Disclaimer: artikel ini berbahaya bagi yang baru saja makan atau mudah mual. Maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Desa Legok dalam kisah fiksi ini tak ada kaitannya dengan area apa pun. Beberapa pengalaman mengerikan, tapi ngakak memang terjadi Semoga kesadaran menjaga lingkungan semakin meningkat. Selamat membaca!
Ass wr wb
Bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat,
Kami, mahasiswa/i dari Universitas Salaka akan memulai kegiatan KKN hari ini dengan mengadakan pelatihan bercocok tanam. Setelah kami amati dalam beberapa hari ini, masih banyak petani yang salah dalam cara memupuk. Pupuk kandang itu tak boleh disebar begitu saja.
"HUUUUU." Pidato Alam langsung disambut dengan gerutuan para petani yang merasa tersinggung. Siapa sih bocah-bocah bau kencur ini? Baru saja datang ke Desa Legok langsung menghujat cara bertani yang selama ini dilakukan.
Alam membentangkan tangannya persis seperti adegan Rose dalam Titanic, tapi tanpa pasangan. Mahasiswa yang satu ini memang tak ada matinya. Urat sarafnya terbuat dari baja. "TENANG! TENANG! Kalian ingin kan hasil panen yang lebih melimpah?"
Beberapa petani yang duduk di barisan paling depan, manggut-manggut seperti burung merpati. Mata mereka begitu bulat saking intens menatap sang mahasiswa.
"Ingin jadi petani kaya?"
Para petani langsung menjawab dengan koor panjang. "INGIN."
"Ingin nikah lagi?"
Candaan basi Alam sukses mencairkan suasana. Para petani terpingkal. Sang mahasiswa pun mengangguk puas. "Kalian harus menuruti saran kami. Buat lubang di dekat akar tanaman, masukkan pupuk kandang, dan timbun dengan tanah. Sampai sini, ada yang ingin bertanya?"
Alam mengedarkan pandangan. Hadirin sunyi. Bahkan, banyak petani yang menundukkan kepala ibarat siswa yang takut oleh sang guru. "Yang berani bertanya nanti dapat hadiah cemilan yang sudah disiapkan oleh panitia."
Seorang petani berambut kribo mengacungkan tangan. Arin, mahasiswi cantik yang juga sedang KKN, langsung memberikan sebuah mic pada petani tersebut.
"TES. TES. SA...SATU. DUUA...TI..." Gagap petani tersebut. Wajahnya tampak gugup. Sebenarnya, ia memang tak ingin bertanya jika tak dipaksa oleh Euis dengan sodokan brutal di pinggang. Hubungan asmara Nanang dengan Euis, yang merupakan janda beranak tiga, sepanas badai matahari. Nanang pun tak kuasa menolak binar mata Euis yang ingin hadiah dari orang kota. Apa pun akan dilakukan Nanang untuk Euis tercinta. Bertanya sih soal kecil! Tapi faktanya? Nanang segugup induk ayam yang akan bertelur.
"TIGA," teriak petani-petani lain dengan penuh semangat.
"Assa...assala...mualaaai....kum..."
"WALAIKUMSALAM WARROMAHTULLAHI WABAROKATU," jawab hadirin serempak. Tanpa memberikan jeda bagi petani malang itu yang bertambah gugup.
"Sa...saya Na...nang. Sa..."
"Ah, lama banget ngomongnya. Biar saya saja yang duluan nanya," tukas petani kurus yang berada di sebelah kanan Pak Nanang, sembari merenggut mic dari tangan kanan Pak Nanang. Ia pun berdeham. "Assalamualaikum warromahtullahi wabarokatu."
Hadirin pun kembali menjawab salam tersebut.
"Saya Udin. Saya ingin bertanya memangnya mengapa pupuk kandang tak boleh disebar begitu saja? Dengan menyebar pupuk kandang, bukannya pekerjaan jadi lebih cepat? Lagipula pupuk kandangnya pun akan terserap ke dalam tanah."
Alam pun mengangguk pada Indra, rekannya yang berkacamata. "Pertanyaan bagus. Rekan saya, Saudara Indra, yang akan menjelaskan."
Dengan suara cempreng, Indra pun berceloteh. "Pupuk kandang itu kan pup-nya kambing atau sapi..."
Seorang petani muda bertubuh besar dan berwajah lugu, mengacungkan tangan dan meminta mic. Ia pun berdiri dan berkata, "Maaf. Sepengetahuan Asep, pup itu tempat minum minuman keras. Kata Ustaz, tak boleh ada pup. Haram hukumnya. Memangnya kambing atau sapi juga punya tempat khusus untuk minuman keras. Asep jadi bingung."
