Disclaimer: Kisah hantu mantan (hantu kepala) terinspirasi dari pengalaman pribadi penulis yang tak berdosa ini, yang jatuh 3 anak tangga akibat hendak digigit hantu kepala yang super aktif. Saat itu malam kelam tak berbintang semurung jiwa saldo yang meronta, penulis sedang menjadi Cinderella yang mencuci baju adik-adik yang menggunung di teras. Entah mengapa hantu kepala itu menyamar menjadi wajah Alm Paman? Hanya rambutnya lebih jabrik dan kulit wajahnya segosong arang (nggak skincare-an akibat inflasi mata uang daun). Kalau dikejar hantu kepala, tak keburu mengucapkan doa sepatah kata pun. Kecepatan hantu kepala itu melebihi kecepatan penagih hutang. Setiap detiknya, ia semakin dekat. HUEEE! Yang penting lari saja dululah. Lari! Selama kaki masih bisa berlari...Dan jatuh dengan cantik karena tersandung ember cucian. Wkwkwk. Akibatnya, bokong penulis memar selama seminggu. Huhuhu. Mama sampai merenovasi ruang teras rumah lama hingga tertutup papan. Khawatirlah asisten Cinderella ini semaput digigit hantu jika terulang lagi ^.^
Sebenarnya, penulis juga merasa heran. Dalam hidup ini, sudah 2 kali melihat hantu kepala. Jenis hantu ini kan agak langka. Dan muncul di perumahan yang padat penduduk. Hantu kepalanya eksis :P
Yang kedua kali pun janggal. Padahal saat itu baru jam 9 malam dan kostannya ramai. Penulis baru saja keluar dari kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar tidur yang letak di lantai satu dan berhadapan langsung dengan taman. Tiba-tiba penulis melihat kepala yang sangat besar (besarnya buanget sekitar 2/3 mobil sedan) dengan rambut panjang menjurai, sedang mengintip ruang-ruang tidur di lantai dua. Hantu itu melayang sekitar 5 meter dari permukaan tanah. Langsung dong penulis masuk ke dalam kamar tidur. Nggak mau ah tatap-tatapan. Maaf bukan muhrim. :P (kecuali kalau hantunya seganteng Oppa di Winter Sonata)
Kedua hantu kepala itu pria. Apakah mereka berdua itu jin yang sama walaupun berbeda wajah? Entahlah. Penulis bukan indigo. Dan penulis masih waras. Masih menghirup oksigen. Masih makan ikan asin pula.
Hantu kepala ini tak bisa menembus pintu atau dinding rumah. Jadi, sebelum Magrib memang sebaiknya menutup pintu dan jendela. Kecuali, kalau kau ingin cilukbaan.
Sampai sekarang penulis heran. Mengapa sih hantu di Indonesia nggak nebeng treatment di klinik kecantikan? Agar lebih glowing  gitu. Semakin usia penulis bertambah, kok wajah hantu-hantunya terlihat semakin seram, ya? Sudah begitu hantu-hantunya semakin semangat mengejar. Heran banget karena berdasarkan teori, hantu dan manusia sama-sama sial jika bertemu. O.o
Mengapa dipilih tema mantan? Ya, karena mantan dan hantu kepala sama-sama senang mengejar.
Tolong para pembaca mendoakan sejenak! Semoga penulis banyak dikejar US$, bukan dikejar hantu usil ala spy. Amin. Selamat membaca ^.^
PS: Kisah ini tak bermaksud menyinggung profesi lurah, dll.
_______
Dengan puas Bu Lurah menatap dirinya sendiri di kaca spion mobilnya. Ia sudah siap berjuang mempertahankan cinta suaminya. Alat perang sudah ia bubuhkan dengan hati-hati selama 3 jam. Eyeshadow emas, liptint semerah darah, dan bedak setebal kapur dinding. Tak lupa perona pipi berwarna peach ala KBeauty. Ya! Ia merasa adrenalinnya mengalir deras. Ia pasti menang melawan pelakor jahanam. Sore ini ia akan memergoki suaminya dan sang pelakor. Biar mereka berdua tahu rasa!
Bu Lurah melintasi halaman kantor kelurahan Bianglala dengan segala rasa membuncah di dada. Cinta. Galau. Dendam. Amarah. SEMANGAT PERJUANGAN CINTA!
