab dengan tatapan kosong, "Sedih, kecewa, sakit, kesal, marah, patah, bodoh, tidak berharga..."
Belum usai mengutarakan semuanya, ia langsung memotong kalimatku.
"Kamu begitu berharga!"
"Apa buktinya?" tanyaku balik.
Ia menjawab dengan santai. "Semua makhluk di dunia ini yang tercipta, sangatlah berharga. Termasuk dirimu."
Aku menelan ludah. Tak memberikan tanggapan apa-apa.
Namun ia tetap saja berkicau. "Kemari! Tak perlu lagi kau sembunyi. Terlihat baik-baik saja akhir-akhir ini. Padahal nyatanya, kau hanya bersembunyi dibalik topengmu itu. Kau bersedih? Ya bersedihlah! Dunia memang tidak peduli akan itu. Tetapi dirimu sendiri punya hak untuk mengekspresikan semuanya!"
Aku malah tertawa. Ia tertegun pertanda bingung.
"Mengapa tertawa?"
"Bukannya aku harus bahagia? Menantikan momentum ini. Kembali mendekat dengan jarak yang tidak lagi terlalu signifikan. Lantas mengapa aku berusaha menghancurkan momentum ini?"
Ia kembali merangkul. "Bukan. Kau bukan bermaksud menghancurkan momentum bahagia ini. Justru kini bukan lagi masalah geografis. Tapi perkara kekhawatiran yang ingin kau sampaikan. Dan itu lumrah kau utarakan. Bukannya memang harus seperti itu? Satu sama lain mengetahui isi hati masing-masing?"
"Lantas mengapa ia menyudahi semuanya?" tanyaku dengan suara yang parau. Begitu berat diucapkan.
"Itu belum final. Kan ada Maha yang bisa membolak-balikkan hati manusia."
Aku dengan tegas menjawab, "Aku malas menabung harapan lebih banyak."
"Aku paham. Ingatlah, tidak akan ada yang benar-benar siap akan sesuatu yang baru. Tidak akan ada yang siap seratus persen. Untuk fase baru dalam hidup. Seperti hubungan baru, kehilangan, perpisahan, bahkan kematian."
"Semua diciptakan sendiri 'kan? Bukan tercipta dengan sendirinya?"
Ia mengangguk lagi.
"Aku sangat mencintai salah satu makhluk-Mu,"Â ucapku lirih dengan tatapan yang dalam.
"Aku tahu itu," jawabnya tegas.
"Boleh aku meminta waktu dihentikan? Sebentar saja. Aku ingin istirahat,"Â pintaku sambil memohon.
Ia menggeleng. Sembari berkata, "Tak bisa. Waktu akan terus berjalan. Umur semakin menua. Perubahan akan selalu ada. Kematian akan semakin mendekat."
"Aku lelah. Bolehkah aku hanya berusaha menyiapkan kematian saja? Bolehkah aku meminta dan mengutarakan itu kepadanya?"
Ia mengangguk kembali. "Sampaikan. Kau sedang berupaya menjaga diri."
Aku bangkit dalam diamku. Menghapus air mata untuk kembali menatap sorotan mata semua orang.
Langkahku terhenti. Ketika ia kembali menggenggam tanganku. "Tetaplah bersamaku ya? Sesungguhnya aku sangat mencintaimu dan merindukanmu yang selalu bersamaku."
Aku mengangguk dengan senyuman.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H