Para hadirin pun tertawa. "Pup itu tinja, Asep. Bukan pub, tempat minuman keras."
Mendengar tawa teman-temannya, Asep pun tertawa. Tapi wajahnya tetap bingung. Ia pun duduk kembali.
Indra pun melanjutkan ceramahnya yang terputus, "Jika pupuk kandang disebar begitu saja, bisa terbawa air hujan. Pekerjaan Bapak-bapak dan Ibu-ibu jadi sia-sia. Untuk apa keluar uang membeli pupuk kandang, jika pupuk kandangnya hanyut? Selain itu, pupuk kandang menyebabkan bau tak sedap. Memangnya Bapak-bapak dan Ibu-ibu ingin mencium bau parfum pup sapi selama bertani? Belum lagi datang tamu tak diundang, si lalat. Dari kemarin sandal jepit saya saja dikejar puluhan lalat."
Alam mendeham karena topik pembicaraan Indra mulai melenceng 360 derajat. Apa urusannya lalat dengan sandal jepit? Memang sandal jepit Indra saja yang bau dan tak higienis sehingga mengundang lalat. Tapi bukan Indra Suhendra jika tak berpidato panjang lebar. Jika bisa bercerita sepanjang Sungai Nil, dan selebar Benua Afrika, mengapa tidak? Mahasiswa ceking yang dicurigai cacingan oleh rekan-rekannya ini tak pernah peka. Diberi isyarat kedipan mata oleh Nisa, salah satu rekan KKN-nya, ia malah balas mengedip dengan centilnya. "Belum lagi lalat betina yang mencium bibir saya yang imut ini. Kurang ajar banget. Coba Nisa yang cantik, yang mencium saya. Pasti tak akan saya tolak. HAHAHAHA," ujar Indra sembari menunjuk Nisa yang wajahnya langsung semerah cabai. Para petani pun langsung tertawa riuh rendah. Indra yang merasa mendapat dukungan hadirin, melanjutkan celotehannya yang tak keruan, "Kalian tahu? Tak tahu, kan? Kemarin saya berhasil membunuh 30 lalat. Untungnya, sewaktu SD dulu saya rajin berlatih pencak silat. Lawan puluhan lalat saja sih kecil."
Alam menepuk jidat. Entah salah makan apa Indra ini. Memalukan kelompok KKN Universitas Salaka saja. Ia pun langsung membekap mulut rekannya yang melantur itu dan merampas mic. "Bapak-bapak dan Ibu-ibu, pupuk kandang itu sebaiknya dicampur dengan pupuk kompos dan dibiarkan dulu seminggu sebelum dipakai. Tapi menurut kami, lebih baik menggunakan pupuk kompos yang dibuat dari daun-daun tanaman itu sendiri dibandingkan pupuk kandang yang berpotensi mencemari lingkungan. Pupuk kandang melepas gas metana. Sementara gas metana itu menyebabkan efek rumah kaca sehingga memicu pemanasan global."
Melihat wajah para petani yang merenung, Alam pun bertanya, "Apakah kalian mengerti?"
"MENGERTI."
"Jadi, kalian sebaiknya menggunakan pupuk apa?"
"PUPUK KANDANG."
"Bukankah kita sudah sepakat untuk membuat pupuk kompos? Nanti kami akan mengajarkan cara membuatnya."
"PUPUK KANDANG."
Alam mendesah. Alah bisa karena biasa. "Ya, sudah. Nanti kami ajarkan cara menggunakan campuran pupuk kandang dan pupuk kompos. Sebelum memulai pelatihan, mari minum dulu kopi dan roti di meja sebelah sana yang sudah kami siapkan. Waktu sarapan 15 menit saja, ya."
Wajah para petani pun berubah sumringah. Anak-anak muda ini lumayan juga. Mau repot-repot membawakan roti empuk dan harum dari kota. Kapan lagi dapat sarapan gratis.
Nanang dan Euis pun tersenyum puas. Walaupun Nanang tak sempat bertanya, panitia tetap memberikan hadiah cemilan ala orang kota, yaitu keripik pisang varian keju.
***
EMBE! EMBEEEE!
DUG! DUG! DUG!
"Berisik sekali! Kayaknya, kambingnya kelaparan," gerutu Nisa sembari menutup telinganya dengan bantal. "Cerewetnya persis si Indra."