"Mami Lurah, kok datang akhir pekan begini? Mau ketemu Papi Lurah? Beliau sedang rapat." Tanya Irfan, pedagang bakso super ganteng, yang baru saja keluar dari kantor kelurahan. Tangannya penuh dengan mangkuk kosong.
Bu Lurah menganggukkan kepala penuh wibawa. Ia ingin menahan tawa melihat Irfan yang ternganga menatap wajahnya. Detik itu ia merasa sungguh superior. Ia memang cantik. Sangat cantik. Ia pun melambaikan tangan pada Irfan dan berjalan menjauh.
Andai saja Bu Lurah tahu. Irfan ternganga karena makeup Bu Lurah belepotan ala vampir. Irfan meneguk ludah dan mengumpulkan segenap keberaniannya. "Mami Lurah, tunggu! Ada yang harus Irfan bicarakan... Mami Lurah!"
 Bu Lurah mengibaskan kepalanya yang berhijab pink. Angin sepoi membuat ujung hijabnya yang merupakan benang-benang emas menari riang. Ia tak mempedulikan panggilan Irfan. Ia memang cantik. Pemuda seganteng Irfan pun mengejar dirinya. Maaf Irfan, cinta Mami hanya untuk Papi Lurah. Semesta pasti berpihak padanya. Tapi, ternyata semesta berkata lain...
PREEET! PROOOT!
      Bu Lurah melirik ke kanan dan kiri. Untung, tak ada staff kelurahan yang mendengar bunyi dentuman meriam Bu Lurah. Ia meringis kesakitan dan meraba perutnya yang agak buncit. Angin semilir membuat perutnya sakit melilit. Secepat kilat ia berderap menuju toilet perempuan di area belakang kantor kelurahan.
"Aaargh, lega. Akhirnya, keluar juga," ucap Bu Lurah pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya merinding.
Sekelebatan kepala mematung di luar kaca jendela yang buram tersebut. Tapi, Bu Lurah belum menyadarinya. Kemudian, terdengar kekehan. "Akhirnya, aku menemukanmu..."
"SIAPA ITU YANG MENGINTIP?" Teriak Bu Lurah histeris. Wajahnya langsung merah padam. Kedua mata Bu Lurah yang sebelo jengkol, jelalatan hingga lalat hijau pun tak punya nyali untuk adu mata dengannya. Pandangannya terfokus pada kaca jendela kecil toilet yang hordennya tersibak sebagian. Ini biang keroknya.
Dengan penuh amarah, Bu Lurah membuka jendela dan menimpuk bagian belakang kepala yang bersembunyi di balik pohon rambutan tersebut dengan gayung. PLETAK.
Terdengar suara teriakan parau. Kemudian, bunyi sesuatu yang jatuh dengan keras. BRAK!
Bu Lurah menggeram senang. Ia pun berkata pada dirinya sendiri, "Rasakan! Beraninya mengintipku yang sedang kebelet sakit perut akibat makan rujak mangga muda. HAH! Siapa kau? Meremehkan diriku yang mantan jawara pemain voli tingkat kelurahan. Aku harus mengadukan masalah pengintipan ini pada Papi Lurah. Harga diriku sudah tercemar." Ia pun segera membuka pintu toilet itu sekuat tenaga gajah hingga engselnya hampir copot.
"PAPI LURAH!!!! MAMI MALU, PI! MAMI MALU! HUEEE!"
Pak Lurah alias Papi Lurah yang sekurus lidi, hampir terjungkal dari kursi kerjanya ketika sang istri dengan kecepatan meteor, berderap menghampiri dan menabrak dirinya. Tanpa rasa jengah, di hadapan anak buahnya, sang istri yang bertubuh super montok, meremuknya dengan pelukan seketat ular piton yang belum makan sebulan. "Aduh, Mami Sayang. Mengapa kemari tak bilang dulu? Papi lagi rapat nih! Malu dilihat anak buah seperti ini. Kita kan sudah berumur."
"Memangnya tak boleh?" Tanya Bu Lurah dengan nada suara segarang singa betina terluka. Ia menengadah dan menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Terpicu dengan larangan suaminya, Bu Lurah malah memperketat pelukannya. "HUEEE, PAPI LURAH JAHAT. NGGAK MAU DIPELUK. MEMANG KURANG APA CINTA MAMI PADA PAPI LURAH?"
"Bukan begitu, Mi... Tapi, Papi nggak... nggak bi ... bisa na...na..."
