Mohon tunggu...
Vsiliya Rahma
Vsiliya Rahma Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka bermain dengan kata (🕊ϚìӀѵìą འ ą հʍ ą ա ą է ì🕊)

Manusia yang tak luput dari dosa dan hina

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pendosa Tak Pantas Hidup

24 November 2020   09:16 Diperbarui: 24 November 2020   09:20 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Peringatan!

Cerpen ini mengandung unsur misteri dan sedikit thriller, jadi diharapkan para pembaca bijak ketika membacanya. Cerita ini tidak bermaksud untuk mempengaruhi siapapun atau mengajak berbuat sesuatu. Karena cerpen ini dibuat untuk hiburan dikala luang, hanya untuk bacaan semata. Tidak lebih dari itu.

Happy reading ... 

Awan menggelap menyembunyikan sang surya dari kedudukannya. Rintik air berjatuhan menimpa daun pohon yang tengah bergoyang mengikuti irama angin. Aku tertegun menghadap luar dari balik jendela kaca kelas yang tertutup, dengan tangan bersedekap di atas meja sebagai tumpuan kepala. Setetes cairan tiba-tiba mengenai rambutku, tangan meraba area tersebut, sesuatu yang basah kini terasa. 

Kuarahkan tangan ke depan, mata membelalak sempurna ketika cairan berwarna merah terlihat olehnya. Kepala mendongak, seekor cicak dengan ekor putus merayap tepat di atasku. Aku mengernyit bingung, mungkinkah ini darah cicak? Tapi setauku, cicak tak berdarah saat melakukan autotomi.

"Sya," ucapku sambil melirik ke samping tempat dudukku, kening mengernyit ketika tak menemukan gadis yang kucari. Di mana dia?

"Vin, kamu lihat Tasya nggak?" tanyaku pada Vina, gadis berambut sebahu yang duduk di depanku. Vina hanya mengedikkan bahu, gadis itu kembali menatap buku di atas meja yang dari tadi menemaninya.

Kuedarkan padangan ke setiap sudut kelas, Kesi dan Monica juga tidak ada. Pikiran buruk kini bergelayut indah, perasaan menjadi cemas apalagi ketika diriku tak menemukan keberadaan Tasya. 

Sudah beberapa tempat di sekolah ini aku datangi, tapi Tasya tak kunjung kutemui. Aku takut kejadian tempo hari terulang lagi, Tasya yang malang. Gadis dengan kaca mata yang selalu menghiasi matanya itu terlalu baik untuk mendapatkan perlakuan buruk. Hanya karena penampilannya yang terlihat cupu, gadis itu kerap dibuly oleh Kesi dan Monica.

Tiba-tiba terdengar jerit tangis yang saling beradu di taman belakang sekolah. Apa yang terjadi? Mungkinkah Tasya, tidak, tidak. Segera kulangkahkan kaki menuruni tanggga menuju suara itu terdengar.

Langkah terhenti ketika mata menangkap sekumpulan siswa-siswi yang berkumpul membentuk lingkaran dan menjadikan pohon besar yang berdiri kokoh sebagai pusatnya. Dengan napas yang tersenggal-senggal akibat berlari, kulangkahkan kaki perlahan menerobos kerumunan.

"Tasya." Mataku membelalak ketika melihat pemandangan yang ada di depanku. Kaki refleks melangkah mundur ketika cairan merah kental yang membanjiri tanah mengalir, hampir menyentuh sepatuku.

"Monic," teriak Kesi yang baru saja datang. Gadis itu bersimpuh, tangannya tak hentinya menggoyangkan tubuh gadis yang tengah tergeletak di tanah dengan kedua pergelangan tangan diikat dengan kawat hingga darah bercucuran dari sana. Matanya membelak, mulutnya terbuka, sebab sebuah tali mengikat kuat lehernya layaknya binatang gembala.

Kepalaku berdenyut, pandangan sekitar seakan kabur. Kugelengkan kepalaku untuk mengusirnya, tak sengaja netraku menangkap sebuah kertas yang diremas tergeletak tak jauh dari tempat Monic melakukan gantung diri.