Arin yang tidur di sebelah Nisa, terkekeh. "Biar cerewet juga, kau suka Indra, kan?"
"Kata siapa?" Ujar Nisa sembari menghantamkan bantalnya ke wajah Arin.
"Duh, kau kentut, ya?" Tuduh Arin sembari menutup hidung.
"Kamu kali. Main tuduh sembarangan," ujar Nisa. Hidungnya berkerut.
"Apa bau pup kambing sebelah kanan rumah ini, ya?"
"Bisa jadi. Gak kira-kira. Masa tak ada jarak antara peternakan kambing dengan rumah manusia? Seharusnya, minimal 100 m," keluh Nisa.
"Namanya juga di desa. Mungkin mereka tak mengerti hal teknis seperti itu."
"Ah, kita pasti mimpi kambing. Bunyi benturan kepala kambing dengan pintu kandang semakin keras. Tuh, dinding kamar tidur kita pun ditabraknya..."
Arin menyeringai. "Atau, Indra, sang pangeran tampan yang secerewet kambing. Siapa tahu pulang KKN dari sini, kau dilamar olehnya."
"ANAK KURANG AJAR! Kau terus menggodaku, ya?" Ujar Nisa sembari mencubit Arin yang terpingkal.
***
"Arin, apa yang kau pegang itu?" Tanya Rudi. Ia sungguh heran dengan rekan KKN-nya yang bengong di depan rumah sebelah. Di tangannya tergenggam bungkusan yang merupakan daun pisang. Sepengetahuan Rudi, Arin tidak meneliti daun pisang. "Kok pegang daun pisang? Memangnya kau meneliti daun pisang? Kau kan jurusan Ekonomi Pertanian."
Arin menggelengkan kepala. Ekspresi wajahnya persis maling yang tertangkap basah.
"Oh, kau baru saja masak buras, ya? Bagilah aku! Kebetulan perutku lapar berat."
Arin kembali menggelengkan kepala. Kali ini pipinya semerah apel.
"Jangan pelit sama teman!"
Tiba-tiba Indra menghampiri Rudi dengan langkah berjingkat ala spy. "Ckckck, kau tak peka sama sekali. Jangan kau ganggu Arin! Ia sedang bingung membuang pup-nya yang dibalut daun pisang!"
Rudi terperangah. Dengan gaya centil dan imut ala bintang KPOP, tangannya membentuk tanda cinta. "Masa! Benarkah itu? Apakah aku mengganggu aktivitas tersembunyimu?"
"Kalian berdua abnormal! Siapa bilang ini pup?" Sergah Arin murka. Pipinya bertambah merah hingga seperti demam.
"Buktikan dong! Jika orangnya cantik sepertimu, pasti pup-mu juga cantik. Kan sudah kubilang kalian buang air besar di toilet kami saja. Eh, sudah dipersilakan, malah menuduh kita akan mengintip kalian. Tak baik berburuk sangka," ceramah Indra dengan suara cempreng bernada 7 oktaf.
"Kau ingin semua orang tahu?" Bisik Arin panik sembari menoleh ke kiri dan kanan. "Kuadukan kau ke Nisa. Siapa yang mau dengan pria cerewet sepertimu? Kau kan tahu toilet kalian itu hanya bangunan setengah jadi."
Indra menyeringai puas. "Benar kan. Arin jorok. Mencemari lingkungan. Mengapa sih tak kau tuang saja pup-mu itu ke lubang kloset kami? Atau, kau mencret, ya? Ih...cantik-cantik kok mencret..."
"DIAM! Jika tak diam juga, kulempar kau dengan benda ini tepat di mulutmu."
Indra dan Rudi tertawa terbahak-bahak. Puas rasanya menggoda Arin yang biasanya tenang dan dewasa. Sekarang Arin menggali tanah dengan bantuan ranting, disaksikan tatapan kedua temannya yang usil itu. Melihat mulut Arin yang manyun, mereka pun terkekeh sembari berbisik-bisik. Arin persis kucing...
***
"Nisa, mengapa wajahmu pucat pasi seperti itu?" Tanya Indra penuh perhatian pada gadis pujaannya. Ia sedang duduk santai di teras rumah milik Pak Iman yang disewa kelompoknya untuk KKN. Bibirnya yang seperti ikan cucut, sibuk meniup kopi panas sehitam tinta.
"Aduh, celaka. Rumah yang kutempati, klosetnya macet. Sudah kusiram 3 ember air tetap macet."