"NAFISA. LAGI-LAGI NAFISA. PAPI LURAH NGGAK PEDULI LAGI SAMA MAMI. PASTI GARA-GARA PAPI LURAH KEPINCUT NAFISA, SI JANDA KEMBANG GENIT ITU? MAMI TAHU NAFISA SELALU CURI-CURI KESEMPATAN UNTUK MENYINGKIRKAN MAMI...ALASAN SAJA LEMBUR, PADAHAL KALIAN SEDANG PACARAN."
"Na...na...na..." Rona wajah Pak Lurah berubah seungu terung busuk.
"HUEEE! NAFISA JELEK. JUTEK. BAU KETEK. MAMI TAHU PAPI LURAH TERGILA-GILA CEWEK BAHENOL ITU. SEMALAM SAJA PAPI MENGIGAUKAN NAMANYA 5 KALI," jerit Bu Lurah. Tanpa sadar ia kembali menaikkan level cengkeraman pelukannya.
Kedua mata Pak Lurah terbeliak ke atas. Ia merasa kesadarannya semakin lama semakin menghilang. Haruskah ia mati dengan romantis alias konyol di pelukan istrinya yang sekuat bison? Ia sungguh menyesal. Seharusnya, dulu ia menolak perjodohan dengan Ida yang sekarang menjadi istrinya ini. Ida memang kaya raya dan penuh kasih sayang, tapi ia sekekar Hulk. Ia tipe perempuan terlarang untuk dirinya yang kering kerontang. Pelukannya bisa meremukkan tulang dinosaurus! Memang pria bertubuh kecil seperti dirinya, mudah terpikat dengan perempuan yang bertubuh tinggi besar. Belum lagi cemburuannya minta ampun!
"Mami Lurah, lepaskan! Papi Lurah hampir pingsan. Mami mau membunuh Papi?" Omel Rozy, sang sekretaris desa yang seefisien robot Artificial Intelligence (AI). Ia berusaha mengurai pelukan berbisa tersebut. Walaupun berusia jauh lebih muda, Rozy memang pemberani. Rozy tak rela jika Pak Lurah tewas di tangan istrinya sendiri, maka penggantinya ialah sang wakil, Bu Nafisa yang kerjanya hanya bersolek. Mendengar kecemburuan Bu Lurah, kecurigaan Rozy selama ini terbukti nyata. Bu Nafisa yang cantik jelita memang main api dengan Pak Lurah. Kinerja Bu Nafisa begitu buruk, tapi ia selalu dipuji oleh Pak Lurah.
Bu Lurah tersadar. Ia segera melepaskan rangkulannya.
Pak Lurah terbatuk-batuk. Paru-parunya berusaha merengkuh oksigen dengan rakus. Dengan wajah merengut, ia bertanya, "Mami mau Papi jadi almarhum? Nggak kira-kira meluknya. Papi mau bilang bahwa Papi nggak bisa napas. Mengapa Mami malah ribut mengenai Nafisa?"
Bu Lurah tersenyum malu. "Maaf, Pi. Tadi Mami emosi. Habis Papi juga sih!" Kemudian, ia teringat kembali masalah yang membuatnya panik. Dengan bibir bergetar hebat, ia terisak, "Mami dilecehkan, Pi. Mami dilecehkan."
Pak Lurah yang masih jengkel dengan kejadian naas yang hampir membuat dirinya berpindah ke alam lain, mendengus tak percaya. Mana mungkin ada orang yang berani melecehkan Ida Sulistyowati, Bu Lurah yang perkasa? Dibanding dibully, istrinya lebih cocok menjadi pembully. Sungguh kejam pandangan Pak Lurah, padahal Bu Lurah sangat mencintainya. Memang pria yang sedang tergila-gila dengan perempuan lain, cenderung melupakan kebaikan sang istri.
Dengan sendu, Bu Lurah menatap lekat kedua mata suaminya. "Papi Lurah sudah nggak peduli. Papi Lurah nggak cinta Mami lagi. HUEEE! Mami mau pulang ke rumah orangtua Mami di Malang. Mami mengalah agar Papi Lurah puas. Biar Papi Lurah bebas berpacaran dengan Nafisa."