Tak ada gunanya aku hidup
Orang sepertiku pantas menerima semuanya
Hanya Kesi yang mau menerimaku di dunia ini, dialah sahabatku dan akan selalu seperti itu
Aku akan selalu menunggumu, dimana tenang didapat meski alam dan sekitarnya berteriak

"Ini ... tulisan tangan ini milik Monic." 

Aku terkejut bukan main ketika sebuah tangan menyentuh pundakku. Segera mungkin kusembunyikan kertas itu. 

Vina, gadis yang menepuk pundakku menyipitkan matanya, sepertinya dia curiga. Gadis itu mengangkat kepalanya dalam satu kali gerakan, seolah bertanya ada apa. Aku hanya menggeleng sebagai jawabannya.

"Tasya, sudah ketemu?" tanyanya, lagi-lagi aku hanya menggeleng yang membuat Vina mengangguk mengerti. Setelahnya gadis itu berlalu begitu saja.

***

Sudah terhitung dua hari semenjak kematian Monic, Kesi sepertinya begitu terpuruk karenanya. Entahlah, aku merasa semenjak saat itu Kesi menjadi pendiam, bahkan terlihat sorot ketakutan dalam matanya. Seperti saat ini, gadis itu memilih duduk di bangku pojok belakang dengan menatap kosong ke depan. Rasa iba kini menghampiriku. Aku bangkit dari dudukku, hendak menghampiri dirinya.

"Revi, kamu mau kemana?" tanya Tasya yang duduk di sampingku.

"Aku mau mencoba hibur, Kesi." Tasya menggeleng, gadis itu tidak setuju dengan ideku itu.

"Tenang aja." Seulas senyum kutampilkan untuk meyakinkan dirinya. Tasya menghela napas, kemudian mengangguk lemah.

"Jangan terlalu dekat!" peringatnya, aku hanya tersenyum ke arahnya kemudian berjalan menuju Kesi berada.

"Kes."

"Kesi." Berulang kali gadis itu kupanggil, namun ucapanku seakan hanya sebuah angin lewat yang tak penting. Masih tak memperdulikan ucapanku, gadis itu mengeluarkan buku dan pensil dari tasnya. Aku mengernyit ketika tangan gadis itu menorehkan karbon di atas kertas dengan tangan bergetar.

Aku terdiam, hanya memperhatikan gadis itu. Entah apa yang ingin ia gambarkan. Kutajamkan penglihatan, kerutan di dahi semakin menjadi tatkala pensil miliknya telah berhenti menari. Sebuah pohon besar dengan ayunan yang menggantung di dahannya terlihat olehku, di samping pohon tersebut Kesi menggambar sebuah kolam, atau mungkin danau, entahlah. Tapi, apa maksud gambar itu. Baru saja aku ingin bertanya, tiba-tiba Kesi menjerit.

"Da-darah, darah." Semua orang di ruangan itu seketika menoleh. Aku yang berada di dekat Kesi mencoba menenangkan gadis itu. Tapi dia terus saja berteriak layaknya orang kesetanan.

"Darah, darah."

"Tidak! Monic! Monic!" Semua orang bingung harus berbuat apa, Kesi terus saja menjerit. Gadis itu sulit untuk ditenangkan. Hingga beberapa orang berbaju putih datang mencoba melumpuhkannya.

"Tidak, lepaskan!" jeritnya sambil memberontak mencoba melepaskan kedua tangannya yang dipegang erat.

"Aku tidak gila, lepaskan aku! Lepaskan!" Aku hanya diam menyaksikan semua itu, begitu pula dengan semua orang yang ada di ruangan ini.

Cukup lama kekacauan itu terjadi, hingga jerit tangis tak lagi terdengar, ketika orang-orang berbaju putih itu berhasil melumpuhkan Kesi dengan menyuntikkan obat bius.

Aku mengernyit, siapa yang menghubungi mereka? Mungkinkah kepala sekolah, atau guru yang lain? Tapi bagaimana bisa secepat ini? 