"Ah, soal kecil itu. Kau coba saja campuran cuka, baking soda, dan air panas. Pasti lancar lagi."
"Aneh banget. Kayak bikin kue saja pakai baking soda."
Indra mengangkat bahu sembari berdiri hendak meninggalkan Nisa. "Ya sudah, kalau tak percaya."
"Eh, tunggu. Kau punya cuka dan baking soda-nya?"
Indra memutar-mutar kedua bola matanya seperti bola bekel. "Ada sih, tapi di warung."
"Nyebelin," tukas Nisa sembari memonyongkan bibir mungilnya.
"Kau juga aneh. Mana mungkin aku membawa cuka dan baking soda."
"Kloset di rumah yang ditempati kalian lancar?"
"Lancar dong! Seperti pedekate kita."
Nisa meleletkan lidah. Rayuan gombal Indra memang sebasi susu asam.
"Yah, semua kelancaran dalam hidup itu tergantung amal kita," ujar Indra dengan ekspresi sok tahu-nya yang super menyebalkan. "Hey, kalian harus ke sini saja jika ada panggilan alam."
"Maksudmu Alam hendak mengadakan rapat lagi?"
Indra menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi wajah sendu. "Kasihan kau. Telmi (telat mikir). Rupanya, kau sudah keracunan gas metana dari pup-mu. Panggilan alam itu ya kebutuhan pup, bukan Alam, ketua kelompok KKN kita."
Kontan saja Nisa cemberut karena disebut telmi. "Dasar Indra jorok! Kau suka sekali mengatakan kata 'pup'."
Indra pun mendecak-decakkan lidah. "Lah, terus aku sebaiknya berkata apa? Aktivitas sekresi zat-zat sisa dari tubuh yang dikeluarkan dari...kau tahu sendiri. Kepanjangan, kan? Lebih efisien berkata pup."
"Susah memang bicara dengan alien sableng," tukas Nisa.
"Aku ini memang alien spesies unggul alias ganteng," balas Indra penuh percaya diri. Tawa cemprengnya menyakitkan telinga Nisa. Indra pun masuk ke dalam rumah kelompoknya dengan perasaan riang.
***
"Bu Iman, mengapa ya kloset rumah sebelah yang dihuni kelompok KKN mahasiswi macet semua? Ada 3 kloset yang macet. Apa suami Ibu bisa mengatasi masalah kloset macet?" Tanya Alam dengan serius.
"Pak Iman pandai merenovasi. Kalian sudah buktikan sendiri kloset di rumah yang kalian tempati, lancar."
Alam menganggukkan kepala. "Iya, lancar banget, Bu. Tapi kasihan mahasiswi sebelah yang sulit menggunakan kloset. Jika antri toilet kami, mereka terlambat mengikuti kegiatan KKN. Sementara jadwal kami padat karena mengejar target program yang sudah ditetapkan pihak Universitas. Apalagi kloset kami merupakan bangunan setengah jadi. Mahasiswi takut diintip jika memakainya."
Bu Iman tersenyum bangga. "Pak Iman memang jenius. Tak seperti Pak Ujang, pemilik rumah sebelah. Dari zaman dulu juga klosetnya selalu macet. Yah, maklum salah desain. Septic tank rumah sebelah ada di bagian belakang rumah. Kabarnya, sudah 30 tahun tak pernah disedot."
Alam terperangah. "Waduh! Pup-nya sudah jadi mumi itu."
"Mumi?"
"Maksudnya, awet, Bu. Sedot septic tank sebaiknya setahun sekali. Ada juga septic tank yang tak perlu disedot, tapi pembuatannya harus sesuai ketentuan. Ada dua chamber, filter, dan pipa pembuangan gas metananya."
"Oh, begitu. Beda banget dengan kloset kalian," ujar Bu Iman. "Surulung. Plung! Lancar. Pakai pipa paralon. Langsung tinja masuk ke dalam sungai." Bahkan, Bu Iman pun mengacungkan jempol tangan kanannya.
"Apa, Bu? Rumah yang kami tempati tidak memiliki septic tank?"
Bu Iman mencibir. "Untuk apa? Jika ada septic tank, nanti malah macet. Lebih baik pakai pipa paralon. Harus miring posisi pipanya agar tinja meluncur bebas hambatan ke sungai yang berada di depan rumah yang kalian tempati."
"Tapi kan Bu, di tepi sungai tetap harus ada biologic septic tank, seperti gentong berkeran yang diberi filter agar tinja terurai dulu dan tak mencemari air sungai. Jika hanya menggunakan pipa paralon, pup-nya seperti main serodotan saja ke sungai."