Begitu mendengar ancaman tersebut, keringat dingin di pelipis Pak Lurah langsung mengucur deras. Ini level 'Awas' gunung berapi yang hendak muntah. Mana berani Pak Lurah menghadap Gusti Tuanku Yang Mulia Mertua. Ia sungguh merasa dirinya sekecil partikel nano jika berhadapan dengan kedua mertuanya yang mentereng. Mereka berdua ningrat yang kaya raya. Pak Lurah juga berhasil mencapai kedudukannya berkat sokongan finansial mertuanya. Ia teringat kalimat pedas sang mertua yang walaupun renta, tetap segarang macan tutul, "Kuberikan Ida, anak kesayanganku. Begitu kau sakiti hatinya, akan kutarik semua harta yang telah kuberikan. Akan kubuat hidupmu dalam neraka. Ingat itu!"
Secepat kilat, Pak Lurah mengubah strateginya. Dengan suara selembut sutera, ia pun membujuk istrinya yang berurai air mata. Jemarinya yang mulai keriput, mengusap lembut pipi bakpao istrinya. "Mana mungkin Papi nggak cinta Mami. Papi sangat cinta Mami. Apalah artinya Nafisa dibandingkan Mami yang selalu ada untuk Papi?"
Tanpa sepengetahuan Pak Lurah, Nafisa baru saja datang. Nafisa memang selalu terlambat di rapat yang diadakan setiap Hari Sabtu jam 5 sore karena itu jadwal ia melakukan facial di salon kesayangannya. Siapa suruh Pak Lurah memaksa mereka rapat di hari libur? Walaupun demikian, Nafisa tak pernah absen karena rapat ini memang modus Pak Lurah. Setelah selesai rapat, biasanya Pak Lurah mengajaknya makan satai di dekat kantor kelurahan. Yah, Nafisa tahu Pak Lurah sudah punya istri. Dan siapa yang tidak? Tapi, Nafisa senang ditraktir dan diajak jalan-jalan keliling kota. Walaupun jabatannya sebagai wakil Pak Lurah, uang Nafisa pas-pasan akibat gaya hidup sosialita yang dijalaninya. Oleh karena itu, Pak Lurah yang sering mentraktir dirinya yang sering kelaparan, ia anggap dewa penolong. Sayangnya, Bu Lurah sangat cemburuan.
Nafisa terbelalak melihat adegan cinta antara Pak Lurah dan Bu Lurah. Bibirnya yang dipulas liptint merah manyala, mengetat. Ia pun segera menutup kembali pintu rapat tanpa mempedulikan lambaian tangan super panik Pak Lurah. Ah, tak mau ia terjebak situasi berbahaya dengan Bu Lurah yang tatapan matanya setajam pisau stiletto. Dengan sedih, ia meraba perutnya yang langsing dan sedatar papan. Kasihan kau, cacing-cacing perutku! Malam Minggu ini kalian harus berpuasa.Â
"Terus saja tatap pintu itu hingga bolong. Berharap kekasih gelapmu itu akan kembali," gerutu Bu Lurah. Bibirnya mencibir.
"Nafisa bukan kekasih gelapku. Sudahlah. Kau pulang saja terlebih dahulu. Aku hendak melanjutkan rapat," ujar Pak Lurah. Ekspresi wajahnya yang sempat panik, sudah kembali datar seperti biasa.
"Papi Lurah tak peduli dengan apa yang kualami," protes Bu Lurah sembari menghentakkan kaki kanannya.
"Memangnya apa yang kau alami?" Tanya Pak Lurah berusaha bersabar.
"Tadi ada yang mengintipku. Aku berhasil menimpuk kepalanya dengan gayung. Pasti pengintip itu kepalanya benjol. Aku yakin pelakunya ialah salah satu dari kalian," tuduh Bu Lurah sembari menunjuk para staf pria yang tercengang. Langsung terjadi keriuhan di antara para staf.
"Mana mungkin, Mami Lurah. Kami kan sedang rapat," dalih Oni, staff keuangan kelurahan.
"Bisa saja menyelinap," tukas Bu Lurah.
"Masa ada yang berani mengintip? Mungkin itu hanya perasaan Mami saja," ujar Pak Lurah penuh sangsi. Ia pun celingukan. "Nggak ada satu pun kepala staf pria yang benjol. Mengapa Mami berani menuduh tanpa bukti?"
"Hari Sabtu tak ada pengunjung. Siapa yang bisa masuk area halaman untuk mengintip toilet perempuan?" Tegas Bu Lurah. Hal tersebut diiyakan oleh para staf perempuan.
