"Bukannya aku harus bahagia? Menantikan momentum ini. Kembali mendekat dengan jarak yang tidak lagi terlalu signifikan. Lantas mengapa aku berusaha menghancurkan momentum ini?"
Ia kembali merangkul. "Bukan. Kau bukan bermaksud menghancurkan momentum bahagia ini. Justru kini bukan lagi masalah geografis. Tapi perkara kekhawatiran yang ingin kau sampaikan. Dan itu lumrah kau utarakan. Bukannya memang harus seperti itu? Satu sama lain mengetahui isi hati masing-masing?"
"Lantas mengapa ia menyudahi semuanya?" tanyaku dengan suara yang parau. Begitu berat diucapkan.
"Itu belum final. Kan ada Maha yang bisa membolak-balikkan hati manusia."
Aku dengan tegas menjawab, "Aku malas menabung harapan lebih banyak."
"Aku paham. Ingatlah, tidak akan ada yang benar-benar siap akan sesuatu yang baru. Tidak akan ada yang siap seratus persen. Untuk fase baru dalam hidup. Seperti hubungan baru, kehilangan, perpisahan, bahkan kematian."
"Semua diciptakan sendiri 'kan? Bukan tercipta dengan sendirinya?"
Ia mengangguk lagi.
"Aku sangat mencintai salah satu makhluk-Mu,"Â ucapku lirih dengan tatapan yang dalam.
"Aku tahu itu," jawabnya tegas.
"Boleh aku meminta waktu dihentikan? Sebentar saja. Aku ingin istirahat,"Â pintaku sambil memohon.