Tak sengaja netraku menangkap Tasya yang tengah berdiri di dekat jendela dengan tangan bergetar memegang ponsel. Mungkinkah dia yang melakukannya? Tapi, haruskah dia memanggil orang-orang dari rumah sakit jiwa seperti itu?

***

Aku terduduk di kursi yang terletak di balkon kamarku.  Mata menatap serius benda dalam genggaman. Otak kupaksa berpikir keras agar menemukan jawaban, atas semuanya.

Berulang kali kalimat yang tertulis dalam kertas yang acak-acakan itu kugumamkan. Rasanya aku masih tak percaya, jika Monic melakukan bunuh diri. Tak ada alasan pasti atas semua itu, semua terasa janggal. Mengapa seorang gadis yang memiliki segalanya, uang, keluarga teman, dan juga kecerdasan melakukan hal hina seperti itu?

Tak ada gunanya aku hidup
Orang sepertiku pantas menerima semuanya
Hanya Kesi yang mau menerimaku di dunia ini, dialah sahabatku dan akan selalu seperti itu
Aku akan selalu menunggumu, dimana tenang didapat meski alam dan sekitarnya berteriak

"Hanya Kesi yang mau menerimaku. Aku akan selalu menunggumu." Aku terdiam ketika menyadari sesuatu. Mungkinkah? Jika apa yang kupikirkan benar berarti ....

Kuraih jaket coklat yang tergantung di dekat pintu, dengan tergesa aku keluar dari kamar.

"Ma, motornya Revi bawa," teriakku, tanpa menunggu jawaban dari mama, tangan menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja.

Kupacu kuda besi milikku membelah jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata, tak perduli dengan umpatan banyak orang. Karena jika aku terlambat, maka hal buruk akan terjadi.

Motor milikku berhenti tepat di depan sebuah pagar dengan beberapa bangunan yang berdiri di dalamnya. Aku menghela napas sebelum memasuki gerbang dengan gapura bertuliskan 'Rumah Sakit Jiwa Permata'.

Tak sengaja netraku menangkap seorang gadis dengan kacamata yang bertengger di hidungnya, berjalan tergesa-gesa. Aku menyipitkan mata, benar saja dia Tasya. Tapi untuk apa gadis itu kemari? Kulangkahkan kaki mencoba mengikuti dirinya, sial aku kehilangan jejak. Kemana dia? Kuedarkan pandangan ke segala arah, berharap menemukan apa yang aku cari.

"Aku tidak gila!"

 Teriakan itu mampu menyita perhatianku. Seketika keadaan menjadi rusuh, gaduh tak terkendali. Beberapa orang berbaju putih berlari mengejar seorang gadis dengan pakaian pasien yang terus saja berlari ke arah gerbang keluar.

"Kesi, tidak. Aku harus mengejarnya," ucapku ketika menyadari gadis yang tengah berlari keluar itu adalah Kesi.

Lagi-lagi aku kehilangan jejak, saking paniknya aku bahkan lupa jika membawa sepeda motor. Bodoh, seharusnya aku tak perlu berlari jika saja otakku masih berfungsi. Aku menghela napas, kulangkahkan kaki kembali menuju rumah sakit untuk mengambil sepeda motorku.

Otak kupaksa berpikir keras, menerka-nerka di mana aku bisa menemukan Kesi. Tangan merogoh saku setelah motor kuhentikan di sebrang jalan. Kertas lusuh kini menjadi pedoman, kembali kubaca tulisan tangan yang kian memudar.

Mataku terpaku pada kalimat terakhir yang ditulis oleh Monic. 

'Aku akan selalu menunggumu, di mana tenang didapat meski alam dan sekitarnya berteriak.'  

Tempat apa yang dia maksud? Seketika pikiranku tertuju pada gambar yang pernah Kesi buat saat itu.