"Benar, Mami Lurah. Akhir-akhir ini aku merasa ada sepasang mata yang mengintipku..." Ujar Vina. Staf perempuan yang lainnya pun menganggukkan kepala.
      "Bukan perasaanku saja, kan?" Sindir Bu Lurah dengan angkuh pada suaminya yang hanya bisa menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal.
      "Ya, Mami, aku mengaku salah. Yang berhasil memecahkan masalah pengintipan toilet perempuan ini, kuberi bonus 500 ribu Rupiah. Lumayan untuk ngebakso. Papi tunggu penyelesaian kasus ini hingga minggu depan."
      Para staf langsung berteriak gembira. Bahkan, mereka menabuh meja. Menjelang akhir bulan memang saldo menjerit-jerit. Maka, dimulailah penyelidikan ala Detektif Conan.
      Tanpa mereka ketahui di halaman dekat toilet perempuan, tepatnya di bawah pohon rambutan, tergeletak kepala yang mengenaskan.
Roy merintih-rintih. Seharusnya, ia tak menangis karena ia hantu kepala. Disambit gayung oleh Bu Lurah, tak akan membuat dirinya sakit. Ia sudah tak bisa merasakan sakit lagi. Ia hanya terkejut. Juga sakit hati. Perempuan itu melupakannya...
Roy tak mengerti mengapa ia terikat di kantor kelurahan ini. Kepalanya tak bisa melewati pagar kantor kelurahan. Ia hanya bisa tinggal di halaman kelurahan. Di ingatannya yang tertinggal sebelum ia tewas dengan mengenaskan ialah bekas luka berbentuk bulan sabit di pinggul kanan seorang perempuan yang ia yakini merupakan mantan kekasihnya. Tapi, ia tak bisa mengingat wajahnya. Oleh karena itu, ia terpaksa mengintip perempuan demi perempuan di toilet. Berusaha mengurai teka-teki kematian dirinya. Baru saja ia berhasil menemukan perempuan misterius itu, kepalanya terkena hantaman gayung. Sungguh dunia ini kejam nian!
___
      "Belum ada titik terang masalah pengintipan. Padahal deadline sudah dekat. Rozy kau kan yang paling jenius di antara kita. Kapan ya bisa dapat uang hadiah? Aku lapar ingin ngebakso," ucap Vina dengan manja.
      Rozy membetulkan kacamatanya yang melorot. "Aku sibuk." Jari-jarinya sibuk mengetik keyboard komputer di hadapannya.
Vina mencibir. "Dasar manusia bionik. Nanti Papi Lurah marah lho jika tak ada satu pun yang berhasil mengungkap pengintipan toilet perempuan."
      "Mengapa kau tak membuat daftar korban pengintipan? Tanyakan kesan-kesan mereka. Aku tak punya waktu melakukannya. Nanti kita diskusikan. Dan jika berhasil, hadiah dari Papi Lurah kita bagi dua. Bagaimana?"
      Vina menjerit senang. Ia pun memeluk Rozy dari belakang hingga wajah Rozy semerah kepiting rebus. "Rozy memang yang terbaik."
***
      "Rozy, ada yang janggal," lapor Vina.
      "Hmmm..." Gumam Rozy tanpa mengalihkan pandangannya dari setumpukan berkas.
      "ROZY!" Ujar Vina sembari mendekatkan kepalanya pada Rozy.
      Rozy menghela napas. "Apa yang janggal?"
      "Seluruh staf perempuan di kelurahan ini menjadi korban pengintipan, kecuali Bu Nafisa."
      "Menarik. Padahal ia tipe perempuan yang menarik perhatian."
      "Diam-diam aku menyelidiki latar belakang Bu Nafisa. Kebetulan sepupuku itu tetangga Bu Nafisa."
      Rozy langsung tertarik. "Oh, apa yang kau temukan?"
      Vina berbisik, "Bu Nafisa terlibat cinta segitiga..."
      "Ah, itu sih bukan rahasia. Mami Lurah kan cemburu setengah mati dengan dirinya."
      Vina merengut. "Dengarkan dulu! Bu Nafisa terlibat cinta segitiga hingga mengakibatkan kematian calon suaminya."
      "Masa?"
      "Nama calon suaminya Roy Ardan. Tepat sebelum hari pernikahannya, ia dan adiknya memergoki Bu Nafisa berpelukan dengan Deo, sahabatnya sendiri. Saking marahnya, ia memukul Deo. Lalu, ia berlari meninggalkan mereka semua dan menaiki lift yang pintunya rusak." Vina bergidik dan melanjutkan kisahnya, "Kepalanya putus terjepit."
