Kia membuka pengait tas selempang tersebut. Hanya untuk menemukan puluhan. Tidak, ratusan peluru pistol. Ia mengerutkan kening dan menutup kembali tas tersebut. Ia pun menyodorkan tas tersebut pada Fahmi yang segera meletakkannya di bagian belakang jok kursi mobilnya.
      "Masa aku duduk bersandarkan peluru. Bagaimana jika pelurunya meledak?" Celoteh Kia. Bibir mungilnya merengut.
      Fahmi terkekeh. "Mana mungkin?"
      "Kau ini hendak perang? Masa membawa peluru sebanyak itu saat kencan?"
      "Aku tak ingin mengulangi kejadian saat kita ditembaki di jalan tol."
      "Tapi, jika kau membalas mereka pun berbahaya. Masa saling tembak antar sejawat hanya karena kesalahpahaman? Hanya karena masalah sepele?"
      "Aku bisa menembak ban mobilnya. Menurutku, kasus kemarin tak sepele. Hampir saja kau celaka," tukas Fahmi tak mau kalah.
      "Mereka bisa mengecekmu dari kode peluru. Sudahlah! Mereka berdua cukup baik. Melepas kita begitu saja."
      Fahmi tertawa, "Gadisku ini memang cerdas. Kau tahu juga ya mengenai senjata?"
      "Sedikit," gumam Kia. "Hey, kubilang jangan perpanjang masalah! Mengapa kita pergi ke area tol itu lagi?"
      "Jangan khawatir! Aku melintasi tol itu bukan karena mereka, tapi menuju obyek wisata kebun teh. Kau pasti suka pemandangan di sana."