Dengan puas Bu Lurah menatap dirinya sendiri di kaca spion mobilnya. Ia sudah siap berjuang mempertahankan cinta suaminya. Alat perang sudah ia bubuhkan dengan hati-hati selama 3 jam. Eyeshadow emas, liptint semerah darah, dan bedak setebal kapur dinding. Tak lupa perona pipi berwarna peach ala KBeauty. Ya! Ia merasa adrenalinnya mengalir deras. Ia pasti menang melawan pelakor jahanam. Sore ini ia akan memergoki suaminya dan sang pelakor. Biar mereka berdua tahu rasa!
Bu Lurah melintasi halaman kantor kelurahan Bianglala dengan segala rasa membuncah di dada. Cinta. Galau. Dendam. Amarah. SEMANGAT PERJUANGAN CINTA!
"Mami Lurah, kok datang akhir pekan begini? Mau ketemu Papi Lurah? Beliau sedang rapat." Tanya Irfan, pedagang bakso super ganteng, yang baru saja keluar dari kantor kelurahan. Tangannya penuh dengan mangkuk kosong.
Bu Lurah menganggukkan kepala penuh wibawa. Ia ingin menahan tawa melihat Irfan yang ternganga menatap wajahnya. Detik itu ia merasa sungguh superior. Ia memang cantik. Sangat cantik. Ia pun melambaikan tangan pada Irfan dan berjalan menjauh.
Andai saja Bu Lurah tahu. Irfan ternganga karena makeup Bu Lurah belepotan ala vampir. Irfan meneguk ludah dan mengumpulkan segenap keberaniannya. "Mami Lurah, tunggu! Ada yang harus Irfan bicarakan... Mami Lurah!"
 Bu Lurah mengibaskan kepalanya yang berhijab pink. Angin sepoi membuat ujung hijabnya yang merupakan benang-benang emas menari riang. Ia tak mempedulikan panggilan Irfan. Ia memang cantik. Pemuda seganteng Irfan pun mengejar dirinya. Maaf Irfan, cinta Mami hanya untuk Papi Lurah. Semesta pasti berpihak padanya. Tapi, ternyata semesta berkata lain...
PREEET! PROOOT!
      Bu Lurah melirik ke kanan dan kiri. Untung, tak ada staff kelurahan yang mendengar bunyi dentuman meriam Bu Lurah. Ia meringis kesakitan dan meraba perutnya yang agak buncit. Angin semilir membuat perutnya sakit melilit. Secepat kilat ia berderap menuju toilet perempuan di area belakang kantor kelurahan.
"Aaargh, lega. Akhirnya, keluar juga," ucap Bu Lurah pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya merinding.
Sekelebatan kepala mematung di luar kaca jendela yang buram tersebut. Tapi, Bu Lurah belum menyadarinya. Kemudian, terdengar kekehan. "Akhirnya, aku menemukanmu..."
"SIAPA ITU YANG MENGINTIP?" Teriak Bu Lurah histeris. Wajahnya langsung merah padam. Kedua mata Bu Lurah yang sebelo jengkol, jelalatan hingga lalat hijau pun tak punya nyali untuk adu mata dengannya. Pandangannya terfokus pada kaca jendela kecil toilet yang hordennya tersibak sebagian. Ini biang keroknya.