Seorang petani berambut kribo mengacungkan tangan. Arin, mahasiswi cantik yang juga sedang KKN, langsung memberikan sebuah mic pada petani tersebut.
"TES. TES. SA...SATU. DUUA...TI..." Gagap petani tersebut. Wajahnya tampak gugup. Sebenarnya, ia memang tak ingin bertanya jika tak dipaksa oleh Euis dengan sodokan brutal di pinggang. Hubungan asmara Nanang dengan Euis, yang merupakan janda beranak tiga, sepanas badai matahari. Nanang pun tak kuasa menolak binar mata Euis yang ingin hadiah dari orang kota. Apa pun akan dilakukan Nanang untuk Euis tercinta. Bertanya sih soal kecil! Tapi faktanya? Nanang segugup induk ayam yang akan bertelur.
"TIGA," teriak petani-petani lain dengan penuh semangat.
"Assa...assala...mualaaai....kum..."
"WALAIKUMSALAM WARROMAHTULLAHI WABAROKATU," jawab hadirin serempak. Tanpa memberikan jeda bagi petani malang itu yang bertambah gugup.
"Sa...saya Na...nang. Sa..."
"Ah, lama banget ngomongnya. Biar saya saja yang duluan nanya," tukas petani kurus yang berada di sebelah kanan Pak Nanang, sembari merenggut mic dari tangan kanan Pak Nanang. Ia pun berdeham. "Assalamualaikum warromahtullahi wabarokatu."
Hadirin pun kembali menjawab salam tersebut.
"Saya Udin. Saya ingin bertanya memangnya mengapa pupuk kandang tak boleh disebar begitu saja? Dengan menyebar pupuk kandang, bukannya pekerjaan jadi lebih cepat? Lagipula pupuk kandangnya pun akan terserap ke dalam tanah."
Alam pun mengangguk pada Indra, rekannya yang berkacamata. "Pertanyaan bagus. Rekan saya, Saudara Indra, yang akan menjelaskan."
Dengan suara cempreng, Indra pun berceloteh. "Pupuk kandang itu kan pup-nya kambing atau sapi..."
Seorang petani muda bertubuh besar dan berwajah lugu, mengacungkan tangan dan meminta mic. Ia pun berdiri dan berkata, "Maaf. Sepengetahuan Asep, pup itu tempat minum minuman keras. Kata Ustaz, tak boleh ada pup. Haram hukumnya. Memangnya kambing atau sapi juga punya tempat khusus untuk minuman keras. Asep jadi bingung."