Bu Iman menatap Alam dengan skeptis. "Yang penting lancar." Jempol tangan kanannya pun terangkat kembali seolah menantang.
Alam pun tak bisa mendebat lagi. The power of Emak tak terkalahkan.
Inilah manfaatnya KKN. Permasalahan yang terjadi di desa, bisa tampak secara langsung. Ia harus berembuk dengan kelompok KKN-nya untuk mengatasi masalah ini. Kemudian, membicarakan masalah pencemaran air sungai ini dengan Pak Tata, Kepala Desa Legok.
***
Sebulan kemudian,
"Terima kasih banyak. Atas bantuan kalian, sekarang desa kami memiliki septic tank komunal dan biologic septic tank," ujar Pak Tata, Kepala Desa Legok.
Kelompok mahasiswa KKN pun tersenyum. Sungguh senang bisa berbuat sesuatu untuk warga Desa Legok.
"Ah, bantuan kami tak seberapa. Kami pun mengerjakannya bersama-sama dengan warga desa", ujar Alam.
Indra membetulkan letak kacamatanya yang merosot. "Iya, Pak Kades. Desa Legok wajib menjaga kebersihan air sungai untuk mensukseskan program pemerintah tentang Blue Economy."
"Blue Economy?" Tanya Pak Kades dengan heran.
Indra pun tersenyum sumringah. Ia selalu senang memamerkan pengetahuannya. "Iya, Pak Kades. Blue Economy atau ekonomi biru itu program pemerintah yang menjaga kualitas air sungai yang merupakan penyokong laut atau pun samudra. Pup itu merupakan zat organik yang mencemari air sungai. Dengan Blue Economy, kualitas lingkungan terjaga dan masyarakat pun sejahtera. Siapa tahu Desa Legok bisa berkembang menjadi desa wisata. Pak Kades tahu kan pendapatan penduduk di sini harus ditingkatkan. Bagaimana pertanggungjawaban Bapak sebagai Kades jika masyarakat kurang sejahtera? Bapak harus ..."
Alam menepuk bahu kiri Indra. Ia merasa iba dengan Pak Kades yang gelagapan. Indra pun langsung menutup mulutnya. Alam bisa bersikap tegas pada anggota kelompok KKN-nya.
Pak Kades menghapus butiran keringat di pelipisnya. "Aduh, berbicara mengenai masalah ini sungguh memakan energi. Sebaiknya, kita makan dulu. Tentu kalian sudah lapar."
"Bapak sampai repot-repot mengadakan acara perpisahan untuk kami. Terima kasih banyak," kata Alam. Perkataannya diikuti anggukan oleh anggota kelompok KKN lainnya.
Pak Kades melambaikan tangannya dengan riang. "Hanya hidangan sederhana yang disiapkan oleh istri saya dibantu dengan beberapa warga desa."
Di meja makan bertaplak putih salju tersebut tampak berbagai hidangan yang menggugah selera. Ada ayam goreng, rebon goreng, tahu tempe goreng, sayur asam, dan sambal lalab.
"Enak sekali ini rebonnya. Sungguh gurih. Dan ada manis-manisnya," komentar Indra. Dengan penuh semangat, ia menyuapkan banyak rebon tak berdosa bersama segumpal nasi putih.
Pak Kades tersenyum puas. Sembari menitikkan air mata haru, ia berkata, "Kalian memang anak-anak baik dan tak sombong. Tak pilih-pilih makanan. Rebonnya memang segar. Baru saja kemarin sore diambil dari sungai. Tepat di area sungai depan rumah yang kalian tempati. Memang makanan dari alam itu yang terbaik. Kalian berpendapat sama, bukan?"
Indra pun tersedak, diikuti rekan-rekan kelompok KKN-nya. Astaga! Rebon itu dari sungai. Sementara, communal septic tank dan biologic septic tank kan baru jadi, dan belum sempat beroperasi. Jadi, rasa manis dan gurih rebon ini dari mana? DARI MANA? Adakah yang bisa menjawab pertanyaan penelitian ini?
"Ayo tambah lagi rebonnya. Mumpung masih banyak," ujar Pak Kades dengan tulus. Ia pun menambahkan satu centong rebon ke atas nasi di piring Indra. Dan Indra pun hanya bisa ternganga.
 _____
Dear Pembaca,
Apa pengalaman KKN-mu yang tak terlupakan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H