Benar saja, dugaanku tak ada yang meleset. Gadis itu benar ada di sini, dia berdiri di samping danau dengan pohon besar yang terletak tak jauh darinya. Suara kicauan burung yang kian merdu di telinga menggema, membangkitkan gejolak rasa. Suaranya bagaikan melodi, begitu merdu apalagi sura dahan yang tertiup angin mengiringinya. Ya, di sinilah dimana tenang didapat meski alam dan sekitarnya berteriak.

Aku melangkah mendekat, mencoba menepis jarak di antara kami. Sepertinya Kesi menyadari keberadaanku, hingga gadis itu memutar tubuh menghadap diriku.

"Kes."

"Aku tidak gila. Dia, dia yang gila." Aku mengernyit bingung mendengarnya.

"Dia? Apa yang i-"

"Monic dibunuh," potongnya cepat. Bagai disambar petir, aku terdiam tak mampu berkata.

"Dia membunuh, Monic. Dia tidak menyukai Monic, dia tidak menyukaiku. Dia monster, dia tidak selugu yang kita kira. Dia pembunuh."

"Siapa, siapa yang kamu maksud?"

"Tidak, maafkan aku." Kesi berteriak. Berulang kali gadis itu meminta maaf, entah untuk alasan apa. Kakinya terus saja melangkah mundur.

"Aku tidak akan membuat ulah. Maafkan, aku."

"Kesi!" teriakku, ketika Kesi terpeleset masuk ke dalam danau yang berada di belakangnya. 

Baru saja kaki ingin melangkah, seseorang memukul kepalaku dengan benda keras dari belakang. Gelap kini mendominasi penglihatan, samar-samar aku mendengar teriakan Kesi yang meminta pertolongan, sebelum kesadaranku benar-benar hilang.

***

Aku mengerjap, kepalaku terasa berat. Mata menatap sekeliling, gelap hanya ada kegelapan yang terlihat. Tubuhku terasa sakit, entah apa yang terjadi dan di mana diriku sekarang? Mencoba bangkit mencari sesuatu sebagai penerang, dapat. 

Tepat di atas meja di ujung ruangan sebuah senter dengan cahaya kecil yang menyala terlihat. Kuraih benda itu, tangan bergerak menelusuri setiap sudut mencari jalan keluar.

Aku terdiam, ketika netra menangkap beberapa kertas yang berserakan di lantai. Kuraih salah satu kertas tersebut, aku menyipitkan mata menatap coretan tinta yang menghiasi kertas dalam genggaman.

"Tasya." Pikiranku langsung tertuju pada gadis itu ketika melihat tulisan ini. Kuraih beberapa kertas, menumpuknya dan membacanya satu persatu.

Kedua manusia yang tak memiliki hati, harus menanggung akibatnya.
Mereka harus membayar apa yang mereka lakukan
Kematian terlalu baik untuk mereka

"Tasya, dia ... pembunuhnya." Mataku hampir saja keluar ketika mengetahui fakta itu. Jika memang demikian, berarti Kesi dalam bahaya. Segera kucari pintu keluar, setelah menemukan segera aku keluar dari sana.

Kepala berdenyut, mataku menatap ke sekeliling. Tempat ini sepertinya sudah lama tidak dipijak oleh manusia, terlihat dari rumah laba-laba yang tersebar di setiap sudutnya. Tapi kemana aku harus mencari, di depanku terdapat lima pintu. Di pintu manakah Tasya membawa Kesi?

"Tolong!" Aku terkejut mendengar teriakan itu. Itu suara Kesi, ya aku yakin. Suara itu terdengar dari pintu terakhir dari tempatku berdiri. Kulangkahkan kaki menuju pintu itu. Namun, suara teriakan kembali terdengar dari pintu ketiga. Kuurungkan niatku membuka pintu kelima, melangkah menuju pintu ketiga. Baru saja tanganku ingin menyentuh handle pintu. Suara teriakan meminta tolong kembali terdengar. Kali ini suara itu bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, hingga terdengar saling bersahut-sahutan.

Aku melangkah mundur, kedua tangan menutup telinga. Suara teriakan itu begitu memekan telinga, sampai-sampai gendang telingaku terasa hampir pecah saat itu juga.

