Aku melangkah mendekat, mencoba menepis jarak di antara kami. Sepertinya Kesi menyadari keberadaanku, hingga gadis itu memutar tubuh menghadap diriku.
"Kes."
"Aku tidak gila. Dia, dia yang gila." Aku mengernyit bingung mendengarnya.
"Dia? Apa yang i-"
"Monic dibunuh," potongnya cepat. Bagai disambar petir, aku terdiam tak mampu berkata.
"Dia membunuh, Monic. Dia tidak menyukai Monic, dia tidak menyukaiku. Dia monster, dia tidak selugu yang kita kira. Dia pembunuh."
"Siapa, siapa yang kamu maksud?"
"Tidak, maafkan aku." Kesi berteriak. Berulang kali gadis itu meminta maaf, entah untuk alasan apa. Kakinya terus saja melangkah mundur.
"Aku tidak akan membuat ulah. Maafkan, aku."
"Kesi!" teriakku, ketika Kesi terpeleset masuk ke dalam danau yang berada di belakangnya.
Baru saja kaki ingin melangkah, seseorang memukul kepalaku dengan benda keras dari belakang. Gelap kini mendominasi penglihatan, samar-samar aku mendengar teriakan Kesi yang meminta pertolongan, sebelum kesadaranku benar-benar hilang.