      "Lalu, bagaimana dengan Bu Nafisa dan kekasihnya?"
      Vina mengangkat bahu. "Mereka tidak menjalin cinta. Hanya Hubungan Tanpa Status (HTS). Ia melimpahi Bu Nafisa dengan barang-barang bermerek. Tapi, bukan cinta."
      Rozy merenung. "Kinerjamu bagus. Mungkin ini merupakan titik awal penyelidikan kita."
      Dengan bibir bergetar, Vina berkata, "Tapi, aku takut. Bagaimana jika yang mengintip itu hantu Roy?"
      "Bukankah itu bagus? Lebih berbahaya jika kita berhadapan dengan manusia."
      Vina merengut. "Bagus apa? Aku takuuuut!"
      "Ingat uang hadiah untuk bakso. Bisa jajan 25 kali," goda Rozy.
      "Nyebelin," tukas Vina sembari menjulurkan lidah.
***
      Roy terpana. Perempuan itu datang lagi. Ia mengenali perawakan tubuh yang tegap itu. Dengan perasaan senang bercampur waswas, ia melayang dan menghampiri Bu Lurah yang kembali datang untuk menyidak suaminya di kantor kelurahan.
      Begitu perempuan itu membalikkan tubuh. Roy terpana. Masa sih perempuan ini ialah mantan kekasihnya sebelum ia tewas? Tapi, bekas luka di pinggul kiri itu benar. Mungkin semasa hidupnya ia menyukai tipe perempuan yang lebih tua dan menor ala ondel-ondel.
      Setelah menetapkan hati, Roy pun menampakkan diri. Ia tak peduli menampakkan diri di siang bolong. Bahkan, di hadapan banyak orang, termasuk Pak Lurah. "Sayang, aku sangat mencintaimu. Aku sudah tak memiliki waktu lagi. Aku hanya ingin menyampaikan pesan terakhir. Walaupun aku kehilangan ingatan semasa hidupku dan penyebab tewasku, aku mengingat kaulah kekasih yang sangat kucintai. Aku hanya ingin meminta maaf jika memiliki kesalahan padamu semasa hidup. Selamat tinggal, Sayang."
      Bu Lurah hanya diam terpana. Tak salahkah ini? Ia tahu dirinya sangat cantik. Tapi, masa ia dicintai hantu kepala? Oh Mami Papi, pesona anakmu ini begitu hebat hingga menggetarkan hati hantu....
      "Maaf, Dik. Tapi, aku tak mengenal Adik. Bagaimana mungkin kita sepasang kekasih?" Dalih Bu Lurah.
      Pak Lurah mendeham. "Mami, mengaku sajalah. Kau menuduhku affair dengan Nafisa. Tapi, kau sendiri yang affair dengan seorang pemuda. Bahkan, hantunya pun masih menyatakan cinta padamu. Betapa romantisnya..."
      Bu Lurah menatap suaminya dengan pandangan gusar. "Papi Lurah ini tega banget menuduh Mami. Jika Papi Lurah suka selingkuh, bukan berarti Mami bisa selingkuh."
      Roy bersikeras, "Aku melihat bekas luka di pinggul kiri Mami. Itu tanda yang kuingat benar sebelum aku tewas mengenaskan. Mami pasti kekasihku. Jangan mengelak! Tak ada gunanya membohongi hantu."
      "Ah...pusing kepala Mami. Kapan Mami selingkuh?" Tukas Bu Lurah sembari memegang pelipisnya.
      "Yah, mana Papi tahu," jawab Pa Lurah sinis hingga Bu Lurah memelototinya.
      Dengan nada monoton, Rozy berkata, "Mungkin Bu Nafisa bisa menjelaskan mengapa ada hantu kepala yang suka mengintip perempuan-perempuan di toilet."
      "Nafisa? Apa hubungannya dengan Nafisa? Sudah jelas hantu kepala itu mengejar Mami," ujar Pak Lurah yang selalu sensitif jika gebetannya disinggung.
      "Benar, Pak Lurah. Calon suami Bu Nafisa mengalami kejadian tragis. Kepalanya terjepit pintu lift," kata Vina.