"Hentikan!" Percuma saja aku berteriak, karena teriakanku kalah dengan suara yang terus saja terdengar bagai alunan musik rock itu. Sepertinya Tasya benar-benar ingin membuatku pusing, dia membuat konsentrasiku pecah. Apa yang harus kulakukan sekarang? Revi berpikirlah!
Kembali kuamati pintu itu satu persatu, tapi dari jarak dekat. Senyum tipis terbit di wajahku ketika aku menemukan jawabannya.

"Kenapa tak terpikirkan sebelumnya," gumamku bermonolog.

"Aku hanya perlu mencari pintu yang handle pintunya lebih bersih dari pintu yang lain." Ya, kelima pintu itu memiliki pegangan semua. Jika Tasya membawa masuk Kesi ke salah satu pintu itu, berarti debu yang menutupi handle pintu pasti sedikit terangkat. Dan itu membuatnya lebih bersih dari yang lain.

Tanganku kini meraba setiap handle pintu, memastikan adakah debu di sana. Aku menghela napas kecewa, ketika kelima pintu itu sama kotornya. Ah, Tasya benar-benar telah mempersiapkan semuanya dengan matang. Gadis itu mungkin sudah memperkirakan bahwa aku akan berpikir begitu.

Kusandarkan tubuhku pada pintu, aku benar-benar lelah dan putus asa. Apa yang akan terjadi sekarang, haruskah aku menyerah?

"Aaa!" jeritku, ketika seekor laba-laba berjalan indah di leher milikku. Segera kutepis hewan itu, melangkah mundur dari daun pintu.

"Bagaimana bisa laba-laba itu ...." Ucapanku terjeda ketika aku menyadari sesuatu. Kembali kuamati kelima pintu di depanku, terdapat sarang laba-laba di sudut pintu dengan ukuran tak terlalu besar. Dan hanya pintu keempat yang sarang laba-labanya tidak utuh. Itu berarti ada yang melewatinya hingga rumah hewan yang masuk dalam filum arthropoda itu rusak.

Kedua mata terpejam, mencoba meyakinkan diri bahwa pilihan itu benar. Tangan menggenggam handle pintu, bersiap menariknya ke bawah hingga pintu itu terbuka. Decitan pintu kini terdengar, cahaya remang-remang kini mendominasi penglihatan. Mataku membelak ketika melihat pemandangan di depanku.

"Tasya!" Gadis yang berdiri membelakangiku itu sontak saja menoleh. Raut wajahnya terlihat terkejut, hingga pisau di tangannya terjatuh ke lantai.

"Aku tidak menyangka, kamu bisa berbuat seperti itu," ucapku kecewa. Gadis itu hanya menggeleng, mencoba mengelak. Kulirik gadis di belakangnya, dia Kesi. Kondisinya begitu mengenaskan, tubuhnya terikat, luka memar terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Dan sepertinya gadis itu pingsan.

"Kenapa kamu melakukan ini?"

"Aku ...."

"Apa salah mereka?" Pandangan yang semula menunduk kini terangkat, gadis itu tertawa keras, hingga lengkingan kini terdengar. Apa dia sudah gila?

"Salah apa? Kamu tidak ingat, atau pura-pura lupa?" Aku hanya mengernyit mendengarnya.

"Setiap hari aku tersiksa, rasanya aku putus asa, sampai aku ingin menghilang dari dunia. Dan kau tanya salah mereka apa?"

"Karena itu kau melakukan hal hina seperti ini?"

"Mereka tak pantas hidup, mereka hanya akan mengotori dunia ini. Tapi ... aku tak sekejam itu, sampai melakukan hal hina yang kau tuduhkan," jeritnya.

"Aku tidak bodoh, pisau di tanganmu itu sudah membuktikan segalanya."

Suara tembakan terdengar bersamaan dengan lampu yang tiba-tiba hidup dan menyorot ke arah kami bertiga.

"Dia datang," ucap Tasya ambigu. Aku hanya mengernyit mendengarnya.

