Cukup lama kekacauan itu terjadi, hingga jerit tangis tak lagi terdengar, ketika orang-orang berbaju putih itu berhasil melumpuhkan Kesi dengan menyuntikkan obat bius.
Aku mengernyit, siapa yang menghubungi mereka? Mungkinkah kepala sekolah, atau guru yang lain? Tapi bagaimana bisa secepat ini?
Tak sengaja netraku menangkap Tasya yang tengah berdiri di dekat jendela dengan tangan bergetar memegang ponsel. Mungkinkah dia yang melakukannya? Tapi, haruskah dia memanggil orang-orang dari rumah sakit jiwa seperti itu?
***
Aku terduduk di kursi yang terletak di balkon kamarku. Mata menatap serius benda dalam genggaman. Otak kupaksa berpikir keras agar menemukan jawaban, atas semuanya.
Berulang kali kalimat yang tertulis dalam kertas yang acak-acakan itu kugumamkan. Rasanya aku masih tak percaya, jika Monic melakukan bunuh diri. Tak ada alasan pasti atas semua itu, semua terasa janggal. Mengapa seorang gadis yang memiliki segalanya, uang, keluarga teman, dan juga kecerdasan melakukan hal hina seperti itu?
Tak ada gunanya aku hidup
Orang sepertiku pantas menerima semuanya
Hanya Kesi yang mau menerimaku di dunia ini, dialah sahabatku dan akan selalu seperti itu
Aku akan selalu menunggumu, dimana tenang didapat meski alam dan sekitarnya berteriak
"Hanya Kesi yang mau menerimaku. Aku akan selalu menunggumu." Aku terdiam ketika menyadari sesuatu. Mungkinkah? Jika apa yang kupikirkan benar berarti ....
Kuraih jaket coklat yang tergantung di dekat pintu, dengan tergesa aku keluar dari kamar.
"Ma, motornya Revi bawa," teriakku, tanpa menunggu jawaban dari mama, tangan menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja.
Kupacu kuda besi milikku membelah jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata, tak perduli dengan umpatan banyak orang. Karena jika aku terlambat, maka hal buruk akan terjadi.