      Nafisa gelagapan. Sebenarnya, ia mengenali wajah Roy. Tapi, ia takut untuk mengakui segalanya. Apalagi di hadapan Pak Lurah. Bisa hilang tambahan penghasilannya selama ini. "Aku tak mengenal hantu kepala itu. Lagipula aku tak memiliki bekas luka di pinggul kiri."
      Roy berdecak kesal. "Ah, aku yakin benar tewasnya diriku berkaitan dengan bekas luka di pinggul kiri seorang perempuan."
      Rozy teringat sesuatu. "Mami Lurah, bukankah Mami pernah cerita bahwa Mami menabrak seseorang yang bersepeda hingga jatuh terpental?"
      Bu Lurah mengangguk. "Iya, Rozy. Kejadian itu beberapa bulan yang lalu. Saat itu Mami sedang jogging. Sepeda itu menikung cepat dan menabrak Mami. Tapi, malah pesepeda itu yang jatuh dan gegar otak. Gamis kesayangan Mami robek-robek. Setang sepeda itu melukai pinggul kiri Mami cukup dalam hingga lukanya berbekas.Tapi, apa kaitannya dengan masalah ini?"
      Vina bertepuk tangan. "Rozy hebat. Otak cemerlang. Tak bisakah kalian semua melihat kaitannya?"
      Pak Lurah mendengus tak senang. "Aku yakin ini semua fitnah untuk Nafisa. Kasihan Nafisa. Lihatlah wajahnya yang pucat pasi!"
      "Hantu ini tercampur ingatannya antara kejadian ia tewas dan kejadian ia saat ia gegar otak karena menabrak Mami Lurah," jelas Vina.
      "Kalau begitu seharusnya hantu kepala ini berkomunikasi dengan Nafisa, bukan diriku," ujar Bu Lurah penuh kemenangan. "Nafisa, mengapa kau tak mau mengaku juga?"
      Nafisa menangis. Pertahanan dirinya hancur. "Roy, aku tak pernah bermaksud menjadi penyebab tewasmu secara tak langsung. Aku dan sahabatmu, Deo, hanya menjalani hubungan tak serius. Aku akui aku memang materialistis dan tergiur barang-barang mahal pemberian Deo. Tapi, yang kucintai itu kau, Roy. Walaupun kau mungkin tak mempercayainya. Aku mencintaimu. Maukah kau memaafkanku?"
      Pak Lurah terperangah. Ia hampir semaput mendengar pernyataan cinta Nafisa pada si hantu kepala. Sementara Bu Lurah terkikik senang persis kunti. Nafisa, terbongkarlah rahasia kelammu. Papi Lurah tetap menjadi milikku. Selamanya...Â
      Roy, si hantu kepala tertegun. Kemudian, ia menyemburkan senyum hangat hingga ketampanannya tampak begitu memukau. "Nafisa, aku sampai melupakanmu. Ingatanku tercampur aduk. Mungkin karena trauma kematian yang kualami. Aku tak ingin ada dendam di antara kita. Sekarang aku bisa mengingat masa-masa indah kita bersama."
      "Maafkan aku!" Ulang Nafisa. "Aku yang menyebabkanmu murka sehingga kau ceroboh dan mengalami kecelakaan lift."
"Ya, aku memaafkanmu. Berbahagialah di dunia ini."
      "Roy, jangan pergi dulu! Aku masih kangen padamu," ratap Nafisa.
      "Sayang, kita sudah tak bisa bersama. Ingatlah, aku selalu mencintaimu. Selamat tinggal."
      Hantu kepala Roy pun perlahan menghilang. Dan berubah menjadi percikan keperak-perakan.
      Nafisa menangis tersedu sedan. Ia menyesal. Sungguh menyesal untuk segalanya. Untuk tingkahnya yang egois. Untuk napsunya akan materi. Apa artinya itu semua dibandingkan cinta Roy?
      Di tengah suasana haru tersebut, Vina dengan lantang bertanya, "Papi Lurah, hadiah untukku dan Rozy mana? Aku ingin ngebakso."
      Tentu saja Pak Lurah langsung menjewer telinga staffnya. "Matamu bakso. Selalu bakso yang ada di pikiranmu."
      Vina merengut. "Jika aku mati kelaparan dan menjadi hantu, Papi Lurah mau tanggung jawab?"
      Seisi ruangan pun meledak oleh tawa. Terbayang jika Vina menjadi hantu dan berteriak, "Bakso. Traktir bakso dong!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H