Suara tepuk tangan kini menggema, seseorang dengan topeng yang menutupi wajahnya keluar dari balik kegelapan.

"Drama yang bagus."

"Siapa, kau?" tanyaku.

"Aku ... kau tak mengenali suaraku? Ck, aku sungguh kecewa."

"Vi-Vina." Orang itu tertawa seakan mengejek, tangannya dengan perlahan membuka topeng di wajah. Aku menutup mulutku karena terkejut, tak percaya dengan apa yang kulihat. Benar saja, dia adalah Vina.

"Kau ...."

"Ya, aku adalah orang yang akan membersihkan dunia ini dari orang-orang munafik seperti kalian. Aku sudah memulainya dari Monic dan Kesi ... dia hanya menunggu waktu agar racun itu tersebar ke seluruh tubuhnya."

"Mengapa? Mengapa kau lakukan itu?" teriakku.

"Lihatlah gadis di sampingmu itu!" Sontak saja aku menoleh ke samping, di sana Tasya hanya terdiam sambil menunduk.

"Gadis malang itu begitu ketakutan setiap harinya."

"Tasya," panggilku lirih.

"Akh ...," jerit Kesi yang mulai kesakitan.

"Tidak! Kesi!" Aku berlari menghampiri Kesi yang tengah menjerit kesakitan.

"Vina, hentikan!" teriak Tasya.

"Kenapa? Bukankah kau juga menginginkannya?"

"Iya, tapi ... Revi ...." Kulihat Tasya melirik ke arahku.

"Gadis naif seperti dia juga harus dimusnahkan. Dia terlalu lemah hidup di dunia ini, hingga tak mampu membela sahabatnya sendiri." 

Bagai ditampar tanpa disentuh aku tertunduk. Ya, aku pengecut, hingga tak mampu membela sahabatku sendiri.

Tanpa aba-aba Vina menarikku ke belakang, menghempaskan tubuhku hingga menabrak dinding dan aku terduduk di lantai. Aku menggerang kesakitan, rasanya tulang punggungku seperti patah karenanya. Belum sempat aku berdiri, tangan kurus tapi kuat itu mencekram leherku dengan kuat, menarik tubuhku kembali berdiri.

Cengkraman di leher semakin menguat, tat kala tubuhku memberontak. Aku hampir tak bisa bernapas, dadaku begitu sesak.

"Kau harus membayarnya!" teriak Vina.

"Lepaskan, dia!" teriak Tasya.

Vina hanya menganggap ucapan Tasya hanya angin lalu. Gadis itu tak perduli, kuinjak kaki gadis itu ketika dia lengah hingga cekikan di leher terlepas.

Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya yang aku bisa, napasku tersenggal-senggal, keringat dingin bercucuran.

"Kurang ajar!" teriaknya marah. Mataku membelalak ketika sebuah pisau berada dalam genggaman gadis itu. Benda pipih tajam itu terangkat ke atas dan siap mendarat. Namun, Tasya tiba-tiba datang dan menghalaunya. Gadis itu mencoba merebut pisau dalam genggaman Vina. Terjadilah aksi tarik-menarik antara keduanya.

Entah apa yang terjadi, aku tak bisa melihat dengan pasti. Tasya melangkah mundur, tubuhnya bergetar. Sedangkan Vina, gadis itu tersungkur di lantai dengan pisau yang menancap di perutnya. Ya, tanpa sengaja pisau itu menusuk Vina. Genangan darah kini mulai membasahi lantai yang kotor, perlahan tapi pasti Vina mulai menutup matanya.

"Ti-tidak, aku ... aku bukan pembunuh. Aku tidak membunuhnya," teriak Tasya histeris.

Aku tersenyum melihat itu semua. "Kau telah membunuhnya."

"Tidak, itu tidak benar!"

"Kau membunuhnya!" teriakku. "Dan sekarang ... kau akan bernasib sama seperti mereka, hahaha."

Tasya menelan ludah, lalu dia berlari. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan itu. Karena pendosa tak pantas hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun