Fahmi mengeluh dalam hati. Mimpi apa ia semalam hingga ia bersama Kia dikejar kedua aparat dengan begitu gigih. Ia pun melirik kaca spion mobil. Hanya untuk mendapati sang polisi yang lebih muda dan bertubuh kekar, mengeluarkan kepalanya dari jendela dan menggunakan toa.
"MENEPILAH! ATAU, KAMI AKAN BERTINDAK TEGAS TERUKUR."
"Bagaimana nih? Aku tak ingin kita berdua mati konyol ditembak mereka. Sementara pistolku ketinggalan di kamar tidurku. Maafkan aku, Kia. Kau pasti takut sekali," ujar Fahmi sembari melirik Kia. Alangkah terkejutnya Fahmi karena raut wajah Kia tampak begitu tenang. Tak ada sedikit pun rasa cemas pada wajah berbentuk hati tersebut. Bahkan, terkesan sedingin es.
"Ya sudah. Tepikan saja mobilnya," pinta Kia. Ia tampak begitu santai.
Sikap cuek bebek Kia tak urung membuat bulu kuduk Fahmi berdiri. Ada sesuatu yang ganjil dengan gadisku. Begitulah pikiran Fahmi sembari membuka pintu mobilnya. Ia pun berpesan, "Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari mobil! Tutup kaca mobilnya! Biar aku sendiri yang menghadapi mereka berdua."
Kia meleletkan lidah. Fahmi selalu saja memperlakukannya seperti bocah cilik. Mentang-mentang usia mereka berbeda 8 tahun.
***
      "Mengapa kalian berdua melarikan diri?" Tanya Imran, polisi yang berusia lebih muda. Ia tampak lebih garang dari Eko, polisi lainnya yang bertubuh gempal dan lebih pendek.
      "Maaf, Pak! Aku sangat gugup," jawab Fahmi. Ia tampak gelagapan.
      "Apa yang kalian lakukan di area gelap? Kalian melakukan tindak kejahatan, ya?" cecar Polisi Imran.
      "Tidak, Pak. Kami tidak melakukan apa pun."